Selasa, 8 September 2020, saya terantuk dengan sebuah “esai politik” di WAG Ikatan Alumni Annuqayah Se-Eks Karisidenan Besuki dan Lumajang (IAA Sekarkijang). Judulnya singkat: “Kyai Muqit”, oleh Eep Saefullah Fatah. Saya tidak tahu, siapa sebenarnya penulis esai itu. Namun jika dilihat isi dan gaya bahasanya yang rapi, halus, namun penuh impresi simpati yang memengaruhi untuk maksud-maksud tertentu, saya yakin esai itu memang ditulis Kang Eep. Sebagai santri yang sedikit banyak mengiringi perjalanan politik Kiai Muqit, saya merasa perlu untuk menyajikan fakta dan narasi yang lebih memadai dan tidak sepenuhnya sama dengan “kicauan” Eep Saifulloh Fatah itu.
Sebelum melanjutkan lebih jauh tulisan ini, saya ingin menyatakan semacam disclaimer terlebih dahulu. Dalam melihat dinamika politik, hubungan, interaksi, dan komunikasi Kiai Muqit, dr. Faida, para kiai, birokrasi dan masyarakat umum di Jember, saya berposisi sebagai santri. Bukan melihat seperti Kang Eep yang merupakan konsultan politik yang dikontrak dengan tujuan pemenangan kelompok politik tertentu. Karena itu, impresi yang ditampakkan Eep dalam tulisan itu meski menyajikan fakta, tetap terlihat dan terasa persuasi dan pembangunan narasi untuk kepentingan kelompok politik tertentu. Bahkan ada banyak eufemisme yang mengelabui di situ.
Kang Eep, Sang Perias
Kebanyakan orang tahu siapa Eep. Dia adalah Founder dan CEO Polmark Indonesia. Suami Sandrina (Malakiano) ini konsultan politik yang memetakan medan dan memoles (merias) karakter kandidat politik, kliennya. Kemudian merancang strategi pemenangan berdasarkan peta dan kareakter medan serta kandidat tersebut. Dia tentu tidak banyak tahu mengenai dinamika serta pernak-pernik politik lokal, khususnya pasca pencoblosan, yang betul-betul dirasakan oleh masyarakat lokal Jember.
Dia orang asing dan bukan peneliti politik Jember. Dia datang ke daerah mungkin hanya 5 tahun sekali, dan memotret dinamika politik lokal dari Jakarta, tempat dia tinggal dan beraktivitas sehari-hari. Tentu sangat sulit untuk bisa memotret dinamika, kontestasi, konstalasi, fenomena, peristiwa, bahkan konflik politik yang terjadi di daerah secara utuh dan akurat.
Di sini izinkan saya menyampaikan fakta dan menarasikan perspektif dan perasaan yang selalu menempel di benak dan hati saya sebagai santri selama berinteraksi dan menjadi pengiring Kiai Muqit Arief. Kalau tidak keliru, sayalah yang mempertemukan kiai Muqit dengan dr Faida pertama kali tepatnya di ruang tunggu Hotel Sulawesi. Sebelumnya dua kali saya menyampaikan keinginan Faida untuk ketemu, tapi Kiai selalu menolak. Kalimatnya sederhana, “Kalau ada kaitannya dengan politik, mohon maaf saya tidak mau,” ujar kiai saat itu. Mungkin kenapa, akhirnya kita bisa pertemukan keduanya di ruang tunggu Hotel Sulawesi kala itu. Dan ini pulalah yang selalu menghantui saya sebagai bagian dari dosa politik mempertemukan Kiai degan Faida.
Sejak Kiai Muqit berkenan dicalonkan sebagai wakil bupati, meski ada yang berat hati, mayoritas dari kami santri-santri dan kolega beliau ada juga yang merasa senang. Mengingat integritas, kesantunan, dan kepiawaian beliau dalam berkomunikasi dan membangun silaturrahim. Kredibelitas beliau juga tidak diragukan. Kemampuan intelaktual dan jaringan beliau bisa dikatakan sudah cukup matang. Dia bukan hanya santri dan kiai yang memiliki banyak santri, jaringan alumni dan wali santri. Dia juga intelektual cum-aktivis yang memiliki banyak relasi dalam perjuangan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat serta pelestarian lingkungan hidup.
