Saat Wartawan Dilaporkan ke Polisi

Media Jatim

: Catatan sederhana selain kebenaran


Sore tadi, di group WhatsApp, tersebar informasi seorang wartawan online, dilaporkan ke polisi oleh kuasa hukum salah satu rumah sakit di Sumenep. Diduga, wartawan tersebut telah melakukan pencemaran nama baik.

Sebelum berita pelaporan itu beredar, wartawan yang dilaporkan juga telah melaporkan pihak rumah sakit dengan sangkaan menghalangi kerja jurnalistiknya. Saling melapor, saya rasa adalah hak setiap warga negara. Wajar.

Dan polisi, sebagai penegak hukum, pasti memiliki alasan untuk menerima kedua laporan itu. Kedua pelapor, tentu juga punya sudut pandang (merasa benarnya) masing-masing. Namun perlu kita sepakati bahwa, sudut pandang merasa benar itu bukanlah kebenaran yang menyeluruh. Sudut pandang, kadang hanyalah keinginan yang disepakati.

Dua laporan yang diterima polisi, membuktikan bahwa kebenaran itu memang relatif. Ada kesan bahwa, sangat mungkin ada dua kebenaran untuk satu persoalan. Lebih tepatnya, dua klaim kebenaran.

Ketika kebenaran bersifat relatif, dan ke-relatif-an itu hanya didasarkan pada keinginan untuk merasa benar semata, maka kebenaran menjadi berbahaya. Orang bejat dan baik sekalipun, punya kesempatan yang sama untuk merasa benar. Inilah titik bahaya dari kebenaran yang saya maksud.

Karenanya, kebenaran yang relatif itu butuh kontrol. Hemat saya, kontrol yang paling tepat adalah etika. Soal etika, bukan berdasarkan kebenaran semata. Sebab dalam etika, ada moral, ada sense of humans dan hormat menghormati. Etika lebih tinggi dari sekedar kebenaran itu sendiri.

Tanpa etika, siapapun akan mudah merasa benar. Tampa etika, dasar dari kebenaran itu sendiri bisa saja adalah kesalahan yang ingin dibenarkan. Sekali lagi, ini sangat berbahaya.

Di paragraf ini, saya ingin minta maaf jika penjelasan soal kebenaran dan etika tampak njelimet. Pertama, saya bukan orang pintar, yang mampu mempermudah penjelasan. Kedua, penjelasan yang saya mengerti hanya itu. Semoga dimaklumi.

Kembali soal kebenaran yang relatif dan etika sebagai kontrol. Jika klaim kebenaran oleh kedua pelapor tanpa kontrol etika, betapa naifnya kedua pelapor itu?

Dan jika kedua pelapor merasa sudah beretika dan merasa benar sehingga berujung pada pelaporan, pertanyaannya, etika macam apa yang mereka gunakan? Kenapa tetap ada perseteruan dan klaim paling benar?

Saya berharap, dua laporan itu benar-benar di proses oleh polisi. Tentu dengan etika dan fakta hukum yang ada. Sekedar ingin tahu, bahwa wartawan juga manusia dan rumah sakit tidak musti semena-mena.

Sebagai penutup, wartawan adalah pekerjaan yang baik. Semestinya dilakukan dengan mengedepankan etik. Tulislah fakta yang mencerahkan. Bukan sekedar perkara yang mengundang perselisihan. Salam.


Gapura, 04 Agustus 2019

Baca Juga:  Dikalahkan Mitra Kukar, Ini Komentar Gomes

Penulis: Nur Khalis, warga Sumenep. Suka membaca berita.