Oleh: Moh. Jufri Marsuki*)
Politik dan isu kemiskinan, adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Menarik simpati para pemilih di negeri ini tidak cukup dengan mengandalkan track record seorang politisi beserta segala tawaran program sebagai kepanjangan tangan dari visi-misinya. Butuh isu besar yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak, salah satunya adalah janji untuk mengangkat derajat orang-orang yang bertahan hidup di bawah garis kemiskinan. Itulah yang selama ini sering kita dengar setiap kali ada kampanye pemenangan di ajang pilkada, pilgup, pilpres, bahkan pilkades sekalipun.
Kemiskinan benar-benar menjadi sasaran empuk bagi para pemburu kursi jabatan. Mengatas namakan rakyat kecil, mereka menjanjikan pendidikan yang layak, biaya kesehatan terjangkau, hasil tani yang produktif dan melimpah, serta kebutuhan pangan dan sembako yang murah. Seakan sulit mencari gagasan lain, hal-hal tersebut masih menjadi tema kampanye yang paling getol disuarakan.
Tak terkecuali di Pamekasan, kabupaten yang akan menghelat pesta demokrasi di tahun 2018 ini mulai ramai dengan iklan-iklan politik, baik di media cetak atau media elektronik yang membawa jargon pembelaan terhadap kaum miskin. Meski bukan berisi kampanye secara vulgar, namun kegiatan santunan, bagi-bagi parsel lebaran dan kegiatan sosial lainnya yang diadakan oleh tim sukses para kandidat cabup-cawabup, secara nyata telah memberikan “berkah politik” tersendiri bagi para penerimanya; anak-anak yatim, para fakir miskin dan janda-janda tua yang butuh uluran tangan dari para dermawan.
Terlepas dari kesan kampanye terselubung atau memperkenalkan jiwa dermawan para calon kontestan, penulis hanya ingin memberikan catatan, bahwa ancaman politik transaksional mulai mengintip para pemilih dari balik retorika lama. Awalnya, hanya sekedar pencitraan. Selanjutnya, jerat-jerat politik akan menjadi perangkap yang siap menjebak rakyat dari sisi yang paling rapuh dan lemah, yaitu kemiskinan.
Tidak hanya tawaran program pengentasan kemiskinan, memanfatkan kondisi kemiskinan tetap akan menjadi jurus menyelam di air keruh. Seperti halnya derita panjang akan rasa haus di tengah panasnya kemarau, siapapun akan memilih menerima sebotol air mineral dari pada mencari potensi sumber mata air untuk digali, dialirkan ke seluruh penjuru dan dilestarikan untuk kelangsungan hidup seluruh mahluk dan generasi di masa yang akan datang.
Begitu pula dengan penderitaan si miskin. Saat kebutuhan hidup semakin mendesak, biaya sekolah anak sudah lama tertunggak dan dapur sudah dua hari tidak mengepul, maka tamu politik penebar bahagia sesaat dan pelipur lara sementara senantiasa ditunggu kedatangannya dengan harapan membawa sekedar selembar atau dua lembar nominal rupiah. Hak suara harus tergadai pun, bukan masalah.
Di Kabupaten Pamekasan, jumlah penduduk miskin pada tahun 2016 menurut data BPS Provinsi Jawa Timur sebanyak 142.320 jiwa sebagaimana dilansir oleh harian Jawa Pos baru-baru ini dengan presentase mencapai 16,70%. Angka itu menunjukkan bahwa kemiskinan masih menjadi masalah krusial di kabupaten yang berjuluk kota Gerbang Salam.
Asumsi tersebut semakin kuat tak terbantah manakala dibandingkan dengan kabupaten miskin lainnya di Jawa Timur. Secara hierarkis, Pamekasan ada di peringkat enam kota termiskin di bawah Tuban dan satu peringkat di atas Pacitan.
Selain menjadi PR bagi pemangku kebijakan utuk dientaskan, kemiskinan juga merupakan ancaman bagi tegaknya proses demokratisasi di Pamekasan menjelang Pilkada 2018. Pasalnya, kota yang terkenal agamis ini akan menjadi ‘pasar ilegal’ tempat transaksi jual beli hak suara dengan varian harga yang sangat menyilaukan mata. Berkaca pada pada ajang pilkada sebelumnya, bisa jadi akan muncul lagi paradigma “tongket” (settong oreng seket), yang berarti; satu kepala lima puluh ribu (jika di-bahasa Indonesia-kan).
Lagi-lagi, kemiskinan dikambing hitamkan sebagai penyebab cideranya demokrasi. Tapi, apa boleh buat? Inilah cara kotor yang hingga kini efektif dilakukan oleh pemburu kursi jabatan untuk mendulang suara agar unggul saat penghitungan dilakukan di TPS.
Alasan kemiskinan benar-benar telah menjebak para pemilih pada sikap yang jauh dari cita-cita idealis dan hakekat demokrasi yang sesungguhnya. Kebebasan yang seharusnya dipandang sebagai hak amanah agar dapat dijalankan dengan baik sesuai keyakinan dan pilihan nurani, malah digadaikan demi kepentingan dan kenikmatan sesaat.
