Oleh: Abdul Gaffar Karim
Ketika kami menyiapkan talkshow kebangsaan dengan mengundang Asa Firda Inayah (a.k.a. Afi Nihaya Fardisa), saya kira acara ini hanya akan menjadi bagian dari rutinitas pembelajaran yang biasa saja.
Di FISIPOL UGM, sudah lama kami mengembangkan konsep “laboratorium sosial-politik”. Dalam konsep ini, pembelajaran dilakukan dengan cara yang paling aktual, memanfaatkan perkembangan paling kini dalam kehidupan sosial dan politik. Berbeda dengan fakultas-fakultas non-humaniora seperti MIPA dan Teknik, kami memiliki “laboratorium” alamiah yang nyaris tanpa batas. Karena itu, rugi betul kalau belajar di FISIPOL hanya mengandalkan teori.
Dalam memanfaatkan “laboratorium” itu, setidaknya ada empat cara yang kami lakukan:
1. Pengelolaan kelas dengan mendatangkan praktisi sosial dan politik yang relevan. Di kelas yang mempelajari pemberdayaan sosial, kami undang aktivis lapangan yang bekerja di akar rumput. Di kelas politik diplomasi, kami undang diplomat-diplomat yang menonjol. Di kelas politik identitas, kami undang kelompok-kelompok minoritas secara sosial. Mereka berbagi pengalaman langsung pada mahasiswa.
2. Penugasan mahasiswa dengan menyelenggarakan forum atau advokasi lapangan. Kadang ujian akhir semester kami kelola sebagai tugas lapangan pada mahasiswa. Mereka mencari sendiri tema untuk diekspose, dan mengemasnya secara kreatif dan bebas (tak harus berupa makalah yang membosankan).
3. Kegiatan yang dilakukan secara otonom oleh lembaga mahasiswa. Kami punya input mahasiswa yang bagus-bagus dan memiliki kreativitas tinggi. Mereka kerap mengadakan acara diskusi yang mendatangkan pelaku aktual dalam fenomena sosial dan politik. Misalnya, ketika Wiranto mengumumkan rencana pembubaran HTI, DEMA FISIPOL mengadakan diskusi terbuka dengan mengundang aktivis Gema Pembebasan, organisasi mahasiswa underbouw HTI, untuk menjelaskan ideologi khilafah di depan civitas akademika.
4. Forum yang dikelola di tingkat fakultas, dengan mengundang orang-orang yang relevan. Di FISIPOL kami punya program One Week One Alumni, yang mendatangkan alumni untuk berbicara di depan mahasiswa, khusus untuk menceritakan pengalaman hidupnya. Kami juga punya CEO Talk yang mendatangkan pebisnis untuk membagi ilmunya. Ada Ministrial Lecture yang mendatangkan pejabat selevel menteri untuk memberikan kuliah umum. Yang ini agak jarang kami lakukan karena kesulitan teknis.
Nah, acara talkshow kebangsaan dengan AFI hanyalah bagian dari rutinitas “laboratorium” itu. Bahkan awalnya, Dekan FISIPOL UGM, Erwan Purwanto, hanya berniat mengundang Afi untuk diajak bicara tentang rencana dia lebih lanjut selepas SMA. Ini biasa kami lakukan terhadap benih potensial.
Tapi kemudian rencana memanggil Afi itu dikembangkan untuk menjadi diskusi terbatas. Acara ini dimaksudkan untuk mengajak mahasiswa dalam jumlah tak terlalu banyak untuk berbincang-bincang dengan Afi. Tujuannya adalah untuk membantu Afi memahami kehidupan mahasiswa di kampus UGM. Lokasi acara yang semula dipilih adalah Ruang Sidang Fakultas yang cuma berkapasitas 50an orang.
Saya diminta untuk memandu diskusi dengan Afi. Permintaan ini saya iyakan, karena kebetulan Senin pagi saya tak ada acara khusus. Memandu diskusi dengan narasumber tamu adalah rutinitas yang biasa dilakukan oleh dosen-dosen di FISIPOL UGM. Tugas pemandu ini adalah mengarahkan agar pembicaraan dengan narasumber tamu lebih efektif.
Sekali lagi, saya pikir ini hanya akan menjadi rutinitas biasa. Namun ternyata pendaftar untuk acara dialog ini melonjak cepat. Hingga Minggu sore, pendaftar sudah mencapai 500an orang. Kami lalu memutuskan untuk memindah lokasi acara ke Auditorium FISIPOL di Lt. 4. Secara cepat kami membahas ulang cara pengelolaan acara, agar efektif dan produktif. Kami putuskan bahwa talkshow ini harus dibuat serileks mungkin, agar Afi tak tertekan di hadapan hadirian yang melimpah.
Kami bahkan tak punya waktu untuk secara khusus duduk membahas arah acara. Pembahasan rencana acara dilakukan di WA Group. Saya bahkan harus melakukan googling untuk mencari tahu siapa Afi ini. Pengetahuan awal saya tentang dia benar-benar hanya berdasarkan pada artikel yang ditulis Kompas tanggal 23 Mei 2017.
Senin pagi, kami hanya punya waktu 20an menit sebelum acara, untuk bertemu dengan Afi dan membahas format dialog. Saya tak cukup punya waktu untuk membahas alur dialog ini bersama sang “produser” Ian Agisti Dewi Rani. Waktu 20 menit itu lebih banyak terpakai untuk membahas rencana kuliah dia. Afi dengan sangat pede mengatakan bahwa dia ingin menjadi psikolog. Dia bahkan minta Pak Dekan untuk menghubungkannya dengan Dekan Fak. Psikologi UGM. Kesan saya, anak muda ini assertif. Jujur saja saya belum pernah membaca artikelnya – bahkan hingga kini. Tapi cara dia berbicara meyakinkan, dan menunjukkan bahwa dia berwawasan luas.
