Opini  

Menakar Kontestasi Politik NU di Pilgub Jatim

Media Jatim

Oleh: Fandrik Ahmad*

Pemilihan gubernur (pilgub) 2018 akan menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat Jawa Timur. Pasalnya, dua kader elit Nahdlatul Ulama (NU), yakni Saifullah Yusuf dan Khofifah Indar Parawansa siap bersaing memperebutkan kursi nomor satu di Jawa Timur. Munculnya dua kandidat calon gubernur yang sama-sama berlatar belakang organisasi keagamaan berlambang bintang sembilan tersebut diprediksi menimbulkan dua poros besar di tubuh NU.

Selain berlatar belakang kader ormas yang sama, baik Gus Ipul maupun Khofifah sama-sama memiliki elektabilitas kuat di mata nahdliyyin. Rekam jejak membuktikan bahwa keduanya memiliki akar emosional sangat kuat dengan masyarakat Jawa Timur, baik struktural maupun kultural.

Keduanya menjadi bagian pengurus elit NU; Gus Ipul wakil ketua PBNU sedangkan Khofifah ketua umum PP Mulimat NU.
Setelah dua periode menjabat wakil gubernur, Gus Ipul memiliki hasrat untuk menggantikan estafet kepemimpinan Pakde Karwo—sapaan akrab Soekarwo—sebagai gubernur.

Setali tiga uang, kepiawaian bergaul dan menjalin komunikasi baik dengan berbagai kalangan membuat PKB jatuh hati dan mengusungnya pada pilgub 2018. Dengan mengantongi 20 kursi di DPRD Jawa Timur, partai berlambang bumi itu berhak mengusung calon sendiri tanpa harus berkoalisi dengan parpol lain.

Sementara Khofifah yang masih menjabat sebagai Menteri Sosial pada pemerintahan Presiden Jokowi siap menjadi pesaing politik. Kekalahan dua periode berturut-turut pada tahun 2009 dan 2013 tak menghalangi niatnya mencalonkan kembali untuk ketiga kalinya. Beberapa parpol seperti Golkar, Hanura, Nasdem, PAN, dan PPP siap berkoalisi menjadi tungangan politik memperebutkan kursi nomor satu di Jawa Timur.

Jawa Timur merupakan basis terkuat NU. Sejarah panjang mencatat bahwa NU lahir dan besar di propinsi tersebut. Para perintis NU merupakan ulama sepuh yang memiliki kharismatik sangat tinggi yang sampai sekarang begitu ditakzimi. Secara sosio-kultural membuktikan bahwa kepemimpinan kiai lebih mengakar kuat daripada kepemimpinan politik sehingga pemimpin berlatar belakang NU memiliki daya tawar tersendiri.

Baca Juga:  Membenahi Tubuh Birokrasi dari Praktik KKN Melalui “Konstitusionalisasi” Komisi Pemberantasan Korupsi

Identifikasi politik hampir tidak pernah lepas dari identitas budaya yang melekat di tubuh masyarakatnya dan menjadi bingkai tak terpisahkan dari perebutan kekuasaan. Keragaman kultur masyarakat Jawa Timur dapat digolongkan menjadi empat poros utama, yaitu wilayah Mataraman yang membentang dari Tuban hingga Pacitan, Madura dengan 4 kabupaten, Tapal Kuda yang terdiri dari Probolinggo sampai Banyuwangi, dan wilayah Arek meliputi Surabaya sampai Malang.

Empat poros wilayah tersebut merupakan basis NU, terutama wilayah Madura dan Tapal Kuda. Sementara wilayah Arek dan Mataraman antara NU dan non-NU (nasionalis) sama-sama memiliki basis yang kuat.

Banner Iklan Media Jatim

Dengan sama-sama memiliki latar belakang NU, faktor lain yang harus dipertimbangkan untuk memaksimalkan perolehan suara adalah terkait dengan sosok calon pendamping. Gus Ipul menjatuhkan pasanganya kepada Abdullah Azwar Anas, bupati Banyuwangi yang sedang naik daun karena prestasi pemerintahannya, sebagai representasi dari kalangan nasionalis yang diusung oleh PDI-P. Azwar Anas diharapkan dapat memaksimalkan perolehan suara di wilayah Mataraman yang menjadi basis partai berlambang banteng moncong putih itu.

Khofifah sejauh ini belum menentukan sikap siapa yang akan menjadi pendampingnya. Melihat peta politik di Jawa Timur bukan tidak mungkin ibu ‘muslimat’ itu juga menggandeng pasangan dari kalangan nasionalis, bisa melirik kader Golkar atau Nasdem yang sudah terang-terangan berkoalisi sebagai partai pengusungnya.
Karakteristik pemilihan masyarakat Jawa Timur tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh partai pendukung.

Partai memang berpengaruh, namun dalam batas-batas tertentu. Oleh karena itu pendekatan kultural dengan melibatkan dan menyatakan diri mendapat dukungan dari ulama menjadi jurus ampuh mengingat fanatisme nahdliyyin kepada sosok kiai.
Melihat kontestasi dua kader potensial NU, bukan tidak mungkin legitimasi agama menjadi justifikasi kelompok tertentu, seperti isu gender, misalkan.

Baca Juga:  Membangun Literasi Olahraga Nasional

Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan, Khofifah kerap menyebut menunggu dukungan dan putusan para kiai dari berbagai wilayah untuk mematangkan dirinya maju dan memilih pasangan calon. Restu kiai tidak hanya menjadi strategi menghimpun dukungan, melainkan juga sebagai peredam bahwa kedudukan pemimpin perempuan tidak sama dengan kedudukan imam dalam salat.

NU secara institusional memang tidak pernah menyatakan dukungan politik kepada calon manapun. Bahkan keduanya, Gus Ipul dan Khofifah, harus mundur dari struktur elit NU jika resmi mencalonkan diri. Hal ini untuk mencegah panasnya suhu politik serta oknum-oknum tertentu yang hendak menanamkan kepentingan politik praktis di atas kepentingan NU.

Namun, pemilih di wilayah-wilayah pedesaan yang komunal, calon berlatar belakang NU menjadi pertimbangan berbeda daripada calon berlatar belakang non-NU. Banyak nahdliyyin berharap keduanya dapat menjadi satu paket agar suara NU tidak pecah. Namun rasanya harapan tersebut jauh panggang dari api.
Putusannya hanya satu; memilih siapa yang pantas menjadi pemimpin dengan ragam persoalan yang ada.

Sementara untuk menjawab pertanyaan tersebut tidak hanya bermodal pada dawuh kiai atau dukungan parpol. Lebih dari itu, masyarakat Jawa Timur dituntut cerdas menganalisa secara sadar dan kritis sosok pemimpin yang sangat memahami seluk-beluk Jawa Timur secara kafah. Wallahu a’lam bishawab.

*Penulis adalah pengurus Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) eks-Karesidenan Besuki. Saat ini Bermukim di Ledokombo, Jember.