Pragmatisme ini harus ditekan sejak dini. Peran pemerintah sangat diharapkan. Salah satunya dengan memberikan sosialisasi akan pentingnya menyalurkan hak suara, tanpa tergoda iming-iming sementara. Peran Panwaslu juga harus dimaksimalkan sejak awal penjaringan. Profilnya harus dibaca secara selektif agar kapasitas dan kapabilitasnya secara skill dan mental tidak diragukan serta dapat dipertanggung jawabkan sebagai bentuk integritas.
Taring hukum pun penting untuk lebih dipertajam, agar tidak mudah dijinakkan oleh berbagai kepentingan. Para pelaku kecurangan, perlu dipastikan memiliki ruang gerak yang sempit agar sulit mencari celah melakukan praktik-praktik pembodohan.
Begitu juga dengan para agamawan, seperti ustadz, kiai dan ulama’ sebagai benteng moral, diharap memberikan pencerahan dan penyadaran kepada masyarakat di Pamekasan. Jangan sampai citra kota Gerbang Salam harus tercoreng akibat perilaku pragmatis para kroni-kroni oknum politikus yang menggurita dan merajalela. Gagasan Dakwah Demokrasi secara massif harus dihembuskan kepada para ulama’ bekerjasama dengan umaro’ agar keduanya tergerak untuk turun gunung menangkal money politic dan bentuk-bentuk politik transaksional lainnya.
Civic Education tidak cukup hanya memberikan pemahaman akan pentingnya demokrasi, kebangsaan dan kewarganegaraan. Apalagi selama ini hal tersebut hanya diajarkan dibangku sekolah dan ruang kuliah. Perlu digalakkan pendidikan politik sejak dini, terutama bagi orang-orang awam di pedesaan. Mind-set mereka perlu diubah secara revolusioner hingga ke akar-akarnya.
Diakui atau tidak, proses demokrasi di Pamekasan sejak lama masih berjalan terseok-seok. Tapi, dengan gerakan pro demokrasi dan mengembalikan proses politik pada nilai-nilai yang hakiki oleh semua kalangan dan di setiap lini kehidupan akan mengantarkan kota ini menjadi “Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghafur” seperti yg dicita-citakan al-Qur’an.
Politik etis yang mengacu pada nilai-nilai moral agama, UUD 45 dan pancasila adalah harga mati dalam membangun bangsa dan negara. Hal ini akan tercipta jika dimulai dari akar rumput. Jika masyarakat bawah terbiasa melaksanakan proses ritual domokrasi dengan cara yang bersih, jujur dan adil, maka para pelaku politik praktis, stake holder nakal dan oknum aparat penegak hukum tidak akan memiliki tempat mewariskan, menularkan dan mengajarkan kebohongan politik. Jika Pilkada di pamekasan dapat dilakukan secara bersih tanpa isu suap dan serangan fajar, maka masyarakat betul-betul merayakan pesta demokrasi, bukan pesta uang demokrasi.
Sebagai kota religius, basis ulama’ dan pesantren, terkenal dengan istilah kota pendidikan di Madura, saya rasa Pamekasan sangat potensial untuk menjadi percontohan ajang pilkada bebas politik uang. Fakta angka kemiskinan bukan alasan terjadinya kemandulan hasil pilkada yang berkwalitas. Banyak alasan lain yang mampu menepis hal itu.
Jika memberantas buta aksara dapat tecapai oleh pemerintah kabupaten Pamekasan, maka memberantas buta politik, menumbuhkan kesadaran akan pentingnya hak pilih yang tidak dapat dibeli dengan harga berapapun, menanamkan mental pemilih yang cerdas dan tidak silau dengan godaan politik uang akan mudah tercapai seiring tingkat pendidikan, pengetahuan, sikap agamis dan ketawadlu’an terhadap figur ulama’ dan kiai yang dimiliki para penduduknya.
Mari kita mulai pesta demokrasi ideal yang kita impikan ini dari tingkat lokal. Ketika suatu saat efek baiknya dapat kita rasakan dengan menghasilkan pemimpin yang amanah, penyambung aspirasi rakyat, menjalankan roda pemerintahan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, pembangunan yang merata di segala sektor dan menyentuh semua lapisan masyarakat, maka masyarakat akan semakin mengerti arti penting demokrasi tanpa dikebiri.
Pada gilirannya, ketika menghadapi kontestasi politik selanjutnya semisal pileg, pilgup dan pilpres dengan sendirinya rakyat akan menjadi pemilih yang tidak lagi pragmatis, mampu melawan politik uang dengan mental sejati dan kebal terhadap intimidasi para oknum politik dengan cara fikir yang lebih cerdik. Mudah-mudahan, Pamekasan akan mampu mencontohkan dan penduduknya bagi kabupaten miskin lainnya, akan menjadi tauladan. Semoga!
*) Penulis adalah bendahara umum Insan Jenius Foundation, tinggal di Kabupaten Pamekasan.