Idul Fitri; Antara Kemanusiaan dan Kesetaraan

Media Jatim

Secara normatif halayak umum sepakat memaknai bahwa Idul Fitri sebagai hari kemenangan dari setalah satu bulan menahan nafsu atau penghujung hari dari bulan Ramadhan, kemudian dalam pendapat yang lain Idul Fitri juga dimakna sebagai hari sucu (fitri) atau hari kembali manusia pada kedaan yang fitrah atau bersih dari dosa-dosa masa lalu kemudian mempersiapkan diri untuk menjalani kehidupan setelahnya dengan kepribadian yang lebih baik.

Kemudian terdapat pemaknaan lain pada terminologi “fitri” dalam kata “idul fitri” bahwa kata fitri tersebut berasal dari kata fatara-yafturu, sehingga kata fitri tersebut bermakna segala aktivitas yang pertama dan secara literleg dimaknai sebagai makan pertama atau yang dikenal dengan istilah sarapan. Kamudian pemaknaan tersebut kaitannya dengan puasa adalah Idul Fitri merupakan hari perayaan makan (sarapan) setelah satu bulan sebelumnya tidak melakukan akivitas sarapan tersebut. Sekalipun ada aktivitas makan pertama di waktu malam (berbuka) namun dalam tradisi orang arab disebut dengan istilah “iftar”.

Dua pemaknaan di atas seperti mengetangahkan dua perspektif yang berbeda, pemaknaan pertama lebih inklusif atau bersifat personal dan menyangkut aspek-aspek ketuhanan. Kemudian yang kedua lebih bersifat eksklusif yaitu pemaknaan yang bersifat interpersonal atau menyentuh aspek-aspek kemanusiaan. Secara sederhana dua makna tersebut dapat dikategorisasi sebagai pemaknaan yang bersifat personal dan sosial. Walaupun pemaknaan pertama lebih familiar namun pengkajian pemaknaan kedua sepertinya lebih menarik karena menyangkut Idul Fitri dalam kajian fungsi sosial, dan tentu hasil analisisnya akan semakin mempertegas keberpihakan Islam terhadap hak—hak atau kepentingan kemanusiaan.

Baca Juga:  Jangan Sampai Ada Duafa Menangis di Hari Kemenangan

Dalam menjelaskan hubungan antara eksistensi Idul Fitri dengan keberpihakan Islam terhadap kepentingan kemanusia tentu tidak dapat dilelaskan dari pembahsan puasa sebagai entitas lain yang tidak terpisah dari Idul Fitri sebagai hari raya fitri penutup dari rangkaian puasa Ramadhan selama satu bulan. Pembahasan keduanya akan memunculkan objek kajian lain yang sinergis dalam menunjukkan betapa kepedulian sosial itu sangat diutamakan. Adapun penjelasan terkait stetmen akan dijabarkan dalam pembahasan selanjutnya.

Pertama, Puasa. pembatasan terhadap berbagai kebutuhan dasar (basic need) manusia khususnya terhadap kebutuhan biologis tentu tidak sekedar memberikan efek rasa lapar, dahaga, atau perubahan-perubahan pada normalitas fungsi tubuh seperti merasa lemas, lelah, dan sebagainya. Kondisi tersebut secara otomatis memberikan pengalaman terhadap tubuh manusia serta kepada manusia itu sendiri terkait kondisi yang akan dirasakan oleh tubuh/orang lain yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya dasarnya. Maka benar jika dikatakan bahwa nilai-nilai transformative daari puasa salah satunya adalah menumbuhkan kesadaran, kepekaan, serta kepedulian sosial.

Kedua, Zakat Fitrah. Dalam bulan Ramadhan, terhitung dari sejak awal puasa sampai sebelum masuk hari Ied, setiap orang diwajibkan mengeluarkan zakat yaitu dengan memberikan kebuuhan pokok kepada orang-orang yang dianggap tidak/kurang mampu atau orang yang termasuk dalam delapan golongan penerima (mustahiq) zakat. Tidak tanggung-tanggung syariat Islam memerintah atau menghukumi wajiab untuk mengeluarkan zakat fitrah sebagai pensucian terhadap kesalahan-kesalahan diri manusia. Kemudian kaitannya dengan puasa, dalam kajian-kajian agama zakat tersebut dijelaskan sebagai kebaikan yang akan mengantarkan pehala puasa ke atas langit. Dalam ilustrasi agama dijelaskan bahwa pahala puasa manusia dalam posisi mengambang (antara langit dan bumi) dan hanya akan sampai ke langit jika seseorang tersebut telah menunaikan zakat fitrah. Yang perlu diperhatikan bukan pada narasi agamanya tapi lebih kepada bagaimana agama memiliki penjelasan tersendiri untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia lain yang dianggap kurang mampu dalam konstruk sosial, yaitu dengan adanya perintah mengeluaran zakat, berbagi, atau donasi sosial.

Baca Juga:  Polres Pamekasan Periksa Bendahara KPU: Berikutnya Ketua KPPS!

Ketiga, Idul Fitri. Tetap merujuk pada pengertian kedua yaitu memaknai Idul Fitri sebagai hari pesta makan/makanan. Pemaknaan tersebut menjadi sah apabila seseorang telah menunaikan kewajiban zakatnya, sebab pemberian zakat dari yang mampu (kaya) menentukan perayaan Idul Fitri bagi yang tidak mampu (miskin). Artinya pemberian zakat dari orang kaya akan menjadi bahan dasar olahan bagi yang miskin untut turut serta membuat olahan sebagaimana orang yang mampu di sekitarnya. Jadi dalam konteks ini, zakat fitrah dapat disebut sebagai gerakan kesetaraan, yaitu bahu-membahu merayakan pesta makan dengan membantuk orang lain yang tidak mampu supaya dapat merayakan pesta makan atau yang disebut sebagai Idul Fitri tersebut.

Dengan demikian, menjadi semakin jelas bahwa agama memang diciptakan untuk manusia, untuk diikuti-dianut oleh manusia, untuk menjamin hak-hak dan prinsip dasar manusia serta menjamin keselamatan mansuia. Sebab dalam waktu bersamaan mengeluarkan zakat fitrah tidak hanya berarti menegakkan syariat agama, tapi juga menegakkan nilai-nilai kemanusiaan serta prinsip kesama-rataan antar manusia.

Oleh: Lailul Ilham, Alumni Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah Errabu Bluto Sumenep.