Opini  

Ra Baddrut, PMII, dan Kepemimpinan Pamekasan

Masih segar dalam ingatan kita, saat Ra. Baddrut Tamam menghadiri acara Maulid Nabi yang diadakan oleh IKA PMII (Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Kabupaten Pamekasan beberapa hari lalu. Beliau hadir dengan kapasitas sebagai Sekretaris IKA PMII Jawa Timur. Suasana menjadi mengharu biru karena acara tersebut juga dihadiri oleh KH. Amin Sa’id Husni selaku ketua IKA PMII Jawa Timur.

Betap tidak? Kedua tokoh PMII itu begitu membanggakan. Mereka mampu menjadi representasi rakyat di Jawa Timur dalam menyambung aspirasi. Ra. Baddrut Tamam menjalankan tugas legislasi di Fraksi PKB DPRD Jawa Timur selama dua periode, sedangkan KH. Amin Sa’id Husni menjabat sebagai Bupati di Kota Tape, Kabupaten Bondowoso juga dua periode.

Saat saya menghadiri KONFERWIL IPNU (Konfresi Wilayah Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama) Provinsi Jawa Timur di Bondowoso tahun 2010 silam, KH. Amin Sa’id Husni hadir di tengah-tengah acara untuk memberikan sambutan atas kapasitasnya sebagai Bupati Bondowoso. Sekarang, di penghujung tahun 2017 ini, beliau masih memegang jabatan itu tanpa terlilit kasus korupsi dan tanpa sedikitpun isu pemakzulan.

Artinya, masyarakat benar-benar memberikan kepercayaan yang tinggi kepada beliau untuk memimpin Bondowoso hingga dua periode berturut-turut. Sebagai kader PMII, saya benar-benar bangga memiliki sosok senior inspiratif seperti beliau.

“Meneguhkan Tradisi, Membangun Harmoni”, kira-kira demikian tema besar dalam acara Maulid Nabi yang digelar oleh IKA PMII beberapa hari yang lalu. Seakan ingin menegaskan, bahwa kader tebaik PMII boleh saja menjadi bagian dari lakon tradisi demokratisasi pada semua level di negeri ini, dengan tetap membangun harmoni kekeluargaan di tubuh organisasi, tanpa harus memecah belah keutuhan kader dalam memperjuangkan nilai-nilai pergerakan ; berfikir, berdzikir dan beramal shaleh.

Dalam konteks Pilkada Pamekasan, ketika kader terbaik PMII hadir menawarkan potensi kepemimpinan, maka tugas kader yang lain untuk mengawalnya hingga menuju gerbang kemenangan. Ketika kader PMII mampu memenangkan kontestasi politik tersebut, maka kemenangan itu adalah kemenangan seluruh rakyat Pamekasan. Karena sejatinya, PMII lahir untuk memberikan pendampingan, pendidikan, pemberdayaan, pencerahan dan melakukan gerakan pembebasan untuk rakyat.

Setiap kader harus menentukan hak pilihnya, namun pilihannya bukan karena persoalan hak politiknya sebagai rakyat pemilih semata yang dijamin dan dilindungi secara hukum oleh konstitusi. Lebih dari itu, ada tanggung jawab moral sebagai bagian dari keluarga besar PMII untuk mengantarkan kader pergerakan terbaik menuju medan pengabdian mulia yang lebih luas ; menjadi Bupati Pamekasan masa bakti tahun 2018 – 2023.

Pilihan politik ini semakin mantap bagi kader PMII, karena rival politik Ra. Baddrut Tamam tidak memiliki ikatan emosional dengan PMII secara langsung. Sehingga tidak seperti memilih buah simalakama, sama sekali tidak memberikan dampak dilema.

Meski sudah resmi melakukan “aqdun nikah” dengan salah satu kandidat terbaiknya, PMII masih saja dipandang sebagai gadis cantik yang tetap menjadi rebutan tim kandidat lain untuk diselingkuhi. Jumlah alumninya yang besar dan tersebar di setiap daerah dan lini profesi menjadi kekuatan politik yang menggiurkan. Angkatan kader aktif PMII di lingkungan kampus juga merupakan elemen penting yang mampu berbuat banyak untuk menggelembungkan suara. Tapi tidak semudah itu, karena calon pemimpin yang pernah mengalami pahit-manis dan suka-duka pejuangan hingga “berdarah-darah” di tubuh PMII adalah “harga mati”.

Baca Juga:  ‌Gus Ipul vs Khofifah; Duel Rasa El Clasico ‌

Bukan berarti menjadikan PMII sebagai kendaraan politik dan menyeret organisasi pada pusaran kepentingan, tapi selama stake holder dan calon pemimpin mampu dan siap menjadi mitra dalam menjalankan visi-misi organisasi, maka memilih partner perjuangan adalah sah-sah saja. Toh orientasinya bukan untuk pribadi, namun demi kemajuan organisasi pada khususnya dan menjadi penyeimbang pemerintah yang berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Keberadaan PMII yang anti kemapanan, lebih berfungsi sebagai chek and balance bagi pemerintah. Namun Keberadaan PMII sebagai lumbung pergerakan mahasiswa yang mengemban tugas agent of change memerlukan espektasi dari pemangku kebijakan yang mengerti arah perjuangan organisasi sehingga bisa bersama-sama mengepalkan tangan dan maju ke muka ; melawan bentuk-bentuk ketimpangan dan pembangunan yang tidak berkeadilan karena tidak merata sehingga belum mampu menyentuh semua lapisan masyarakat paling bawah.

