Opini  

Rakyat Berdaulat, Demokrasi Bermartabat

Media Jatim

Pesta demokrasi yang akan dilangsungkan pada tanggal 17 April 2019 sebagai agenda lima tahunan dalam sistem demokrasi kita merupakan sistem demokrasi terbaru dalam pemilu-pemilu sebelumnya, sekalipun tetap meggunakan pola-pola lama dalam proses pemilunya. Yang terbaru dalam pemilu 2019 adanya penyederhanaan pelaksanaan dengan sistem satu paket, yaitu memilih presiden dan wakilnya dengan pemilu legislatif dari semua tingkatan termasuk juga DPD-nya. Sekilas  memang tidak ada yang baru, namun pemilu kali ini kepesertaannya menjadi bertambah. Dengan menggabungkan pemilu presiden dan pemilu legislatif akan menjadi pemilu paling ruwet dibanding dengan pemilu sebelumnya. Karenanya, masyarakat  sebagai pemilih dituntut untuk memilih para calon legislator dari semua tingkatan, yaitu tingkat II yaitu kabupaten dan kota, tingkat I untuk provinsi , Pusat untuk anggota DPR RI serta untuk DPD (dewan perwakilan daerah) dengan waktu  yang bersamaan masyarakat juga harus memilih calon presiden dan wakilnya. Artinya ada lima kertas suara ditangan pemilih, untuk dicoblos (dipilih) sesuai dengan pilihannya masing-masing.

Nalar berfikir penulis betapa sulitnya masyarakat harus memilih dari sekian calon yang ada dari partai-partai yang ikut dalam kepesertaan pemilu tahun ini. Sulit dibayangkan masyarakat akan memilih dengan benar tanpa adanya pendidikan politik yang betul-betul terejawantahkan dalam kehidupan bermasyarakat. Disinilah sebetulnya tugas partai politik  untuk bekerja dan melakukan pendidikan politik warga bukan sekedar berambisi untuk meraih kekuasaan. Terutama bagi masyarakat yang tidak membaca dan menulis, ia pasti akan mengabaikan arti penting dari sebuah pemilu. Termasuk juga mereka yang selama ini mendapati janji-janji kosong (gombal) dari orang-orang yang sedang berkuasa, baik di legislatif ataupun eksekutif.

Segala keterbatasan yang dimiliki oleh masyarakat dengan SDM yang lemah dan pemahaman yang kurang tentang arti penting pemilu hal ini memunculkan kerisauan penulis akankah pesta demokrasi 2019 akan berjalan dengan baik serta menghasilkan pemilu yang berkualitas. Kerisauan di atas bukan tanpa alasan, namun faktanya di mana masyarakat Indonesia masih tinggi buta aksaranya ditambah lagi dengan mengkristalnya kekecewaan sebagian masyarakat terhadap calon yang ia pernah pilih karena sudah tidak menepati janjinya. Dengan kondisi masyarakat di atas mungkinkah mereka akan berpartisipasi secara baik di pemilu yang akan datang dengan datang ke TPS masing-masing.

Disinilah tugas kita untuk terus meyakinkan masyarakat bahwa keberadaan pemilu menjadi alat penting (pintu masuk) keberlangsungan suatu bangsa dan negara. Sistem pemilu yang demokratis yaitu memandang sama antar sesama warga, karena hakikat dari demokrasi kedualatan rakyat. Karenanya demokrasi yang bermartabat harus pasti kualitas pemilunya juga sehat. Dan sehatnya pemilu dapat diukur melalui ketersediaan sumber daya manusia dan kedaulatan masyarakat. Tanpa pelibatan masyarakat secara aktif dan partisipatoris bukanlah demokrasi melainkan otokrasi dan monarki. Karenanya kita terus bangun kepercayaan masyarakat agar  mampu melakukannya dengan baik dan mari kita dorong mereka untuk tetap hadir ke TPS masing-masing untuk menyalurkan suaranya.

Baca Juga:  Kenaifan Media Online Menerbitkan e-Koran

Sebagai penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu untuk lebih aktif melakukan sosialisasi  dan melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Pemilu kali ini yang dipandang ruwet oleh masyarakat, karena ada lima kertas suara yang harus dicoblos hal ini menjadi kendala proses demokrasi berjalan dengan baik. Adanya potensi masyarakat yang akan abai terhadap pemilu yang akan datang, hal ini menjadi tantangan KPU dan Bawaslu untuk terus melakukan  sosialisasi dan pendidikan politik  warga dengan bekerja sama dengan dunia perguruan tinggi, LSM dan ormas-ormas keagamaan yang ada agar partisipasi warga (masyarakat) dalam pemilu yang akan datang lebih baik. Mereka yang tidak bisa  baca tulis (hanya kenal gambar dan angka) hal ini akan menjadi problem bersama disamping karena alasan mereka yang enggan datang  ke TPS karena alasan bahwa pemilu terbukti tidak membawa perubahan terhadap nasib mereka. Di mana mereka hanya dijadikan alat untuk meraih ambisi kuasa dengan meraup kekayaan dari uang negara tentu problem ini lebih pada tugas partai politik untuk membangun integritas dengan menyodorkan calegnya yang betul-betul berkualitas.

