Menahan yang Membakar

Media Jatim


Oleh: Rofiqi

Seorang penceramah menyampaikan pesan tentang wajibnya berpuasa di Bulan Ramadhan. Di sela-sela penyampaiannya beliau mengutip pesan al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 183. Ayat ini memang menegaskan kewajiban puasa Ramadhan. Dibagian akhir Allah menjanjikan label taqwa bagi hamba-Nya yang telah menunaikan ibadah tersebut. Lalu seorang pemirsa bertanya seraya menagih iming-iming taqwa yang tampak belum diperoleh oleh mayoritas kaum muslim di negeri ini. Walaupun berkali-kali berpuasa, tapi kelakuannya tetap sama.

Cerita seperti ini sering saya temukan diberbagai acara dakwah baik televise dan radio pada saat ramadhan tiba. Kejadian serupa barangkali juga akan terjadi di masa-masa yang akan dating selagi umat Islam yang berpuasa belum merasa bertaqwa. Taqwa sendiri ulama’mendefinisikannya sebagai takut kepada Allah dengan cara mengerjakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Berpuasa bisa memperoleh predikat taqwa karena di dalamnya kita dituntut menjaga diri dari segala hal yang membatalkan puasa dalam keadaan apapun.

Bila kita melihat pada makna puasa Ramadha secara harfiah, sejatin6ya kita dapat menemukan jawaban atas pertanyaan di atas. Puasa, yang dalam bahasa arab di sebut Shiyam, memiliki arti menahan. Maksudnya adalah menahan hawa nafsu dari yang dapat membatalkan puasa. Sementara Ramadhan bermakna terik yang membakar karena dulu bulan ini selalu bertepatan dengan musim panas. Dua kata ini akan menjadi kombinasi yang tepat untuk memberangus penyakit hati, termasuk gila harta dan haus tahta yang sedang menjangkiti kaum muslim saat ini.

Baca Juga:  Pemkab Sumenep Gelar Festival Jaran Serek 2023, Bupati Fauzi: Kuda Simbol Keberanian dan Perjuangan!

Sayangnya umat Islam gagal meraih kedua-duanya. Mereka hanya bisa menahan tanpa membakar sifat buruk yang dimiliki. Maka tak usah heran bila nafsu harta dan tahta itu makin binal ibarat ayam jantan baru keluar kandang. Yang gila harta  nafsu kapitalisnya tambah parah. Tiap hari selalu saja ia memikirkan agar hartanya terus bertambah. Ia menjadi apatis terhadap penderitaan rakyat miskin. Semua tanah dan aset berharga dibelinya. Lalu dibangunlah pabrik, perusahaan, atau toko modern yang lambat laun mematikan usaha masyarakat sekitar. Padahal puasa sendiri secara tidak langsung telah mengajarkan kita untuk senantiasa berbagi dan merasakan penderitaan orang lain atau rakyat miskin. Bukan malah membuat mereka tambah menderita.

Hal serupa juga dialami orang-orang yang gila kekuasaan. Bukannya sembuh, bulan puasa justru dijadikan ajang promosi. Lantas dibuatlah baliho besar-besaran membuat foto dan ucapan mohon maaf lahir batin. Padahal sebenarnya, ia tengah mengincar posisi lain yang lebih tinggi. Mereka yang dulunya duduk sebagai staf, mengincar jabatan kepala. Para wakil ketua disuatu instansi, menggalang dukungannya untuk jabatan ketua. Yang jadi wakil bupati atau gubernur, diam-diam berambisi untuk menjadi bupati dan gubernurnya. Barangkali, hanya wakil rakyatlah yang tidak mau jadi rakyat.

Baca Juga:  Tak Kenal Basi

Itulah akibat dari ketidakmampuan membakar nafsu dan penyakit hati. Analogi sederhananya sama seperti sampah yang hendak dimusnahkan. Kita musti menahan sampah-sampah itu disuatu tempat, barulah kemudian membakarnya. Ini lebih rasional ketimbang anda menahannya begitu saja tanpa membakarnya, karena itu akan mengundang wabah penyakit. Atau lebih bahaya lagi bila anda membakarnya langsung karena itu akan membuat apinya menjalar kemana-mana lalu terjadilah kebakaran.

Kalau ada pertanyaan bagaimana mewujudkan puasa yang Ramadhan, menahan yang membakar? Cobalah dengarkan dawuh-dawuh kyai atau penceramah sebagaimana saya deskripsikan di awal tulisan ini. Atau paling tidak, tanyalah pada nurani kita sendiri. Disanalah pasti sudah ada jawaban apa yang musti kita kerjakan.

*) Rofiqi adalah mahasiswa Instika Guluk-Guluk, Ketua I PC PMII Sumenep