Melawan Politik Uang, Menyelamatkan Demokrasi

Media Jatim
Politik uang © liputan6
Politik uang © liputan6

Oleh: Moh Jufri Marzuki

Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur belum mengeluarkan pengumuman pendaftaran dan seleksi calon anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2018 di masing-masing kabupaten di Jawa Timur. Namun, gambar para calon dan manuver politiknya sudah mulai ditunjukkan. Jika membaca halaman-halaman media pemberitaan, suhu politik menjelang pesta demokrasi ini mulai hangat terasa, termasuk pula pesta demokrasi tingakat Jawa Timur menyambut Pilgub 2018.

Itu artinya, pelaksanaan Pilgub Jawa Timur 2018 sudah semakin di ambang mata. Tidak hanya itu, di tahun 2019 mendatang kita akan melaksanakan Pilpres yang akan banyak menyita perhatian sekaligus kekhawatiran. Sejumlah Pihak dan pengamat politik merasa prihatin melihat ancaman politik uang yang akan merusak tumbuhnya demokrasi di Indonesia yang mulai menglami perkembangan.

Politik uang sampai saat ini masih minjadi strategi jitu untuk mengantarkan pada kemenangan di setiap ajang pesta demokrasi di negeri ini. Tidak ada yang mampu mengalahkan politik uang jika hanya bermodal keyakinan dan janji-janji manis yang dituangkan dalam tawaran program dan visi-misi oleh setiap calon wakil rakyat dan pemimpin. Kenyataan ini sudah menjadi rahasia umum di setiap tingkatan daerah dan semua lapisan masyarakat. Tak pelak juga muncul sebuah keyakinan bahwa tanpa politik uang, jangan bermimpi untuk menang.

Tak terkecuali di Madura, dalam konteks Pilgub Jawa Timur mendatang. Madura masih menjadi sasaran empuk praktik money polytic . Pasalnya, kantong-kantong kemiskinan masih relatif tinggi di pulau garam ini. Meski terbilang sebagai pulau dengan masyarakat yang agamis, pemegang teguh nilai-nilai agama, pulau jutaan santri dan basis penganut paham ideologi NU (Nahdlatul Ulama), namun godaan politik uang kerap kali melunturkan idealisme mereka. Masalah pertama, tetap saja kemiskinan yang dikambing hitamkan. Lagi-lagi, masalah kemiskinan dianggap masih menjadi salah satu penghambat laju demokratisasi di negeri tercinta ini, tanpa menafikan adanya masalah lain seperti mental komuditi dan pragmatisme.

Baca Juga:  Sempat Loloskan Dua Anggota Parpol Jadi PPS, KPU Sumenep Tegaskan Sudah Diganti

Bagaimanapun dan apapun alasannya, politik uang harus ditolak secara tegas karena hal itu merupakan cara kotor yang mencederai nilai-nilai demokrasi. Pemimpin yang amanah terlahir dengan cara-cara bersih, arif dan sportif. ‘Membeli’ suara rakyat sama halnya dengan memberi ‘pinjaman uang’ di luar kesepakatan yang pada akhirnya akan ‘ditarik’ kembali melalui cara-cara kotor seperti korupsi, penggelapan aset negara dan penyalahgunaan hak rakyat.

Perubahan ke arah proses demokrasi yang beradab, bersih dan sportif sejatinya ada di tangan rakyat. Sikap tegas masyarakat dalam menolak politik uang, apapun bentuk transaksinya merupakan langkah pertama untuk memperbaiki budaya berdemokrasi yang saat ini masih berjalan terseok-seok. Keberanian untuk berfikir ke depan yang lebih idealis harus dikedepankan agar budaya korupsi tidak tumbuh subur di neger kita dan rakyat akan menjadi korban yang pertama.

Sulit memang, karena telah menjadi semacam paham menyimpang yang mampu mengubah pola fikir masyarakat yang seharusnya dipertahankan agar tetap idealis, humanis, demokratis, moralis dan agamis. Jika ke depan, politik uang tetap menjadi pilihan para calon pemimpin dalam memenangkan perbutan kekuasaan, maka ending dari semua itu adalah mental korupsi yang akan semakin bertubi-tubi dalam mindset para pemimpin kita.

Itulah politik transaksional, sebuah misi politik yang telah berhasil melakukan transfer pola fikir terhadap masyarakat, sehingga mental masyarakat menjadi sangat pragmatis dan bersifat sesaat. Pada gilirannya, pembangunan yang dilakukan oleh penguasa dan pemerintah sebagai kelanjutan dari program yang direncanakan hanya berorientasi pada kepuasan sesaat dan asal-asalan, yang penting  menguntungkan oknum dan pribadi, bukan pada pemberdayaan, pendampingan dan pengembangan masyarakat.

Baca Juga:  Menanamkan Cita-cita di Usia Dini

Tanpa ada maksud untuk menggeneralisir, dalam pengamatan penulis, hampir semua calon yang bertarung dalam kontes demokrasi di negeri ini semata-mata hanya ingin menjadi penguasa yang terobsesi untuk mengeruk dan mengeksploitasi kekayaan negara dan hak rak rakyat. Seharusnya, peran mereka adalah sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi yang mampu mengemban komitmen dan amanah untuk membangun bangsa dan negara demi kemakmuran dan kesejahteraan smua warga negara.

Selain Pilgup Jawa Timur, masyarakat Pamekasan khususnya, juga akan di hadapkan pada ajang demokrasai di level yang lebih rendah, yaitu Pilbup. Ajang ini akan memilih pemimpin dalam sekop yang paling mikro, yakni Bupat-Wakil Bupati. Menyadari akan pentingnya kwalitas sebuah ajang Pilbup, sama pentingnya dengan meletakkan batu pertama pada pondasi pembangunan kabupaten yang akan dikendalikan oleh kepemimpinanan pemerintahan yang baru. Masyarakat yang sadar akan demokrasi, peduli akan nasib bangsa, dan memiliki komitment untuk memberantas korupsi  harus tegas menolak politik uang.

Penolakan yang tegas terhadap politik uang merupakan sikap heroik yang perlu ditanamkan pada pribadi masyarakat kita. Mereka yang menjanjikan politik uang tidak usah dipilih karena bukan kriteria pemimpin yang ideal dan amanah. Setidaknya, ini pelajaran bagi mereka yang  berfikir bahwa kemenangan, kendali kepemimpinan serta kepercayaan masyarakat tidak selamanya dapat dibeli dengan uang. Mari kita mulai i’tikad mulia ini dari rakyat kecil di bawah, dari rakyat kabupaten.

 

*) Penulis Adalah Penggerak Gerakan Sadar Politik dan Demokrasi, Pernah Nyantri di Kepengurusan Badan Otonom NU, Tinggal di Nyalaran-Blumbungan, Pamekasan.