MediaJatim.com – Tinggal menghitung hari, saya dan teman-teman seangkatan akan menjalani prosesi wisuda. Sudah empat tahun kuliah di salah satu kampus swasta di Madura, akhirnya momentum yang ditunggu-tunggu pun hampir tiba.
Ada rasa senang karena merasa telah sukses melewati masa-masa studi yang penuh perjuangan. Namun hati juga makin tak karuan karena makin hari makin banyak orang mengajukan pertanyaan yang saya rasa lebih berat dari apa yang telah ditanyakan dosen sewaktu sidang munaqasyah.
Setidaknya ada dua soal yang mereka ajukan: Setelah wisuda kerja apa? Dan kapan nikah? Sudah saya telusuri jawabannya di mesin pencari, namun tak ada link web yang mampu dijadikan rujukan. Sekali-sekali saya juga berpikir mengapa dua pertanyaan itu yang harus muncul. Alangkah etis bila mereka bertanya, “Habis wisuda, tahajjud-mu mau nambah berapa rakaat?” atau paling tidak, “Maukah kau menikah dengan anakku” #ngarep. Mungkin beban pikiran saya tidak akan seruwet sekarang.
Bicara mengenai planning pasca-wisuda, sebenarnya saya tidak terlalu pusing. Konnsepnya sudah ada tinggal menyesuaikan dengan kondisi lapangan. Cuma masalahnya, tak semua orang bisa menerima gagasan yang saya ajukan. Bagi mereka, orang-orang lulusan Perguruan Tinggi mesti mendapat pekerjaan yang mapan. Gaji tinggi, berseragam dan bersepatu, berangkat pagi pulang sore, serta seabrek kriteria lainnya. Bahkan akan menjadi hina bila ada seorang sarjana tak memiliki pekerjaan yang jelas.
Atas kriteria yang mereka ajukan, diri saya berontak. Sebagai seorang aktivis, naluri idealisme yang pernah didoktrinkan para senior tak terima. Kurang lebih empat tahun bergelut di organisasi ekstra dan intrakampus, semangat doktrin membela kaum pinggiran dan mengutuk para kapitalis jelas masih terngiang dalam ingatan. Akan ditaruh dimana muka saya bila harus mengepit map, antre berdesak-desakan dengan ribuan orang demi suatu jabatan, namun pada akhirnya tunduk patuh pada sejumlah peraturan. Alangkah malangnya menjadi budak di era yang tak lagi jahiliyah ini.
Bagi saya, kerja tak mesti tegang laksana baju habis disetrika. Tak harus selurus dasi dan selancip moncong pantofel. Kerja semestinya harus santai dan rileks seperti petani Madura yang masih sempat ngopi tiga kali sehari meski pekerjaan seabrek.
Mereka pun bisa sesekali rehat memandangi panorama alam bebas. Hal ini jelas tidak berlaku bagi pekerja formal (baca : kantoran). Hari-hari mereka banyak tersita di ruang kerja dan di atas kendaraan. Jangankan melihat pemandangan, berkumpul dengan keluarga terkadang justru menjadi barang mahal.
Bicara tentang pekerjaan, yang akan saya lakukan pertama kali adalah menekuni bakat serta keahlian yang selama ini belum optimal dikembangkan. Selama ini seabrek kegiatan, tugas kampus dan lain-lain membuat saya tak begitu fokus mengembangkan potensi yang dimiliki. Maka meskipun agak terlambat, semangat ini tetap berkobar mengalahkan semangat untuk menenteng map mengemis lowongan. Sekilas memang kegiatan ini tidak akan menghasilkan pundi-pundi rupiah secara langsung. Akan tetapi, ada beberapa alasan yang membuat saya tetap bersikukuh.
Pertama, dalam ajaran agama yang saya anut salah satu doktrinnya menyatakan bahwa tuhan menciptakan manusia secara utuh, bukan terpisah-pisah layaknya onderdil sepeda motor. Semuanya telah di-setting sedemikian rupa dalam diri manusia. Dari tubuh hingga anggota badan, akal pikiran, bakat dan keterampilan sudah ter-install rapi dalam diri manusia. Namun terkadang sebagian orang justru abai terhadap potensi yang dimilikinya. Padahal jika ditekuni dan dikembangkan, cepat atau perlahan akan mendatangkan manfaat bagi diri dan orang lain.
Kedua, sibuk mengembangkan potensi diri akan membuat saya terhindar dari berburu lowongan kerja. Bukan karena malas kerja atau tak mau hidup sejahtera dengan gaji tetap, melainkan saya kurang percaya diri untuk bersaing dengan pelamar lain. Sebab apalah yang bisa diistimewakan dari seorang lulusan kampus swasta dengan nilai pas-pasan ini. Tahu sendiri kan, kalau ada banyak orang yang juga mengantri untuk memperoleh pekerjaan? Saya tentu tak ada apa-apanya bila dibanding dengan mereka.
Dan terakhir, ketika bakat dan potensi sudah diasah dengan baik, bukan mustahil bila buah manfaatnya akan segera dirasakan. Cepat atau lambat orang-orang akan tahu keahlian kita yang sebenarnya dan akan menghubungi bila sewaktu-waktu mereka sedang butuh bantuan. Dengan begitu, otomatis kita akan punya pekerjaan, relasi, dan pendapatan tanpa harus menjajakan ijazah kemana-mana. Tiga hal inilah yang membuat saya bersikukuh terhadap cara seperti ini, yang barangkali dianggap abstrak oleh mereka, namun cukup realistis bagi saya.
Sayangnya, jawaban panjang untuk pekerjaan ini tidak berlaku untuk menjawab soal jodoh dan menikah. Untuk urusan ini, saya memilih pasrah kepada tuhan. Sebab beralasan pun kadang dianggap pleidoi untuk menjaga ‘marwah kejomloan’. Bagi seorang jomlo, pertanyaan “kamu kapan?” sewaktu acara pernikahan memang sulit dicari jawabannya. Namun saya pernah memukul telak seorang kawan dengan menanyakan pertanyaan yang sama sewaktu acara pemakaman. Meskipun pada akhirnya, saya juga harus manerima pukulan telak dengan arti sesungguhnya.
Tapi entah mengapa, seiring selesainya tulisan ini, beban itu menjadi ringan dengan sendirinya. Mungkin akan lebih ringan lagi kalau sampai tulisan ini dimuat, karena menulis termasuk potensi yang saya miliki.
Penulis: Ach. Khalilurrahman, mahasiswa hampir wisuda bermukim di Sumenep Madura. Bisa dihubungi via email: achkr19@gmail.com, Facebook: Ach. Khalilurrahman, HP/WA: 083123102217.