Moral bersifat relatif jika ukurannya benar dan salah. Sebaliknya, ia merupakan nilai yang definitif ketika ukurannya kebaikan.
Bagaimana sisi kemanusiaanmu dalam memandang sesama manusia? Hal ini akan menentukan kualitas moralmu.
Di jejaring sosial media, kita dengan gampangnya akan menemukan potret masyarakat dengan moral yang sakit. Ironisnya mereka hidup di tengah peradaban maju tetapi otak dan hati buas bagai hidup di alam rimba.
“Bunuh”, “bakar”, “pukul”, itulah diksi yang dipilih untuk meneguhkan dirinya sebagai mamalia cerdas tapi berjiwa rimba.
Sebutlah paling nyata penyiksaan disertai pembakaran hidup-hidup sosok pemuda MA di Babelan, Bekasi yang diteriaki “maling” amplifier oleh manusia-manusia berjiwa maling. Ya, mereka maling nyawa secara tidak berperikemanusiaan.
Dari sisi hukum normatif manapun, perbuatan masyarakat sakit itu tak hanya melanggar hukum, tetapi juga melanggar sisi kemanusiaan yang justru ada pada diri mereka.
Saya sering nonton film sejarah perang di antaranya sejarah peperangan tentara Nazi melawan tentara sekutu (AS) dalam Perang Dunia II. Setiap tentara Nazi tertangkap dan hendak diberondong peluru, mereka secara sigap menunjukkan foto-foto istri dan anak mereka untuk meraih belas kasihan tentara AS.
Sayangnya, seluruh pasukan perang berprinsip bahwa tak ada moral di tengah perang, jika tak membunuh, kau akan dibunuh.
Tetapi setidaknya kita bisa mengambil pelajaran bahwa kita hidup di tengah kedamaian dan peradaban maju. Meneguhkan moralitas bukan hanya kebutuhan, tetapi juga keharusan.
Dalam kasus MA, moralitas masyarakat Babelan menurut saya ada di titik nol. Tidakkah mereka berpikir bahwa sebagai manusia, MA juga punya istri dan anak? Tidakkah kalian melihat tatapan istri dan anak MA yang kalian siksa dan bakar?
Jika tak mampu melihat ada siapa di balik kehidupan MA, cukuplah lihat bahwa dia adalah manusia, sama seperti kalian. Apalagi yang jelas kalian belum mengetahui pasti MA betul-betul mencuri amplifier atau tidak.
Potret masyarakat sakit ini jangan sampai meracuni generasi penerus bangsa. Mereka memang membutuhkan penguatan karakter, baik karakter spiritual, moral, dan sosial.
Di sinilah perlu langkah tepat dari para empunya kebijakan pendidikan. Alih-alih menguatkan karakter, pemerintah (Kemdikbud) justru menambah keder dengan sekolah 8 jam sehari sebagai sebuah rencana kebijakan yang dipaksakan.
Menguatkan karakter dan kecerdasan anak didik tak harus menambah jam, tetapi menguatkan keterampilan dan kualitas para guru. Langkah itulah yang dilakukan oleh negara Finlandia sebagai negara kualitas pendidikan nomor wahid di dunia.
Jangan sampai karena kebijakan sembrono lalu memunculkan kejenuhan intelektual anak didik sehingga akan menjadikan generasi bangsa sebagai potret-potret masyarakat sakit. Wallahu a’lam…
Fathoni Ahmad
Dalam Kereta Api Taksaka menuju Yogyakarta, Ahad (6/8/2017).