Gula-Gula Politik
Setelah mendapatkan restu keluarga dan para masyayikh di Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, dimana Kiai Muqit mondok, beliau membulatkan tekad berkenan mendampingi dr. Faida. Setelah sebelumnya, sebenarnya Kiai Muqit “dirayu” oleh dr. Faida dengan banyak program dan komitmen yang sifatnya pemberdayaan masyarakat dan kemaslahatan untuk umat; seperti akan membina dan membangun secara lebih baik pesantren-pesantren di Jember, membangun klinik kesehatan di pesantren-pesantren di Kabupaten Jember, dan lain sebagainya.
Janji Faida yang disampaikan kepada Kiai Muqit pada saat kampanye-kampanye terbuka, akan memposisikan Kiai Muqit sebagai mitra yang setara, tempat berbagi dan musyawarah. Bukan sebagai bawahan. Bahkan, untuk urusan sosial, pendidikan, dan kesejahteraan rakyat, dr. Faida jika diberi amanah rakyat, akan memberikan kewenangan lebih besar, meskipun tidak secara formal dan tertulis, kepada Kiai Muqit.
Termasuk, janji dr. Faida yang tanpa diminta siapa pun, akan menfasilitasi pendirian lembaga pelayanan kesehatan di Pondok Pesantren Annuqayah. Terkait ini, masyayikh di Annuqayah menyambut rencana itu dengan terbuka dan gembira, karena memang salah satu cita-cita masyayikh yang belum tercapai, khususnya Al-Maghfurlah Kiai Ahmad Basyir, pengasuh PP Annuqayah Latee, adalah membangun layanan kesehatan yang profesional dan dapat dijangkau masyarakat sekitar pesantren.
Sesepuh Turun Gunung
Karena itu, pencalonan Kiai Muqit bersama dr. Faida bukan hanya direstui, tapi juga didukung penuh oleh masyayikh di Annuqayah. Sikap para masyayikh ini dapat dipahami, karena beliau-beliau memahami betul sosok santri yang bernama Abdul Muqit Arief itu. Yang, mondok mengenyam pendidikan di Annuqayah selama sekitar 13 tahun, pernah menjadi pengurus pesantren, kepala Biro Pengabdian Kepada Masyarakat, pengajar di lembaga-lembaga pendidikan di Annuqayah, berkomitmen pada pemberdayaan dan pendidikan masyarakat, serta matang secara intelektual dan emosional. Sejak 1992, Kiai Muqit diberi amanah untuk memimpin Pondok Pesantren Al-Falah Silo. Sejak awal pulang kampung, dipercaya untuk menjadi ketua dan dewan pembina organisasi alumni Annuqayah Sekarkijang.
Kiai sepuh pengasuh PP Annuqayah, yaitu Kiai Ahmad Basyir dan Kiai Abdul Muqsith, bahkan datang ke Jember pada masa kampanye untuk memberikan dukungan moral, spiritual dan sosial bagi Kiai Muqit. Mungkin masyayikh yakin, dengan latar belakang dan sosok kiai Muqit itu, pencalonan Kiai Muqit mendampingi dr. Faida akan memberikan banyak warna kebaikan dalam pemerintahan kelak, memberikan kemaslahatan kepada lebih banyak masyarakat. Tentu ini berat bagi Kiai Muqit karena bukan hanya memenuhi amanah rakyat, tetapi juga amanah dan harapan para kiai sepuh yang sangat beliau takdzimi.
Ketika Kiai Basyir datang ke Jember, di PP Al-Falah Silo, kami santri dan alumni Annuqayah di Jember dan sebagian dari kabupaten sekitar berkumpul. Menyimak dawuh-dawuh beliau yang disampaikan dengan sangat riang dan senang, meski kami tahu kondisi kesehatan beliau tidak lagi prima.
“Mara, tolongin Muqit reya! Mon bede disah tempat alumni reya Muqit kala, alumni jiyah eskors jhe’ entar ka pondhuk! (Mari, bantu Muqit ini! Kalau ada desa tempat alumni ini Muqit kalah disitu, maka alumni itu diskors jangan datang ke pondok untuk beberapa waktu!)”. Demikian salah satu dawuh Kiai Basyir yang diiringi gelak tawa bersama-sama para santri dan alumni. Namun demikian, beliau menegaskan di akhir pertemuan itu bahwa meskipun itu disampaikan dengan nada canda dan tawa, beliau serius dalam candaanya itu. “Engko’ matoro’ah Aswaja ka Muqit. Mara tolongin Muqit pamenang (Saya titip Aswaja kepada Muqit, ayo bantu Muqit agar menang),” kata K. Basyir yang saat itu juga adalah Rais Syuriah PCNU Sumenep.
