Banner Iklan Media Jatim

Catatan Pelantikan PC ISNU Jombang

Ilmuwan

Kaum Khawarij merasa iri mendengar kabar adanya sabda Rasulullah SAW, “Akulah kota ilmu, sedang Ali adalah gerbangnya.” Ali bin Abi Talib saat itu sedang menjabat sebagai Khalifah (35 – 41 H / 656 – 661 M), satu dari empat Khulafaur Rasyidin. Khawarij adalah kelompok desersi yang memusuhi Ali maupun lawannya, Muawiyah.

Lalu mereka mengumpulkan sepuluh jago orang cerdas untuk menguji kepintaran menantu Rasulullah ini. Disepakati akan menjumpai Ali bergantian dibuat seolah tidak saling tahu. Masing-masing mengajukan pertanyaan sama yang harus mendapat jawaban berbeda: “Manakah yang lebih utama, ilmu ataukah harta.”

Pada waktu yang ditentukan, orang pertama bertamu menjumpai Khalifah Ali. Sedikit basa-basi, kemudian bertanya, “Ali, mana yang lebih utama, ilmu ataukah harta.” Jawab suami Sayyidatina Fathimah untuk tamunya: “Sudah tentu lebih utama ilmu.” Mengapa. “Sebab ilmu warisan para Nabi, sedang harta warisan Qarun, Syaddad, Fir’aun dan sebagainya.”

Mendengar itu, tamu tadi tidak menyanggah, dan mungkin sudah puas. Lalu pamitan. Giliran tamu kedua mengajukan pertanyaan sama. Untuk pertama jawaban tetap, “Lebih utama ilmu daripada harta.”Alasannya, “Sebab ilmu itu menjaga kamu, sedang harta justru kamu harus menjaganya.”Betul juga, pikir si tamu, lalu pamitan.

Tamu ketiga diberi jawaban lebih utama ilmu. Mengapa? “Sebab pemilik harta mempunyai banyak musuh, sedang pemilik ilmu malah makin banyak mempunyai teman.” Iya-ya,  pikir sang tamu. Orang kaya mempunyai teman tetapi tidak tulus tumbuh dari nurani, dan biasanya segera menjadi musuh ketika keadaan berubah. Tapi teman orang berilmu ikhlas sampai dalam hati, dan bahkan sampai mati.

Untuk tamu keempat dijawab “ilmu lebih utama daripada harta.”Sebab “jika uang kamu pergunakan, nominalnya akan susut. Tetapi jika ilmu yang engkau pergunakan, ia malah makin bertambah.”Menerapkan ilmu sama dengan mempertajam pengertian dan dalam prosesnya  akan ditemukan ilmu baru. Berarti malah tambah. Dan itu tidak terjadi bila ilmu hanya disimpan.

Baca Juga:  Bahaya Vaksinasi dan Determinasi Ekonomi

Tiba giliran kepada tamu kelima ditegaskan bahwa harta kalah utama daripada ilmu. Itu karena “pemilik harta akan ada yang menyebutnya pelit dan rakus, sedang pemilik lmu selalu dianggap mulia dan dihormati.” Pelit atau bakhil adalah sifat tidak terpuji. Begitu juga rakus merupakan sifat tercela. Hanya sedikit orang kaya yang berhasil harum namanya karena menjadi  dermawan.

Tamu keenam memperoleh jawaban, ilmu lebih utama daripada harta: Sebab “harta selalu dijaga dari pencuri, sedang ilmu tidak perlu dijaga.” Walau pun berjumlah banyak, ilmu tidak perlu diamankan dari perampok. Kalau toh ada yag berusaha mencurinya, pemiliknya tidak akan merasa kehilangan.

Anggota kelompok 10 yang menjadi tamu ketujuh mendapat jawab, “ilmu lebih utama daripada harta” . Sebab “pemilik harta akan dihisab di hari kiamat, sedang pemilik ilmu akan diberi syafaat.” Makin banyak harta, makin berat hisabnya, akan tetapi makin banyak memiliki ilmu bermanfaat malah akan makin memudahkan masuk surga.

