Usung Tema Ekofeminisme dan Perempuan Madura, Lesbumi Jember Hadirkan Cerpenis Muna Masyari

Media Jatim

MEDIAJATIM.COM | JEMBER – Pangkalan Budaya #4 Lesbumi PCNU sukses digelar. Kegiatan rutin bulanan bidang Kesastraan Lesbumi PCNU Jember tersebut mengusung tema Ekofeminisme dan Ruang Gerak Perempuan Madura dalam Cerita, Sabtu, 5 Februari 2022 di Kafe Kancakonakopi Jember.

Sebagai pemantik diskusi, Lesbumi Jember menghadirkan dua penulis perempuan yang sama-sama konsen mengangkat tema ekofeminisme, yaitu Muna Masyari dan Nurillah Achmad. Turut hadir pada kesempatan tersebut Ali Ibnu Anwar, CEO Penerbit Bukuinti.

Acara diskusi berjalan menarik. Hal ini terbukti dari animo peserta yang gayeng dan dinamis.

“Luar biasa diskusi sore ini, selain temanya yang menarik juga banyak sekali komunitas sastra, pemerhati, serta DKJ Jember turut hadir. Semoga menjadi wadah yang sejuk, teduh, kritis dan mencerdaskan di Jember” ujar Samian Adib, kordinator bidang ksastraan Lesbumi.

Siswanto, ketua Lesbumi PCNU Jember menambahkan bahwa acara ini bertujuan untuk melihat sejauh mana karya sastra, utamanya yang dihasilkan oleh penulis asal Madura, membicarakan relasi perempuan, alam dan eksploitasi terhadap keduanya.

“Cukup sulit mencari karya sastra penulis Madura yang secara spesifik mengusung tema itu. Sejauh ini, saya baru menemukannya dalam cerpen-cerpen karya Muna Masyari dan Nurillah Achmad. Utamanya, tampak pada konflik yang diusung cerpen berjudul Pamengkang yang terbit di Kompas November lalu,” jelasnya.

Baca Juga:  What to anticipate From a Bride Tour

Dosen FKIP Universitas Jember tersebut memberikan pandangan bahwa ekofeminis menggarisbawahi pemikiran kapitalisme dalam meyakini pengetahuan untuk keperluan eksploitatif atau memperkaya tanpa memandang dampak tertentu, khususnya terhadap alam dan perempuan. Hal ini dapat dilihat pada dialog cerpen Pamengkang, “Sekolah tinggi-tinggi kok malah goblok”.

“Suatu sarkasme yang menohok yang disampaikan oleh nenek kepada tokoh lelaki/cucunya sendiri, dalam mengekspresikan resistensinya terhadap rencana industrialisasi perumahan.” pungkasnya.

Sementara itu, Muna Masyari justru menyilakan pembaca merepresentasikan cerpen itu dari berbagai sudut pandang. Pasalnya, penulis novel Damar Kembang itu secara spesifik justru tidak bermaksud sejauh itu dengan mengusung semangat ekofeminisme dalam karyanya.

“Terkadang representasi pembaca memang bisa lebih luas dibanding niat penulis. Saya sendiri, dalam cerpen itu, sebenarnya ingin menuliskan bagaimana kapitalisme telah menancap sebegitu dalamnya sehingga orang-orang kini memandang ‘tanah’ dari sisi materi saja, tak lagi sebagai hal yang turut menkontruksi identitas dan budayanya,” ujarnya.

Baca Juga:  DPMD Situbondo Sebut Proyek Desa Tetap Jalan di Tengah Wabah Covid-19

Senada dengan Muna Masyari, pada dasarnya Nurillah Achmad juga tidak bermaksud sejauh itu dengan mengusung spirit ekofeminisme dalam karyanya. Menurutnya, ia hanya ingin menuliskan kegelisahannya mendapati eksploitasi lingkungan di sekitarnya.

“Apakah kemudian karya saya bisa dikategorikan sebagai bagian dari gerakan ekofeminsime, saya bersyukur, hanya, saya ingin menuliskan kegelisan mendapati ekspolitasi terhadap alam di sekitar saya,” ujar penulis novel Lahbako tersebut.

Sementara itu, Ali Ibnu Anwar, sastrawan sekaligus CEO penerbit Buku Inti, memandang lepas dari apapun istilah yang disematkan kepada cerpen-cerpen karya Muna Masyari dan Nurillah Achmad, gagasan dan cara penyampaian yang ditawarkan keduanya sangat menarik dan turut memperkaya penulisan cerpen di Indonesia.

“Bukan hanya memandang perempuan dan alam sebagai korban ketimpangan sistemik, tapi juga mencatat perlawanannya. Narasi ini harus terus dicari dan dibangun, sudah saatnya penulis memiliki komitmen terhadap lingkungan melalui kerja kreatifnya” ujarnya.

Reporter: F Ahmad

Redaktur: A6