Display 17 Agustus _20240918_112934_0000

Rawat Kerukunan Umat Beragama, GusDurian Sumenep Nobar dan Bedah Film Luka Beta Rasa

Media Jatim
Kerukunan Umat
(Dok. Media Jatim) Ketua FKUB Sumenep KH. Qusyairi Zaini (kanan), dan Tokoh Agama Buddha Koko Sugianto, saat Nobar dan Bedah Film Luka Beta Rasa, di Klenteng Pao Sian Lin Kong Sumenep, Sabtu (26/11/2022).

Sumenep — GusDurian Sumenep menggelar nonton bareng (Nobar) dan bedah film Luka Beta Rasa di Klenteng Pao Sian Lin Kong, Jalan Slamet Riyadi, Desa Pabian, Kota Sumenep, Sabtu (26/11/2022).

Kegiatan yang bertujuan untuk merawat kerukuran antaragama tersebut menghadirkan ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sumenep KH. Qusyairi Zaini, Tokoh Agama Buddha, dan Koko Sugianto sebagai pemateri.

Ketua GusDurian Sumenep Zaenollah, dalam sambutannya, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan kegiatan rutin yang biasa dilaksanakan setiap bulan pada tanggal 17.

“Kerukunan dan toleransi antarumat beragama telah dibangun oleh para pendahulu bangsa. Sikap toleransi merupakan karakter yang telah diwariskan oleh para leluhur bangsa ini,” ungkapnya, Sabtu (26/11/2022).

Selain itu, imbuh Zaenol, para pendahulu juga mengajarkan tentang arti kemajemukan dan sikap saling menghargai antarsuku, ras, budaya dan agama.

“Maka tugas kita bersama untuk merawat kerukunan itu,” sambungnya.

Setelah pemutaran film dokumenter konflik Ambon pada awal 1999 tersebut–yang berdurasi sekitar 30 menit–kegiatan dilanjutkan dengan diskusi terkait isi dan pesan moral di balik film tersebut.

Baca Juga:  Bahas Problem Masyarakat Petani, Sidang Rakyat di Sumenep Tidak Dihadiri Wakil Rakyat

Ketua FKUB Sumenep KH. Qusyairi Zaini menyampaikan bahwa konflik sektarian antarumat di Indonesia tidak hanya atas dasar perbedaan agama, tetapi juga karena ada pihak yang menunggangi untuk kepentingan politik, ekonomi dan lain sebagainya.

Pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Ulum Gadu Barat itu mengatakan, konflik-konflik biasanya terjadi pada saat negara tidak stabil.

Banner Iklan Media Jatim

Misalnya, konflik yang terjadi di Poso 1999 terjadi saat rezim Soeharto baru tumbang dan kondisi ekonomi bangsa mengalami devaluasi.

“Konflik serupa bisa saja akan terus terjadi bila kita tidak bijak di dalam menghadapi persoalan SARA, terlebih di era digital dan mendekati momentum Pilpres yang kerap menjadi pemantik terjadinya konflik di tanah air,” jelasnya.

Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk tersebut mengingatkan dua hal penting. Pertama, masyarakat harus sadar nikmat terbesar yaitu hidup rukun dan damai.

Baca Juga:  Spirit Hari Kartini, Istri Bupati Ajak Perempuan Pacitan Semangat Perangi Covid-19

Kedua, kesadaran bahwa setiap konflik pasti berakhir namun luka fisik dan psikis sulit dilupakan. “Sebab itu semua, mari syukuri nikmat rukun dan damai ini,” tuturnya.

Salah seorang tokoh Agam Buddha Sumenep, Koko Sugianto, menyampaikan bahwa konflik sektarian antaragama di Poso merupakan luka sejarah negeri ini, yang tidak boleh terulang kembali. Sebab banyak kerugian materi terutama luka batin yang sulit disembuhkan.

“Maka duduk bersama merajut persaudaraan seperti yang kita gelar saat ini merupakan suatu hal penting yang harus sering kita lakukan demi merawat kerukunan dan toleransi antarumat,” paparnya.

Pengurus Klenteng Pao Sian Lin Kong, Seno, mengapresiasi kegiatan tersebut dan berterima kasih kepada para peserta yang hadir dan komunitas GusDurian serta FKUB Sumenep. Sebab telah melaksanakan acara di Klenteng yang sudah berumur 190 tahun itu.

Kegiatan diskusi interaktif ini ditutup dengan pembacaan doa untuk korban bencana alam di Cianjur menurut agama masing-masing.(rif/ky)