Tamu kedelapan mendapat jawaban: “Dalam kurun waktu yang lama harta akan lenyap jika dibiarkan, tetapi ilmu tidak. Ia abadi.” Karena itu harta harus terus berputar agar berkembang atau mempunyai nialai, kalau tidak akan habis dimakan inflasi. Tapi ilmu tidak akan menurun nilainya walau dalam jangka lama.

Orang Khawarij kesembilan memperoleh jawab: “Harta itu mengeraskan hati, sedang ilmu menyinarinya.” Kalau tidak disikapi dengan tepat harta bisa menyebabkan munculnya sifat-sifat mazmumah seperti sombong, tamak, dan lain-lain yag menjauhkan dari zikir. Tetapi ilmu sangat membantu orang untuk memahami kekuasaan Allah dan mendalami iman.

Pertanyaan komplotan tamu kesepuluh — sebagai anggota kelompok yang terakhir — menerima jawab: “Pemilik harta menadapat nama besar hanya karena harta, sedang pemilik ilmu karena kecendekiaannya.” Orang Jawa menyebut hartawan dengan raja-kaya, alias hewan.

Itulah ilmu dan ilmuwan atau Sarjana, menurut Sayyidina Ali. Beruntunglah orang yang menghargai ilmu dan pengembannya. Dengan ilmunya para filosuf yang hidup jauh sebelum Nabi Isa lahir, memberi penerang dunia intelektual hingga kini. Dengan kecerdasannya, Sayyidina Umar – meskipun bukan Nabi – menjadi penafsir dan penjaga ajaran Rasulullah yang berguna hingga akhir zaman.

Baca Juga:  Moral yang Sakit

Juga dengan kerja keras para pemikir salaf, semisal para imam mazahibul arba’ah, serta Imam Asy’ari dan Al-Maturidi, agama Islam dapat kita fahami dan amalkan dengan baik hingga sekarang. Dapat dibayangkan bagaimana kita bisa beribadah dengan benar kalau tidak ada para ulama mujtahidin (abad pertama — kedua Hijriyah). Dengan jasa mereka umat Islam zaman sekarang – lebih seribu tahun sesudahnya – dapat dengan mudah belajar dan mengamalkan syariat Islam.

Juga, sekiranya tidak muncul generasi ulama muhaddisin yang menyusun Kitab Sahih dan Sunan (abad ketiga dan keempat Hijriyah), kaum muslimin masa kini pasti pada kebingungan untuk mendapat dalil yang akurat mengenai berbagai aspek agama.

Imam Al-Ghazali (abad keenam Hijriyah), diakui dunia sebagai tokoh intelektual muslim paling berpengaruh sesudah Rsulullah, dapat menghidupkan kembali ilmu keislaman. Cahayanya menerangi dunia muslim sejak dulu, dan masih benderang  hingga sekarang.

Bahkan dari semangat keilmuan ulama-kuno itu mengilhami kebangkitan Eropa (Renaissance). Di Inggris terjadi revolusi industri dan di Perancis ada gerakan protestanisme (abad ke-18 Masehi). Dua gejolak yang mengubah pendekatan sukses materi dan kegelisahan ruhani.

Kalau dihitung sebagai amal-salih, buah karya para ulama mutaqaddimin itu merupakan ilmun yuntafa’ bih jariyan tanpa batas. Sebuah martabat sangat tinggi yang tidak bisa dicapai manusia sembarangan.

Para sarjana pewaris para ilmuwan itu sekarang berhimpun dalam ISNU (Ikatan Sarjana NU). Terpikirkah mereka untuk mengabdikan dirinya seperti para ulama salaf  itu, atau bahkan menyempurnakannya? Refleksi H Abdul Wahid Asa di Majalah AULA edisi April 2012