Kiai Abdul Muqsith, salah satu kiai sepuh dewan pengasuh Annuqayah yang lain, bahkan sengaja berkeliling Jember pada masa kampanye. Beliau datang ke alumni, kolega, dan sanak famili untuk memastikan mereka membantu Kiai Muqit. Beliau dawuh, “K Muqit reya tretan. Beremmaa bisaos, tretan kodhu ebilleh! Napa pole K Muqit neka pribadi se bhagus! (K Muqit ini adalah saudara kita. Bagaimanapun kondisinya harus dibela! Apalagi K Muqit ini adalah pribadi yang baik!)”.
Simpul-Simpul Kegemilangan
Dawuh itu dipegang erat oleh para santri dan alumni. Mereka berupaya sekuat tenaga dan pikiran untuk memenangkan pasangan calon Faida-Muqit bahkan dengan amunisi yang dirogoh dalam-dalam dari kantong mereka sendiri. Mereka membentuk dan menggerakkan relawan Laskar Santri. Dan benar, pasca pencoblosan, nyaris di semua kecamatan, pasangan calon ini menang. Ini bukan berarti kami santri mau mengklaim bahwa kemenangan itu karena upaya kami belaka. Kami hanya ingin menyatakan bahwa santri, alumni, wali santri, dan simpatisan yang berafiliasi secara primordial, sosial, dan emosional dengan Kiai Muqit juga berkontribusi besar atas kemenangan itu.
Yang paling mudah untuk mengkonfirmasi “saham” Kiai Muqit ini adalah perolehan suara di Silo, tempat kediaman Kiai Muqit. Meskipun di sana banyak tokoh yang tidak mendukung paslon Faida-Muqit, namun perolehan suara paslon ini sangat unggul, yaitu 38.103 suara dari total suara sah 50.557. Dan perlu dicatat, Silo adalah kecamatan dengan jumlah pemilih paling banyak, serta tingkat partisipasi paling tinggi di Jember saat itu. Di kecamatan lain, selain partisipasi jauh lebih rendah dari Silo, pasangan Faida-Muqit banyak yang kalah dan menang tipis. Artinya, secara politik, meskipun sebagaimana yang diceritakan Eep bahwa pada awal pencalonan Kiai Muqit hanya punya uang 13 juta di rekeningnya, kontribusi dan saham politik kiai Muqit tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan demikian menjadi jelas bahwa modal kemenangan tidak semata bertumpu pada uang belaka, melainkan social-capital yang tidak bisa diperoleh secara instan, melainkan kekayaan yang eksis secara kultiural di lingkungan masyarakat santri.
Sehingga, sangat menyakitkan kami santri ketika komitmen awal dr. Faida untuk membangun Jember secara bersama-sama, penentuan prioritas pembangunan, distribusi sumberdaya politik dan pemerintahan secara memadai, dikhianati. Serta, janji-janji sampingannya diingkari, seperti janji pembangunan klinik-klinik kesehatan di pesantren-pesantren di Jember dan fasilitasi pembangunan pusat layanan kesehatan di Annuqayah. Kejamnya, hingga saat ini dr. Faida bukan hanya banyak mengingkari janji, melainkan sikapnya juga sering melecehkan komunitas santri.
Pisau-Pisau Pengiris Hati
Selesai pencoblosan dan paslon Faida-Muqit dinyatakan menang, kami komunitas santri kembali pada aktivitas seperti biasa, menunaikan kewajiban personal, keluarga, maupun organisasional, IAA. Di antara program yang sudah diagendakan adalah melaksanakan seminar sebagai sarana untuk terus belajar dan memperluas wawasan. Seperti biasa, kami berkomunikasi dan mengajak banyak instansi (pemerintahan maupun perusahaan) untuk mendukung mensukseskan kegiatan sosial tersebut. Di antaranya, kami melayangkan proposal ke instansi Rumah Sakit Bina Sehat (RSBS) milik dr. Faida, yang sebelumnya sangat antusias mendukung kegiatan kami seperti memberikan layanan cek kesehatan gratis, dan tentu saja kami memberikan timbal balik dengan kesempatan dr. Faida untuk memberikan sambutan dan menyampaikan visi-misinya dalam dunia kesehatan di acara tersebut.
Dalam pelaksanaan seminar kali ini, kami menawarkan kerjasama kepada Bank Indonesia dan RSBS. BI menyambut baik dan memberikan support atas pelaksanaan kegiatan ini. Terhadap tawaran kerjasama pelaksanaan kegiatan setelah memang pilbup kali ini, pihak RSBS menunjukkan perubahan sikap, dukungan kerjasama dalam seminar nasional diwujudkan dalam bentuk 10 dus air mineral gelasan “Fakta” sisa kampanye, yang kemudian dikembalikan oleh panitia.
