Oleh: Untung Wahyudi*)
Dalam buku Multiple Intellegences, Howard Gardner menjelaskan, kecerdasan seseorang tidak dapat diwakili oleh angka-angka atau hasil tes standar. Kecerdasan itu bersumber dari kebiasaan (habit), yaitu perilaku yang cenderung diulang-ulang.
Ketika anak berhasil membuat sebuah karya, meski sangat sederhana, maka cukup kita menyebut dia cerdas. Ketika anak kita berani tampil dengan kemampuan menyanyi, membaca puisi, bermain drama, berdisuksi, dan lain-lain, maka cukup sudah kita sebut anak tersebut cerdas.
Saat anak kita mampu menyelesaikan masalah yang dialaminya, apakah masalah itu berkaitan dengan rutinitas, seperti mulai memakai baju sendiri, memakai kaus kaki dan sepatu, sampai dalam perkembangan usianya mampu menyelesaikan masalah-masalah psikologis, seperti bagaimana menjalin persahabatan dengan teman-temannya, cukup kita sebut anak tersebut cerdas.
Apa yang dinyatakan Howard Gardner—sebagaimana dikutip dari buku Semua Anak Bintang (Mizan, 2018) karya Munif Chatib—sangat relevan dengan wacana Kurikulum Merdeka yang baru saja diluncurkan Kemendikbudristek pada Jumat (11/2/2022). Dalam paparannya, Mendikbudristek Nadiem Makarim menjelaskan, dalam Kurikulum Merdeka, pendidikan berpatokan pada esensi dari belajar di mana masing-masing anak memiliki bakat dan minatnya masing-masing.
Pro-Kontra Kurikulum Merdeka
Sejak diluncurkan Kurikulum Merdeka beberapa waktu lalu, laman media online dipenuhi opini tentang kebijakan dan peluncuran kurikulum baru tersebut. Ada yang setuju dengan Kurikulum Merdeka, namun ada juga yang kurang setuju dengan rencana kurikulum baru tersebut.
Millah N Haq, seorang guru SMK swasta menyampaikan keberatannya. Seperti dilansir kompas.com (18/2/2022), dia lebih menginginkan agar kurikulum yang sudah ada dioptimalkan terlebih dahulu. Menurutnya, selama ini kurikulum terlalu sering berganti, yang pada akhirnya tidak terlalu optimal. Padahal, menurutnya, mengoptimalkan kurikulum yang ada itu lebih baik daripada membuat kurikulum baru.
Sementara itu, Padil Sarip Mako, Kepala SLBN Batu Merah, Ambon, Maluku, menyampaikan dampak positif penerapan Kurikulum Merdeka di sekolahnya. Dengan menerapkan kurikulum yang sebelumnya dikenal dengan kurikulum prototipe, sekolahnya dapat mengembangkan karakter profil pelajar Pancasila sesuai kebutuhan dan karakteristik peserta didik.
Armayanti, Kepala SMK Swasta Taman Siswa Medan, Sumatera Utara, mengungkapkan, Kurikulum Merdeka juga mendukung peningkatan kualitas pelayanan pembelajaran dan kualitas lulusan. Penerapan Kurikulum Merdeka tersebut memberikan ruang bebas berkreasi bagi guru dan siswa untuk meningkatkan kualitas kompetensinya melalui gerakan Merdeka Belajar.
Kurikulum yang Memerdekakan Siswa
Dalam tulisannya berjudul Kurikulum Merdeka, Bisa Mengejar Pembelajaran yang Tertinggal di Masa Pandemi (iradiofm.com, 15/2/2022), Fadiansyah Putranto menjelaskan, Kurikulum Merdeka memungkinkan siswa mengambil pelajaran yang diminati.
Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Mendikbudristek bahwa, Kurikulum Merdeka membebaskan siswa memilih materi yang sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Tidak ada paksaan dalam pembelajaran kurikulum baru tersebut. Siswa diajarkan sesuai materi yang dipilihnya.
Namun begitu, Mendikbudristek menegaskan, Kurikulum Merdeka merupakan opsi dan tidak harus ditetapkan untuk semua sekolah. Sekolah yang belum siap dengan kurikulum baru, dipersilakan menggunakan kurikulum yang selama ini berjalan seperti Kurikulum 2013.
Ada dua tujuan utama yang mendasari kebijakan bahwa Kurikulum Merdeka dijadikan opsi. Pertama, pemerintah, dalam hal ini Kemendikbudristek, ingin menegaskan bahwa sekolah memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai kebutuhan dan konteks masing-masing sekolah.
Kedua, dengan kebijakan opsi kurikulum ini, proses perubahan kurikulum nasional harapannya dapat terjadi secara lancar dan bertahap. Karena, perubahan kerangka kurikulum tentu menuntut adaptasi oleh semua elemen sistem pendidikan. Proses tersebut membutuhkan pengelolaan yang cermat sehingga menghasilkan dampak yang kita inginkan (Buku Saku Kurikulum Merdeka, hlm. 11).
Mengintip Keunggulan Kurikulum Merdeka
Sebagaimana diakui sejumlah guru yang telah mempraktikkan Kurikulum Merdeka di beberapa sekolah penggerak, kurikulum ini memiliki sejumlah keunggulan sehingga perlu dan penting untuk diterapkan.
Pertama, Kurikulum Merdeka lebih sederhana dan mendalam. Dalam hal ini, siswa bisa fokus pada materi yang esensial dan pengembangan kompetensi peserta didik pada fasenya. Siswa juga bisa belajar lebih mendalam, bermakna, tidak terburu-buru dan menyenangkan.
Kedua, lebih merdeka. Tidak ada program peminatan di SMA, peserta didik memilih mata pelajaran sesuai minat, bakat, dan aspirasinya. Guru pun mengajar sesuai tahap capaian dan perkembangan peserta didik. Sementara sekolah, memiliki wewenang untuk mengembangkan, mengelola kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan dan peserta didik.
Ketiga, lebih relevan dan interaktif. Dalam kurikulum ini, pembelajaran melalui kegiatan projek memberikan kesempatan lebih luas kepada peserta didik untuk secara aktif mengeksplorasi isu-isu aktual seperti isu lingkungan, kesehatan, dan lainnya (Buku Panduan Merdeka Belajar Episode Kelima Belas, hlm. 9-11).
Penetapan kurikulum baru memang membutuhkan proses. Tidak akan serta-merta ditetapkan di semua sekolah. Begitu juga Kurikulum Merdeka yang belum bisa diterapkan secara nasional. Pihak Kemendikbudristek memberikan opsi bagi satuan pendidikan, kepala sekolah, dan guru, menyambut kurikulum baru tersebut.
Pro dan kontra yang muncul semoga bisa menjadi jalan untuk memajukan visi dan misi pendidikan Indonesia. Perubahan kurikulum diharapkan bisa menjadikan siswa belajar sesuai dengan minat dan bakatnya. Para pendidik pun mampu mengajarkan berbagai materi dengan metode pembelajaran yang relevan dengan kebutuhan siswa di masa sekarang.
*) Untung Wahyudi, lulusan UIN Sunan Ampel, Surabaya