Talkshow-nya itu sendiri, Anda sangat boleh jadi sudah melihatnya. Kalau tidak melihat secara langsung, mungkin Anda sudah melihatnya di Youtube. Bagi saya, ini pekerjaan memandu narasumber tamu yang termasuk gampang. Saya tak perlu mengorek untuk mengarahkan Afi secara susah payah. Dia adalah narasumber yang “mudah”.
Tapi menurut saya, dia agak sedikit kegeeran dan sotoy. Ini saya ucapkan langsung padanya di depan publik. Kekurangan dia yang menurut saya agak parah adalah kemalasan untuk mendengarkan. Setidaknya dua kali saya menegur dia untuk tak memotong pertanyaan dari hadirin. Ketika penanya berbicara agak panjang, dia sudah gelisah mau memotong, dan ingin segera berbicara sendiri.
Hingga talkshow ini berakhir, semuanya bagi saya cuma urusan biasa, seperti urusan-urusan lain di kampus. Afi adalah narasumber yang cerdas dan mengesankan. Itu saja. Tapi yang saya tidak sadari adalah: sambil kami menyiapkan acara itu secara dadakan (yang membuat Aziz Setyawijaya dkk pontang-panting), ternyata di luar berjalan pula sebuah proses politik yang menjadikan Afi sebagai sebuah kartu permainan baru. Dia dengan cepat alat permainan kesekian-kalinya bagi kelompok-kelompok politik yang tak lelah bersaing dalam beberapa tahun terakhir.
Saya segera menyadari sore harinya, bahwa Afi diusung satu kelompok, dicela kelompok yang lain. Ada kalangan yang mengapresiasi dia dengan sangat hebat, ada kalangan lain yang menyerangnya dengan segala cara. Dukungan manajerial yang didapat Afi belakangan sepertinya terkait dengan satu kubu politik, sementara serangan padanya nampak terkait dengan kubu politik yang lain.
Afi diekspose di sejumlah media, dalam rangkaian hari setelah acara di FISIPOL. Exposure ini benar-benar sangat mencemaskan. Afi yang semula sekadar “seorang anak muda hebat” dengan lekas berubah menjadi proxy politik yang dipuji di sana, tapi diserang keras dari sebelah situ. Orang-orang menemukan Afi sebagai alat pertengkaran politik yang baru, mungkin serupa dengan karangan bunga, seribu lilin, dan tujuh juta status di waktu-waktu sebelumnya.
Serangan terkini terhadap Afi adalah plagiarisme. Serangan itu datang dari satu kubu namun mendatangkan pembelaan dari kubu yang lain. Akun FB yang konon diplagiat oleh Afi tak mudah ditemukan, sementara akun Afi sendiri kini kembali non aktif. Saya tak tahu persis apakah Afi melakukan plagiarisme atau tidak. Tapi saat berbincang langsung dengannya, dia nampak tak memerlukan plagiarisme untuk menghasilkan tulisan bagus. Dia bukan orang yang nampak bodoh sehingga harus melakukan plagiarisme dengan sengaja. Tapi sekali lagi, saya tak tahu apakah dia memang melakukan plagiarisme atau tidak. Jika iya, tentu saja dia salah. Namun tudingan plagiarisme yang lahir dari upaya “mencari-cari kesalahan” itu pun adalah sebuah kesalahan sendiri. Dalam hal ini, saya ingin mengutip apa yang dikatakan teman saya Ashari Cahyo Edi dalam komen di status FB yang ditulis oleh Dewi Kharisma Michelliaa:
“Kalaupun ada bayi berani belajar berjalan ‘sebelum umurnya’ harusnya kita sudah punya cukup alasan berbahagia. Kalaupun ia belajar jalannya keliru-keliru ya itu wajar.
Yang kecil, yang mencoba lalu mungkin dicap keliru, harusnya tetap didorong dan dibina. Kultur membinasakan–naming, shaming–atas kekeliruan dalam budaya belajar kita jangan diteruskan.”
Mengutip Dekan FISIPOL UGM: “Afi, bagaimanapun ‘hanya’ seorang anak SMA, yang mungkin belum diajari oleh guru-gurunya tentang apa itu plagiarisme. Jangan sampai karena perbedaan politik, persoalan itu digunakan sebagai alat oleh orang-orang yang tak suka untuk membunuh potensinya.”
Untuk saat ini, menurut saya Afi harus berhenti menjadi selebriti. Panggung dan spot-light yang dia nikmati sangat semu. Dia harus memasuki masa prihatin dulu, menjadi mahasiswa yang serius belajar mendalami ilmu, dan bersiap-siap untuk memainkan peran berarti setelah menjalani pendidikan tinggi.
Dia butuh melakukan moratori, agar berubah menjadi bentuk hidup lain yang lebih kuat dan hebat. Dia tak butuh menjadi proxy politik seperti sekarang. Tanpa Afi, orang-orang itu sudah bisa bertengkar dengan karangan bunga, demo, seribu lilin dan tujuh juta status. Biarkan mereka lanjutkan di sana.
Abdul Gaffar Karim adalah Dosen Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Tulisan sebagus ini kok belum ada yang komen? Harusnya tulisan ini lebih viral daripada status afi