Oleh: Moh Roychan Fajar
Khazanah keilmuan pesantren yang sampai saat ini terintegrasi dalam epistemologi kurikulum pendidikan yang dikembangkan oleh Instika, harus kita akui bahwa ia telah berhasil penampilkan lembaga perguruan tinggi ini, menjadi kampus yang benar-benar transformatif dan sangat beradaptasi dengan kosmologi rakyat-rakyat kecil yang tradisional. Ketika pendidikan di luar berlangsung begitu mahal hingga nyaris tak terakses, Instika menjadi lembaga alternatif yang mampu menyediakan pendidikan dengan biaya bersahabat, namun tetap mampu mempertahankan kredibilitas keilmuannya secara mampan.
Di Instika, kampus Tatakrama ini, kita juga belajar Islam yang benar-benar dinamis. Islam yang tidak sekedar didudukkan sebagai objek wacana, sebagaimana studi-studi keislaman orientalis yang pernah dilakukan, Snock Hurgrounje, Clefford Geertz dan Charez Kuzman. Tetapi—bersebrangan dari itu semua—studi keislaman di pesantren, meletakkan Islam sebagai subjek (bukan sebagai objek), sebagai satu kajian yang tidak cukup selesai dalam lembaran-lembaran kitab atau sekedar selesai di atas bangku-bangku seminar, lebih dari dari itu ia berusaha meradikalkan bahwa alfa-beta ajaran agama tiada lain adalah seutuhnya tentang moral dan akhlaqul karimah yang harus dilabuhkan dalam kenyataan dan menjadi dasar sikap, pandangan dan perilaku dalam segala kehidupan sehari-hari.
Dalam persoalan moral inilah, yang mungkin membedakan kita sebagai mahasiswa yang juga santri dengan mahasiswa-mahasiswa jaman now di kampus-kampus modern sana. Mereka boleh mengidolakan Emile Durkeim, Max Weber, Karl Marx, dalam teori sosial. Tapi tidak bagi kita, karena selain Ibn Khaldun, tradisi keilmuan pesantren memiliki, KH. Sahal Mahfudz, ulama progresif yang berhasil merekonstruksi fikh yang normatif dan transenden menjadi kritis sebagai nalar sosial.
Tetapi, dalam beberapa kesempatan, kaum sarungan seperti kita ini, oleh beberapa kelompok, masih saja sering dituduh, konservatif, jumud, sempit, dan gak jaman now banget. Dibandingkan mereka yang katanya modernis, dan hafal semua teori-teori ilmiah dari Barat.
Satu hal yang harus kita pahami, bahwa tuduhan ini tidak boleh kita telam mentah-mentah. Karena tuduhan tersebut muncul dalam konteks ideologis yang didesain secara global. Yang berusaha mengasumsikan modernitas sebagai satu-satunya pilihan dan kebenaran. Sama saat dulu Francis Fukuyama dengan the end of history-nya menjadikan kapitalisme sebagai satu-satunya bentuk masyarakat ideal di masa depan.
Setidaknya studi ini pernah dilakukan oleh Mohammed Arkoun, ia pernah melacak akar-akar studi Islam modernisme ini ke dalam nalar hegemonik, ke model nalar Eropa abad 19 yang ekspansionis ke negara-negara jajahan atas nama “misi pemberadaban” (civilizing mission). Semua ini adalah usaha untuk menampilkan kolonialisme dalam bentuknya yang samar, yang arif bahkan sangat humanis sekali. Pelan-pelan kita diajak untuk segera sepakat pada kolonialisme itu sendiri.
Dalam tradisi keilmuan pesantren inilah, kita bisa bersyukur menjadi majasiswa dan alumni Instika, kampus yang lahir dan berkembang di atas doa dan tirakat kiai-kiai Annuqayah.