Demikian juga ketika hendak menyusun program, verifikasi, dan validasi data insentif untuk guru ngaji, awal 2016, Bupati Faida mengundang teman-teman santri di lingkaran Kiai Muqit. Kami sambut, karena kita anggap hal itu memang kompetensi kami, santri. Kami ditugaskan untuk berkolaborasi dengan instansi terkait untuk terjun ke lapangan melakukan verifikasi dan validasi data guru ngaji. Setelah itu, selesai. Tidak ada koordinasi lanjutan, tidak ada evaluasi, tidak ada tindak lanjut. Kami ditinggal begitu saja.
Beberapa bulan kemudian, muncul kebijakan: guru ngaji yang mau mendapatkan bantuan, perlu mengajukan proposal. Tak pelak, banyak protes keras muncul dari pelbagai penjuru. Sasaran yang paling logis dibidik adalah Kiai Muqit dan komunitas santri yang dianggap di belakang Kiai Muqit, karena merekalah yang dianggap berada di balik kebijakan yang dipandang merendahkan guru ngaji tersebut. Kami kaget.
Demikian juga, janji kerja sama manajemen rumah sakit di Annuqayah yang sangat mengecewakan. Padahal, ketika perencanaan pendirian rumah sakit itu, beberapa dewan pengasuh Annuqayah generasi ketiga, diminta datang beberapa kali ke Jember. Berdiskusi, bermusyawarah terkait dengan desain bangunan fisik dan manajemen. Untuk itu, beliau-beliau harus menginap di Jember beberapa hari. Mungkin saking senangnya, mereka tidak berkenan dipesankan hotel. Mereka dengan sukarela dan senang beristirahat di rumah kontrakan salah satu alumni. Tanpa AC, hanya kipas angin. Tanpa kasur, hanya karpet lusuh. Beliau-beliau, guru-guru yang kami takdzimi itu bergeletakan beristirahat di lantai rumah sederhana itu. Ini sejarah yang tidak akan kami lupakan. Tapi yang terjadi: janji janji Faida terus ditunda-tunda, hingga akhirnya para masyayikh membatalkan kerjasama itu, karena merasa dipermainkan, dan tak ingin membebani hati dan pikiran alumni di Jember.
Kami Punya Hati …
Kami sadar, tidak mungkin suatu rezim pemerintahan dapat mengkomodir semua aspirasi dan kelompok politik. Namun demikian, dalam sejarah politik di Jember belum pernah ada Bupati yang memberikan harapan begitu besar sekaligus kemudian menjejalkan kekecewaan dan sakit hati yang begitu mendalam, khususnya terhadap yang memperjuangkannya berdarah-darah, sebagaimana yang dilakukan Faida ini. Siapapun boleh menguji fakta yang mengejutkan ini: banyak orang yang awalnya adalah sahabat Faida berubah menjadi musuh-musuhnya.
Apa yang saya sampaikan ini tentu di luar fenomena konflik (yang oleh eufemisme Eep sebut sebagai “dinamika”). Dinamika lebih bermakna pada gerakan yang positif dan produktif. Yang terjadi di Jember bukan pergerakan yang produktif, melainkan negatif dan merugikan, seperti Jember satu-satunya kabupaten di Indonesia yang hingga saat ini tidak memiliki APBD.
Siapapun bisa memperhatikan konflik Bupati-DPRD, Bupati-Birokrasi, Bupati-Organisasi Profesi (seperti guru dan lain sebagainya), terkait kebijakan, komunikasi, dan teknokrasi pemerintahan daerah yang diobok-obok. Semua orang bisa berpendapat menurut perspektif masing-masing. Namun fakta menyuguhkan: DPRD memakzulkan bupati pada 22 Juli 2020, dan Gubernur Jawa Timur menjatuhkan sanksi kepada Bupati pada 2 September 2020, yang ini semua juga menjadi pil pahit bagi Kiai Muqit dan para relawan santri.
Ketika Kiai Muqit dan Bu Nyai terlihat menyertai pasangan Faida-Vian dalam pendaftaran ke KPUD Jember pada 6 September 2020, banyak kelompok politik yang merebut tafsir seraya memilin narasi untuk kepentingan politik masing-masing.
