Tafsir ‘Bisa Jadi’ Dalam Politisasi Umroh?

Media Jatim

Saat ini sedang viral soal sa’i yang disertai nyanyi nyanyi setelah beberapa waktu yang lalu kita juga di hebohkan dengan ritual umroh yang di sisipi Pancasila. Pro kontrapun terjadi dalam menyikapi peristiwa tersebut. Tidak sedikit yang menilai bahwa perilaku tersebut sangatlah berlebihan dan bahkan memalukan.

Bahkan kejadian ini memantik reaksi kurang baik dari Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Osama bin Mohammed Abdullah Al Shuaibi. Menurut Osama, aksi nyanyian saat Umroh adalah aktivitas yang tidak pantas dilakukan dan tidak boleh.

Senada dengan Dubes Saudi, Pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis. Dia menegaskan bahwa Aksi bernyanyi saat Sai Umroh merupakan perbuatan yang tidak pada tempatnya.

Berawal dari rasa penasaran sayapun menyisihkan waktu untuk juga menonton vidio yang sedang viral itu. Selesai menonton kesan pertama kali yang saya tangkap dari peristiwa itu adalah lucu dan lugu.

Lucu karena saya yakin mereka bukan sekelompok orang bodoh dan tolol yang tidak bisa membedakan mana yang etis dan mana yang tidak. Lugunya, bisa bisanya mereka di atur sedemikian rupa, bernyanyi bersama dengan suara lantang seperti lupa bahwa mereka sedang melakukan serangkaian ibadah umroh dan mereka terlihat seperti lebih khusyu’ bernyanyi dari pada berdzikir.

Pertanyaannya, kenapa peristiwa ini terjadi? Hemat saya setidaknya ada beberapa tafsir “Bia Jadi” sehingga kelucuan ini muncul ke permukaan dan menjadi viral.

Pertama, bisa jadi peristiwa ini bagian dari tanda² munculnya rasa tidak percaya diri sebagai warga Negara yang punya nasionalisme tinggi. Kondisi ini tidak lepas dari fenomena bangsa ini yang sudah terlanjur saling klaim dan saling curiga terhadap kualitas dan komitmen kita pada NKRI.

Baca Juga:  Akun Palsu Merebak, Berbaur Siap Tempuh Jalur Hukum

Kita seperti berada dalam kecemasan dan ketakutan dalam berbangsa dan bernegara. Khawatir di stigma tidak pancasilais, takut dituduh bermadzhab intoleran dan takut dituding tidak cinta NKRI.

Kondisi ini secara tidak langsung menciptakan dan memaksa kita untuk lebih ekspresif dan atraktif dalam mengimplementasikan nasionalisme itu secara salah kaprah dan over akting .

Kedua, bisa jadi hanya ingin menunjukkan bahwa mereka lebih nasionalis dan lebih cinta NKRI dari pada kelompok lain. Sehingga mereka melakukan apa saja untuk sekedar menunjukkan jati diri mereka sebagai penganut madzhab organisasi paling nasionalis, pancasilais serta paling cinta NKRI.

Padahal bisa saja apa yang mereka lakukan bukan representasi organisasi tentang bagaimana tata cara sa’i yang dibenarkan. Malah bisa jadi ritual yang perlihatkan itu justru hanya bikin marwah organisasi tercederai dan kurang bermartabat.

Ketiga, bisa jadi mereka hanya ingin menyenangkan para elite yang sepaham dengan mereka tentang bagaimana seharusnya mengeksperesikan perilaku nasionalisme dan pengamalan islam nusantara. Tapi sayang, mereka salah tempat dan salah tingkah.

Padahal Jika misalnya hanya ingin dinilai sebagai orang yang paling nasionalis, pancasilais dan paling cinta NKRI, ritual itu bisa dilakukan dalam Negeri di tempat yang sudah fenomenal, seperti Munas, Gedung DPR, depan Istana presiden atau di depan Kantor ormasnya sendiri. Caranya bisa dengan keliling dan mutar mutar di tempat mana saja yang disukai, asal tidak mengganggu ketenangan ibadah pihak lain.

Baca Juga:  Sejumlah Elemen Gelar Aksi Tolak Intervensi dan Penggiringan Opini WP KPK

Ikrarkanlah Pancasila sepuasnya dan bacalah UUD 45 dengan sekeras mungkin dan bernyanyilah sebanyak yang di ingini sampai tidak ada yang meragukan tentang kenasionalisannya dan cintanya pada NKRI.

Keempat, bisa jadi mereka terlalu semangat dalam mengamalkan ibadah, ataupun mereka mencoba memasukkan berbagai hal pada nilai nilai yang islami, dengan memasukkan nilai nilai yang di anggap benar. Namun nyatanya mereka kebablasan dan mengarah pada ibadah yang tidak ada tuntunannya sama sekali.

Kelima, bisa jadi mereka tidak sadar telah diperalat untuk menciptakan kericuhan dan kemarahan dengan tujuan politis, begitu kata teman saya Zeinul Ubbadi, wartawan Koran Madura.

Dari berbagai tafsir “bisa jadi” yang saya uraikan ini dalam persoalan ini, kita bisa menambah analisa analisa “bisa jadi” lainnya yang dianggap mendekati benar, tampa harus bersitegang dan mencaci satu sama lain. Karena beberapa kepala yang berbeda tidak jarang melahirkan tafsir dan pemikiran yang berbeda pula.

Terakhir saya cuma ingin menyampaikan apa yang disabdakan Nabi bahwa sebaik baiknya perkara ialah yang tengah tengah. Jadi janganlah berlebihan, sehingga tidak over dosis. Mengutip kata Yasir Husain, Penulis buku Nasihat Cinta dari Alam, bahwa Yang berlebihan itu kebanyakan tidak bagus. Maka Cintailah NKRI sewajarnya.

Saat kita berlebihan memaknai nasionalisme saat itu pulalah kita akan berlaku extrem.
Wallahu A’lam,…

Oleh: Abba Ibnu Zumra
‌Alumni PP. Annuqayah Latee
‌Asli Campaka, tinggal di Ganding Sumenep, Madura.