Mendengarkan Cerita Pak Said Suka Berbagi Uang

Media Jatim
Said Abdullah
Addarori Ibnu Wardi

Sebagai warga Sumenep, sudah familier mendengar nama Said Abdullah, atau orang memanggilnya Pak Said.

Dia merupakan politisi senior yang menjabat sebagai anggota DPR RI sejak 2004 dari PDIP Daerah Pemilihan (Dapil) XI Jawa Timur (Madura).

Sekak 2019, Pak Said menjabat sebagai Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI. Dia juga pernah mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur periode 2013-2018, mendampingi Bambang DH. Namun Pak Said kalah ke Soekarwo dan Saifullah Yusuf.

Banner Iklan Media Jatim

Dengan latar belakang ini, tentu, hampir semua orang di Madura mengenal Pak Said. Penulis sendiri mengetahui sosok Pak Said, meskipun tidak pernah bertemu secara personal.

Kemarin, di awal ramadan yang begitu tenang, saat membuka handphone, penulis dikejutkan dengan banyaknya berita yang menulis “Pak Said Bagi-Bagi Amplop di Salah Satu Masjid di Sumenep”.

Berita ini menyebar ke mana-mana dan membuat geger se-Indonesia. Bagaimana tidak, penulis buka Twitter, Tiktok, hingga media-media mainstream, isinya Pak Said.

Kalau tidak salah, ramainya pemberitaan Kader PDIP ini bermula dari ungahan foto amplop merah PDIP bergambar Pak Said dan Bupati Sumenep Achmad Fauzi oleh salah satu akun media sosial Partai Socmed.

Ada banyak pertanyaan di kepala penulis, jika disederhanakan pertanyaan tersebut menjadi “Salahnya di mana?”.

Sebagai orang yang tidak mengenal langsung, izinkan penulis bercerita sedikit tentang kebiasaan Pak Said setiap ramadan. Hal ini berangkat dari cerita-cerita kawan-kawan, saudara, atau sedikit kenalan tokoh-tokoh masyarakat di Sumenep.

Di Madura, khususnya Kabupaten Sumenep, Pak Said dikenal sebagai sosok dermawan oleh sebagian kalangan yang penulis kenal dan pernah berinteraksi dengannya.

Pak Said biasa menyumbang untuk kegiatan-kegiatan masyarakat, hingga, membantu pembangunan rumah ibadah.

Sementara untuk bagi-bagi uang zakat mal kepada jemaah tarawih di Masjid Abdullah Sechan Bagraf, sebenarnya itu terjadi sejak lama.

Baca Juga:  PWI Serap Pemikiran Cabup-Cawabup Pamekasan

Setiap tahun, Pak Said sendiri mengonfirmasi, bahwa itu berlangsung sejak 2006 silam. Pembagian zakat tersebut selalu viral, baru pada tahun 2023 ini menjadi geger dan dipermasalahkan oleh sebagian pihak.

Penulis tidak memiliki pengalaman salat apalagi tarawih di Masjid Abdullah Sechan Bagraf, karena jaraknya lumayan jauh dari rumah. Penulis juga jarang beraktivitas ke daerah perkotaan Sumenep.

Menurut teman-teman yang beraktivitas, baik kuliah ataupun bekerja di daerah perkotaan Sumenep, Pak Said mendirikan dua masjid, yaitu Masjid Abdullah Sechan Bagraf dan Masjid Fathimah binti Said Gauzan. Penamaan kedua masjid tersebut diambil dari nama kedua orang tua Pak Said.

Berdasarkan cerita teman dan saudara yang pernah tarawih di masjid itu, dulunya pembagian amplop tersebut cukup unik. Bisa dibagikan di hari-hari tertentu, atau penerima hanya di barisan salat tertentu. Bahkan, terkadang disyaratkan menggunakan kostum tertentu, misalnya, harus membawa sajadah, atau harus pakai baju koko dan bemodel doorprize.

Ada seorang guru bercerita, bahwa hal itu merupakan model dakwah Pak Said untuk membuat orang-orang, terutama kalangan anak muda, bersemangat dalam beribadah di bulan ramadan. Karena, tidak sedikit kalangan anak muda yang kerjaannya keluyuran dan tidak tarawih, seperti penulis sendiri, misalnya.

Jika ditelisik lebih jauh, kegiatan bagi-bagi zakat ini juga dilakukan oleh tokoh-tokoh atau politisi yang lain.

Hal semacam itu lumrah di kalangan masyarakat, bahwa setiap ramadan, hampir semua politisi berbagi tunjangan hari raya (THR), baik berupa sembako, sarung, parsel dan lainnya disertai dengan gambar politisi itu sendiri dan partainya.

Jika mau fair, harusnya, semua perilaku serupa dipermasalahkan juga. Jangan sampai menggunakan standar ganda, sehingga, muncul kecurigaan bahwa, ini bermasalah karena yang membagikan dari latar belakang partai tertentu.

Baca Juga:  Jelang Pemilu, PPK Kadur Retak?

Hari ini tidak sedang dalam masa kampanye, bahkan, tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) masih berjalan. Daftar calonnya juga belum ada, bagaimana mungkin ini disebut mencuri start? Bagaimana jika Pak Said ternyata tidak mencalonkan diri lagi? Apa karena dibagikan di masjid? Bagaimana jika masjid itu dia bangun sendiri?

Pertanyaan-pertanyaan ini terus mengganggu pikiran penulis yang awam akan aturan kampanye ini. Tentu saja, yang bisa menentukan salah dan benar adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI atau pihak-pihak yang berwenang, bukan orang per orangan.

Namun, cukup disayangkan jika karena kegaduhan ini, pembagian zakat malnya Pak Said harus dihentikan. Terlalu banyak cerita dari teman maupun saudara yang justru merasa terbantu keuangan mereka di waktu ramadan.

Dari teman yang kuliah dan kos di Sumenep, dan pernah tarawih di sana, mereka senang ketika menerima amplop itu. Setidaknya, mereka bisa terbantu membeli lauk untuk sahur dan berbuka puasa.

Ada juga yang menggunakan uang tersebut untuk membeli baju lebaran, karena bagi kalangan tertentu seperti mahasiswa, isi amplopnya bisa dibilang lumayan banyak.

Terakhir, jika memang hal itu dianggap bermasalah, pihak yang berwenang untuk menindak dan perlu membuat aturan main yang lebih jelas dan tidak membuat para politisi berjarak dengan rakyatnya.

Jangan sampai peristiwa ini menjadi semacam dilema tersendiri bagi politisi; mau berbagi namun terbentur aturan main, tidak berbagi dianggap jauh dari rakyat.

Sekali lagi, penilaian benar dan salah tetap ada pada penentu kebijakan, bukan pada orang per orangan.(*)


*Addarori Ibnu Wardi, pemuda Asal Ganding, Kabupaten Sumenep. Tinggal di Pamekasan.

Respon (2)

  1. Slahnya sebab di bagikan di tempat ibadah, katnya dilarang melakukan politisasi di tempat2 ibadah, biarkan masjid jadi tempt ibadaha saja, memper jelas aturan mainya saja…

Komentar ditutup.