Jember, mediajatim.com — Hubungan antara Bupati Jember Muhammad Fawait dan wakilnya, Djoko Susanto, dikabarkan tidak harmonis.
Kabar tersebut menjadi sorotan salah satunya oleh Direktur Pusat Studi Hukum, Pancasila, dan Konstitusi (PUSHPASI) Fakultas Syariah UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember Basuki Kurniawan.
Basuki menyebut bahwa sesuai regulasi, tugas seorang wakil bupati adalah delegasi dari bupati.
Kata Basuki, memang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diatur bahwa kepala daerah dan wakilnya bersifat kolektif kolegial.
Namun, dalam praktiknya, kewenangan wakil bupati tidak otomatis ada, melainkan harus diberikan oleh bupati melalui pendelegasian.
“Wakil bupati tidak bisa berjalan sendiri tanpa ada pendelegasian dari bupati,” jelasnya, Jumat (21/3/2025).
Lebih lanjut Basuki menjelaskan bahwa dalam sistem pemerintahan daerah terdapat tiga bentuk kewenangan yang harus dipahami.
“Ada tiga, yaitu: atribusi, delegasi, dan mandat. Kalau atribusi itu dari undang-undang, delegasi itu dari pelimpahan wewenang dari yang lebih atas, sedangkan mandat itu kayak perintah aja,” ulasnya.
Dalam kewenangan mandat, Basuki mengilustrasikan kewenangan dalam hubungan dosen dan mahasiswa.
“Contoh, saya sebagai dosen nyuruh mahasiswa untuk tanda tangan saya. Jadi mandat tadi itu kalau seumpamanya dia menyalahgunakan, yang salah adalah si pemberi mandat. Sementara dalam kewenangan atribusi dan delegasi, yang salah adalah yang melaksanakan,” paparnya.
Dalam kewenangan atribusi, lanjut Basuki, memang tidak ada kewenangan wakil bupati yang secara spesifik mengatur kewajiban menjalankan amanat kesejahteraan.
“Itu nggak ada atribusi dari undang-undang yang menyatakan seperti itu. Hanya di Pasal 66, Ayat (1) UU 23/2014 disebut bahwa wakil bupati memiliki tugas membantu kepala daerah,” lanjutnya.
Dia menilai bahwa secara hukum, bupati tidak berkewajiban memberikan kewenangan kepada wakilnya, tetapi secara etika politik, ketidakharmonisan tidaklah elok karena berpotensi menghambat efektivitas pemerintahan.
Fenomena ini, menurut Basuki, mencerminkan perlunya evaluasi dalam tata kelola pemerintahan daerah agar kabar ketidakharmonisan antara bupati dan wakilnya tidak menghambat pembangunan.
“Jika hubungan kepala daerah dan wakilnya tidak selaras, dampaknya yang jelas di kebijakan infrastruktur. Kayaknya fokus pembangunan dan janji-janji politiknya akan terhambat. Karena janji politik itu, kan, dari kedua belah pihak, kedua belah partai, dari kedua pasangan itu,” pungkasnya.(den/ky)