Oleh karena itu untuk menuju pemilu berdaulat dan demokrasi bermartabat, berikut beberapa komponen penting untuk saling di jaga di pahami oleh masing calon pemilih (masyarakat), partai politik, pemerintah dan penyelenggara pemilu yaitu KPU dan Bawaslu, diantaranya:

a. Memahami pentingnya pemilu. Hal ini penting terus disosialisasikan oleh pihak-pihak terkait seperti KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu baik melalui tatap muka seperti diskusi, seminar dan lain sebagainya ataupun melalui media cetak, medosos dan media-media lain yang memungkinkan dapat menyampaikan arti penting pemilu. Yang terjadi jangan justru pihak calon yang sering bersosialisasi dengan memasang gambar, baliho dan poster di jalan-jalan, sementara pihak penyelenggara pasif minim sosialisasi dengan alasan minimya anggaran untuk hal tersebut. Dalam hal ini, lapisan masyarakat yang harus terkenak efek dari kegiatan sosialisasi akan pentingnya pemilu yaitu para pemilih pemula (kalangan remaja) sebagai agen perubahan.

Baca Juga:  Tak Cukup Alasan Menolak Bioskop

b. Mengenali calon secara baik. Mereka yang berlaga (berkontestasi) harus dapat dikenali oleh masyarakat. Ada banyak sisi yang harus dikenali oleh masyarakat (pemilih) terhadap calon yang akan ia pilih, diantaranya; pertama, visi misinya, tujuannya atau motivasinya, kesehariannya (menyangkut prilaku sehari-hari), pendidikannya, dan integritasnya. Dengan mengenali calon secara baik, output pemilu kali ini akan menghasilkan (melahirkan) peminpin yang kridibel dan tanggung jawab.

Hindari provokasi, adudomba antara pemilih apalagi  menyebar berita hoax dengan tujuan meraih kemenangan. Cara-cara yang tidak bermartabat dalam meraih kemenangan hanya menyisakan kesengsaraan terutama bagi masyarakat. Bahwa pemilu harus dimaknai kontestasi, adu strategi dan adu visi-msi namun tetap mengedepankan etika dan menjaga sportifitas bersama. Tanpa harus melakukan segala cara untuk meraih kemenangan.

Datang ke TPS sebagai bentuk partisipasi dan tanggung bersama. Karena pemilu merupakan agenda bersama, di mana kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat (masyarakat), maka menjadi wajib hukumnya secara perorangan untuk dapat menyalurkan suaranya dengan mendatangi TPS masing-masing. Disitulah perubahan, perbaikan dan tatanan yang lebih baik kita pertaruhkan demi menjaga kelangsungan bangsa dan negara yang lebih baik.

Karena itulah pilihan politik warga menjadi sebuah keniscayaan yang harus dijaga secara baik. Perbedaan pilihan calon dan partai tidak boleh menjadi pemicu adanya perpecahan dan konflik yang berkepanjangan. Larut dalam perpecahan bisa berakibat runtuhnya kepercayaan publik terhadap pemilu yang kita kembangkan melalui sistem demokrasi. Karenanya pemilihan umum (pemilu) sangat penting dalam kehidupan suatu Negara, setidaknya ada dua alasan : Pertama, melalui pemilu memungkinkan suatu komunitas politik melakukan transfer kekuasaan secara damai karena pemerintah/penguasa perlu diganti secara periodik untuk memberi kesempatan kepada pihak lain untuk mendudukinya. Tentunya banyak pihak lain yang juga menginginkan menjadi penguasa dan pemilu merupakan sarana yang efektif untuk melaksanakannya. Alasan kedua melalui pemilu akan tercipta kelembagaan konflik karena melalui pemilu memungkinkan pihak-pihak yang berkonflik menahan diri dan memanfaatkan pemilu sebagai sarana berkonflik. Para pihak yang berkepentingan akan lebih berkosentrasi dalam menghadapi pemilu daripada menggunakan kekerasan fisik dalam berkonflik dengan penguasa.

Semoga pemilu yang akan datang berjalan penuh martabat, damai masyarakatnya, berdaulat rakyatnya dan akhirnya bermartabat demokrasinya. Wassalam…


Oleh: DR. H. Mas’ud, M.Pd.I
Penulis adalah salah satu dosen di IAIN Jember sekaligus menjabat sebagai wakil ketua PCNU Bondowoso.