Hari ini, beranda facebookku berisi puluhan postingan yang hampir sama: Meriahnya gelaran hari jadi Kabupaten Sumenep ke 748. Banyak pemandangan tak biasa. Misalnya, karpet merah yang membentang serupa luas lautan di depan megahnya gerbang masjid jamik. Tampilan yang mendadak kental dengan suasana kraton dan hastag yang hampir mirip, satu sama lain: Hari jadi Kabupaten Sumenep.
Seingatku, momen ini sudah biasa digelar beberapa tahun terakhir. Banyak rentetan acara seremonial untuk menandai sebuah kota yang ulang tahun.
Dari semua postingan yang banyak itu, aku menemukan satu yang menarik. Seorang kawan se profesi, wartawan salah satu media regional, “mengeluhkan” cerita rakyat yang di tampilkan pada gelaran itu. Menurutnya, cerita Anggasuto yang dipentaskan, tidak kongkrit dan terkesan dipaksakan.
Tidak serta merta aku percaya tuduhan yang kurang menyenangkan itu. Tuduhan yang aku rasa ditujukan langsung kepada pemerintah. Sebab media sosial, termasuk facebook misalnya, sangat terbuka untuk memutar balikkan fakta, memperindah yang buruk dan sebaliknya.
Aku mulai menelisik, profil si pemosting. Aku cermati postingan-postingannya yang lain, satu persatu. Aku berkesimpulan, kawan se profesiku ini tidak biasa mengada-ngada. Seingatku, dia tak pernah memaksakan cara pikirnya kepada orang lain. Dari postingan-postingannya, dia terkesan jujur dan apa adanya. Aku pernah beberapa tahun bersamanya di komunitas kesenian. Dia baik, setahuku.
Pikiranku pelan-pelan berpihak. Kurasa postingan berisi “keluhan” itu benar dan harus ada yang salah. Pemerintah dan team yang mengcreat pementasan itu, misalnya, musti disalahkan. Apalagi teman seprofesi yang memposting tulisan ini, adalah warga asli dari cerita seorang tokoh Anggasuto yang dipentaskan. Dia adalah warga asli tempat cerita bermula. Bukan tidak mungkin, “keluhannya” mendekati benar. Bahkan kadang, seingatku, dalam perbincangan sederhana, dia sangat hati-hati menceritakan sedikit kisah Anggasuto.
Ketidakhati-hatian dalam menyajikan data, package yang asal-asalan dalam sebuah pementasan sejarah, kurasa hal yang fatal. Apalagi pada prosesi hari jadi sebuah kota yang kental dengan budaya kraton.
Selain menyalahkan pemerintah, yang mungkin mereka sudah terbiasa dengan itu, perlu kiranya kita menyalahkan diri kita sendiri, biar sikap dan tulisan ini berimbang. Jika pementasan itu memang tidak kongkrit dan terkesan dipaksakan, semestinya kita, sebagai publik, juga “mengkritik” pementasan tersebut. Bahkan mungkin mengecam gelarannya. Tapi akan lain soal, jika kita memang sama sekali tidak tahu, atau bahkan tidak mau tahu-menahu. Kurasa, kita tak kalah (maaf) kurang ajar.
Dan bukan tidak mungkin, pemerintah kita memang sengaja “menyepelekan” proses detail data dan package asal-asalan pementasan itu, sehingga dianggap tidak kongkrit dan terkesan dipaksakan oleh warganya sendiri. Cukup meriah dan tampilannya wah, mungkin sudah dirasa cukup. Duh!
Terakhir, catatan yang merupakan pandangan dari jauh ini, bisa saja sepenuhnya keliru dan bahkan mungkin mengada-ngada. Bersamaan dengan itu, bukan tidak mungkin semua ini adalah benar. Sekian.
Penulis: Nur Kholis (NK) Gapura, Pegiat Kesenian dan Perfilman Sumenep
Gapura, 29 Oktober 2017