Namun harus hati-hati, melihat PMII sebagai organisasi kader berbasis kemahasiswaan, bermisi kerakyatan, dan berfaham Ahlu Al-sunnah Wa Al-jama’ah, bisa jadi akan ada kandidat yang mengklaim diri sebagai warga pergerakan seperti diberitakan oleh media. Kita harus cerdas membedakan, antara kader dadakan/lima tahunan dengan yang hasil besutan. Antara yang malang melintang di dunia pergerakan dengan yang imitasi memakai label PMII. Padahal saksi sejarahnya belum tentu bisa dihadirkan, dan dokumentasi administrasinya tidak mungkin bisa dibuktikan.

Jangan tertipu pula oleh klaim sepihak figur kandidat yang mengkultuskan diri sebagai kader PMII, sedangkan kontribusinya dalam sejarah pergerakan masih dipertanyakan. Bagaimana bisa disebut kader pergerakan, sedangkan kefashihannya dalam menyanyikan mars PMII masih meragukan.

Yang tersisa dari acara IKA PMII beberapa hari yang lalu hanyalah klaim dukungan dari para senior yang notabene anggota IKA PMII. Terlihat di postingan teman-teman dunia maya, penampakan gambar-gambar dan foto-foto yang penuh dengan pesan politik. Antara penganut romantisme sejarah masa silam dengan pendamba perubahan melalui kepemimpinan baru di masa depan.

Saat oknum anggota IKA PMII bermanover, maka saat itu pula para kader harus cerdas menilai agar tidak terjerat opini yang menyesatkan. Salah satunya adalah dengan sigap membaca karakter. Karakter yang sudah terlanjur terbentuk pada diri seorang pemimpin, sulit untuk disembunyikan, walau pun dimodifikasi dengan berbagai macam polesan.

Baca Juga:  Kultur Digital dalam Pandangan Filsafat

Saat saya mengenyam pendidikan di bangku Madrasah Diniyah, dijelaskan dalam kitab Akhlaqun Lil Banin bahwa karakter itu seperti pohon mawar. Jika sudah terlanjur bengkok, maka sulit untuk diluruskan. Meski ditangani agar lurus secara halus, tangan kita tetap terancam duri tajam. Jika dipaksa secara kasar, justru batangnya akan patah berserakan.

Karakter kepemimpinan yang menempatkan jabatan sebagai “wasilah” atau media untuk menjabarkan visi-misi, akan berimplikasi baik bagi efektifitas program dalam sebuah organisasi. Loyalitasnya terhadap kader akan terpelihara, meski di medan pengabdian mana pun ia mencurahkan segala skill dan kepemimpinannya. Di sana, karakter kepemimpinannya terjaga dan tidak luntur, sulit untuk bengkok dan tidak mudah dibengkokkan oleh kepentingan apa pun.

Sedangkan karakter kepemimpinan yang memposisikan sebuah jabatan hanya sebatas tujuan yang final, maka akan menyebabkan program yang dijalankan menjadi tidak lagi visioner. Alih-alih menempatkan aspirasi pemilih di atas segalanya, rencana kerja pun terkadang tidak tepat sasaran. Kemungkinan paling buruk yang patut kita takuti adalah pemanfaatan kebijakan demi kepentingan pribadi dan kepuasan yang bersifat sesaat.

Jika benar-benar peduli dengan efektifitas perjalanan roda organisasi dalam mengawal perubahan dan menjadi agent of social control, layak kiranya bagi kader PMII mengimpikan pemimpin birokrasi yang tetap beralmamater PMII. Tidak di badannya saja, tapi juga di hati dan jiwanya. Ke manapun ia melangkah, tetap bangga disapa dengan panggilan “sahabat”.

Siapa pun pasti bangga memiliki senior organisasi yang siap maju dalam kontestasi politik, apalagi dengan membawa spirit baru. Spirit lama lebih mirip dengan gerakan status kuo yang cendrung mempertahankan kemapanan dan mengabaikan arti penting sebuah perubahan yang mencerahkan dan memihak masyarakat grass root.

Masih segar dalam ingatan kita, pada tanggal 16 Mei 1998, PMII bersama kekuatan mahasiswa se-Indonesia lainnya, mampu menumbangkan rezim Orde Baru sebagai imperium kekusaan status kuo yang pro kemapanan.

Lalu, kita berhasil menggantinya dengan Orde Reformasi yang membawa perubahan radikal ke arah yang lebih baik di semua level birokrasi ; pembangunan yang merata, kedaulatan hukum, kehidupan yang demokratis dan pemerintahan yang bersih dari KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme).

Kini, amanah reformasi itu masih tetap gencar diperjuangkan. Semangat perubahan itu harus kita gelorakan kembali di Bumi Gerbang Salam. Kita song-song arah baru pemerintahan dengan gerakan reformasi di segala bidang melalui perhelatan politik lima tahunan. Memilih pemimpin baru yang dipandang mampu menyempurnakan kekurangan yang lama. Menentukan kader terbaik dari kelurga besar organisasi kader kita sendiri. Moment penting itu hanya ada dalam Pilkada kali ini. Wallaahu a’lam.

*) Penulis adalah Alumni PC. PMII Sumenep dan PC. IPNU Pamekasan, aktif di Kolom Ilmiyah Al-Ghazali, Tinggal di Nyalaran.