MediaJatim.com, Jember – Salah satu ulama penentang PKI dan tewas di ujung senapan mereka adalah KH. Ali Hasan. Kisah heroik dan keberanian Pengasuh Pondok Pesantren Al-Wafa, Tempurejo, Kabupaten Jember, Jawa Timur ini disampaikan oleh keponakannya, KH. Lutfi Ahmad dalam sebuah acara di Universitas Jember, belum lama ini
“Kiai Ali Hasan sangat teguhpendirian. Tidak ada kompromi dengan PKI. Namun sayang, saat mau menghadap Soekarno (Presiden RI), beliau diberondong senjata oleh PKI di Juanda,” tukasnya.
Menurut mantan anggota DPR RI itu, keteguhan hati dan keberanian Kiai Ali Hasan bisa dilihat saat dia menentang habis-habisan penerapan Nasakom. Para ulama saat itu galau. Sehingga digelarlah pertemuan ulama Jawa Timur di sebuah tempat (1965) untuk menyikapi Nasakom.
Di forum tersebut, muncul dua opsi. Opsi pertama, menolak total PKI, namun resikonya cukup besar. Opsi kedua, menerima Nasakom, namun setengah hati lantaran ada pertimbangan politis-strategis.
Nah, Kiai Ali Hasan ingin menjembatani keduanya, dengan menawarkan opsi ketiga, yaitu rekonsiliasi nasional tanpa melibatkan PKI. Jadi bunyinya rekonsiliasi, meski intinya tetap menolak PKI.
“Setelah pertemuan itu,banyak tokoh dan ulama yang mendatangi Kiai Ali Hasan (di Tempurejo) untuk berdiskusi soal itu, bahkan M. Yusuf, yang ketika itu belum jadi Jenderal juga sempat sowan ke beliau,” lanjutnya.
Singkat cerita, akhirnya KH. Musta’in Romli (Jombang) mendatangi Kiai Ali Hasan dan menyatakan mendukung opsi ketiga asalkan Kiai Ali Hasan sendiri yang menyampaikan kepada Soekarno. Dan mayoritas ulama juga mendukung apa yang disampaikan KH. Musta’in Ramli.
Maka berangkatlah Kiai Ali Hasan untuk menghadap Soekarno di Jakarta.
“Diterimalah kunjungannya oleh Soekarno, yang saat itu kebetulan didampingi DN Aidit. Soekarno setuju atas usulan Kiai Ali Hasan, dengan syarat menghadap kembali dengan membawa konsep dan rumusan yang sudah siap,” jelas KH. Lutfi Ahmad
Kiai Ali Hasan pun pulang. Sesampai di Jember, Kiai Hasan selama beberapa hari menyusun konsep dan rumusan rekonsiliasi sebagaimana ia kemukakan kepada Bung Karno. Setelah selesai, ia bertolak ke Jakarta untuk menghadap Soekarno (29 September 1965).
Saat itu, ia didampingi adiknya, Kiai Ahmad Sa’id (ayahanda KH. Lutfi Ahmad). Keduanya berangkat menuju Bandara Juanda dengan menggunakan mobil. Ketika itu, Juanda baru melayani penerbangan domestik. Namun sebelum memasuki Juanda, mobil yang dikendarai keduanya dicegat oleh pasukan bersenjata. Namun Kiai Ali Hasan bergeming, dan berkata kepada KH. Ahmad.
“Ayo kita terus, jangan takut, kita benar,” ujar KH. Lutfi Ahmad menirukan kata-kata Kiai Ali Hasan.
Mobil keduanya terus melaju. Namun sekian menit kemudian mobil tersebut diberondong senjata, tapi Kiai Ali Hasan dan Kiai Ahmad, selamat. Karena itu, keduanya lalu diseret keluar dengan posisi tangan terborgol, dibawa ke sebuah tempat di Juanda untuk diinterogasi.
“Mereka tanya, mana yang namanya Ali Hasan. Ayah saya bilang, saya Kiai Ali Hasan, tapi mereka tidak percaya. Akhirnya, Kiai Ali Hasan tak bisa mengelak. Dan sewaktu diinterogasi, tanpa disangka beliau langsung ditembak enam kali,” lanjut KH. Lutfi.
Namun subhanaallah, Kiai Ali Hasan tidak wafat. Ia masih bernyawa meski berlumuran darah. Ia dibiarkan tergeletak di tempat itu. Sebab, mereka sibuk menyeret Kiai Ahmad untuk dibawa ke salah satu ruang sel di Juanda, dan ditahan.
Kiai Ali Hasan lalu berhasil diselamatkanoleh ipar KH. Muchit Muzadi, yang bernama Kiai Saleh Baya’sud lalu dibawa ke rumahsakit Darmo,Surabaya. Setelah 15 hari dirawat, Kiai Ali Hasan menghembuskan nafasnya yang terakhir (15 Oktober 1965).
“Bersamaan dengan itu, M. Yusuf juga berhasil membebaskan Kiai Ahmad dari ruang sel. Lehernya luka, tulang rusuknya patah akibat siksaan PKI. Namun media saat itu memberitakan bahwa kedua tokoh tersebut ditembak karena melanggar aturan lalulintas di wilayah Bandara. Tapi kita maklum karena saat itu sebagian media massa di bawah kendali mereka,” urai KH. Lutfi.
Sayangnya, kisah keberanian KH. Ali Yasin selama ini tak pernah terungkap. Ya inilah fakta sejarah yang terlewatkan.
Penulis: Aryudi A. Razaq
Foto: Istimewa