Pendukung Faida menarasikan: Kiai Muqit masih selalu setia dan mendukung dr Faida. Ini dikuatkan oleh narasi yang ditulis oleh Eep Syaifulloh Fatah yang merupakan konsultan politik Faida-Vian dalam Pilkada Jember 2020 ini. Sedangkan lawan politik Faida-Vian melihat kehadiran Kiai Muqit itu adalah sebagai suatu tindakan yang tidak etis, berlebihan, melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, sehingga patut dilaporkan dan diproses hukum oleh Bawaslu.
Persoalan ini perlu dilihat secara jernih. Apakah Kiai Muqit melanggar peraturan? Kembalikan ini pada undang-undang, peraturan yang berlaku, serta proses dan mekanisme di Bawaslu. Apakah Kiai Muqit mendukung Faida-Vian? Kembalikan ini kepada dua hal: karakter dan pengalaman Kiai Muqit diperlakukan sedemikian rupa oleh dr. Faida.
Saya hanya ingin menyampaikan bahwa saat itu, banyak sekali pesan lewat WA dari relawan Kiai Muqit yang menyatakan kekecewaannya atas sikap kiai saat itu. Saya menduga kuat bahwa kepolosan dan kebaikan hati Kiai Muqit telah dimanfaatkan.
Pertama, karakter Kiai Muqit. Beliau adalah santri, kiai, intelektual dan aktivis. Tentu beliau mengetahui tatakrama dan hukum dalam pergaulan kemasyarakatan. Jika beliau diundang dalam suatu hajatan oleh seorang teman, kalau tidak ada halangan, tentu beliau akan hadir, karena hukum memenuhi undangan dalam Islam adalah wajib. Menolak undangan tentu akan dihindari oleh Kiai Muqit karena bisa jadi itu juga menyinggung perasaan, mendatangkan konflik, dan merenggangkan ikatan persaudaraan dengan dr. Faida.
Kemungkinan itu pasti diantisipasi oleh Kiai Muqit jika melihat karakter Kiai Muqit yang selama ini memang selalu hati-hati untuk tidak menyinggung perasaan dan berkonflik dengan siapapun. Sehingga, beliau diterima dan mendapatkan simpati dari banyak kalangan. Bahkan karakter ini menjadi salah satu alasan dr. Faida dan Eep Syaifulloh Fatah menggadang-gadang Kiai Muqit untuk mendampingi Faida pada Pilkada Jember 2015 silam. Dan masih berharap pada periode kedua ini akan menjadikan Kiai Muqit sebagai calon wakil bupati lagi, dan konon ditolak. Penolakan ini tentu punya makna jelas yang bisa dipahami oleh siapa pun.
Kedua, dengan melihat perlakuan Faida terhadap Kiai Muqit selama ini, sebagaimana yang saya uraikan di atas, rupanya tidak mungkin Kiai Muqit masih mendukung Faida secara politik. Meskipun secara pribadi, Kiai Muqit tidak mungkin memutus tali silaturrahim dan membuat tersinggung dr. Faida.
Sudah cukup kiranya Kiai Muqit dibuat malu terhadap para masyayikh di almamaternya, terhadap komunitas santri yang merupakan habitatnya, serta konstituennya yang bersimpati terhadapnya selama ini. Tidak mungkin Kiai Muqit menyakiti kami dan para simpatisannya secara bertubi-tubi. Kiai Muqit dan kami semua punya hati bukan untuk disakiti. Maka narasi Eep dalam tulisan Kyai Muqit, intinya ada pada tiga paragraf terakhir, yakni dengan menunjukkan bahwa pilihan sikap Kyai Muqit dan Bu Nyai [ikut datang ke KPU dalam pendaftaran Faida-Vian] adalah pilihan elok, dengan pesan implisit: patut ditiru oleh para pemilih; kemudian dia menunjukkan simpati dan rencana membela jika kehadiran Kiai Muqit dan Bu Nyai dipermaslahkan oleh Bawaslu, hanyalah pola rekrutmen psikologi politik (trick of political-recruitment) konstituen santri atau siapa pun yang simpati kepada Kiai Muqit untuk tetap memberikan suara kepada Paslon Faida-Via.
Ini logika sederhana santri yang mengiringi kiai. Sudah jelas, ketika ditanya awak media saat di KPUD pada 6 Sepetember 2020 lalu, “Apakah Kiai tim atau pendukung paslon Faida-Vian?”, beliau menjawab, “Nggak, saya sebagai rakyat biasa, hehehe. (Selebihnya, tanya) sama ibu saja”. Wallahu a’lam!
Jember, 9 September 2020
*) Mohammad Moeslim, Ketua IAA Sekarkijang, Periode 2016-2020.