Kabupaten Pamekasan Butuh “Kota”, Iyakah?

Media Jatim

Sudah lazim, ketika ibu misalnya datang belanja dari Pamekasan, lalu ada yang bertanya, ibu akan menjawab, “Dâtêng dâri kottah” (datang dari kota). Termasuk bapak saya ketika dulu datang menarik becak dari Pamekasan, dan ibu ingin memberitahukan kepada saya, ibu akan mengatakan, “Cong, eppa’eh dâtêng dâri kottah,” (nak, bapakmu datang dari kota). Sehingga akhirnya, ketika saya hendak pergi ke Pamekasan, saya pun mengatakan, pergi ke kota; atau ketika hendak bertemu dengan teman, bertemu di kota. Entah, untuk kepentingan ngopi bersama teman-teman, belanja barang kebutuhan, sekedar bermain, dan lain-lain, saya akan mengatakan sampai bertemu di kota.

Akhir-akhir ini santer di media sosial, bahwa perwakilan kita di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten Pamekasan sedang membahas bahwa Pamekasan ingin dipecah menjadi kabupaten dan kota. Jadi kalau begitu, selama ini saya salah kaprah ketika menyampaikan istilah kota untuk Pamekasan dalam beberapa kesempatan. Karena sebenarnya, di Pamekasan itu secara resmi belum pernah menjadi kota. Tetapi bagaimana pula predikat yang selama ini disematkan pada Kabupaten Pamekasan ini. Mulai dari predikat kota pendidikan, kota budaya, kota gerbang salam, hingga Pamekasan sebagai kota batik.

Kalau misalnya, Pamekasan mau dipecah manjadi kota dan kabupaten itu sah-sah saja, dengan catatan tidak mengganggu fasilitas yang sudah dimiliki oleh Kabupaten. Bagaimana pun juga pada akhirnya, kota yang terbentuk itu tidak lagi menjadi bagian dari kabupaten Pamekasan, karena sama-sama menjadi daerah tingkat II di bawah propinsi Jawa Timur, dan secara administrasi juga terpisah. Jadi kalau DPRD berinisiatif untuk memecah Pamekasan menjadi kabupaten dan kota, berarti juga harus siap dengan segala konsekuensinya. Yakni menyiapkan dana sebanyak-banyaknya yang bukan bersumber dari APBD kebupaten Pamekasan. Ingat, kota itu berdiri sendiri tidak seperti kecamatan yang ada di bawah kabupaten.

Baca Juga:  Kebersihan Itu Ada Batasnya

Jangan sampai berpikir, bahwa kabupaten Pamekasan akan dicaplok sebagian termasuk infrastruktur yang sudah ada di dalamnya. Semisal kecamatan Pamekasan langsung mau dijadikan sebagai Kota, sedang pembangunannya dihasilkan oleh PAD yang notabene adalah milik kabupaten Pamekasan, mulai dari pantai utara sampai selatan. PAD yang mulai dulu dihasilkan dari Pantai utara sampai selatan untuk pembangunan kabupaten Pamekasan termasuk daerah perkotaan, tiba-tiba mau diakuisisi untuk kota yang baru yang tidak semua wilayah kabupaten masuk di dalamnya. Ini jelas sekali tidak baik.

Kalau hal itu terjadi sama saja dengan masyarakat Pamekasan memberikan jabatan atau kekuasaan termasuk fasilitas kepada seseorang yang entah itu siapa dan di mana saat ini. Ini tidak boleh terjadi, kita cukup berada dalam satu kekuasaan dan administrasi kabupaten. Tidak perlu wali kota yang entah akhirnya itu siapa dan dari mana.

Baca Juga:  Dilema Alumni Annuqayah di Pusaran Politik Said Abdullah

Tentu, masyarakat akan keberatan jika hal itu yang dilakukan. Kecuali, mau memanfaatkan lahan kosong, dan segalanya dimulai dari sana, baik infrastruktur dan administrasi kota. Ini kami bisa menyebutnya dengan pengembangan. Tetapi jika yang sudah ada yang mau dimanfaatkan, itu berarti mau menghabiskan aset yang sudah dimiliki oleh Kabupaten Pamekasan, atas nama kerja keras yang sudah dilakukan oleh bupati dari masa lalu.

Tidak hanya itu, kesenjangan sosial pasti akan terjadi. Masyarakat non kota akan mendapatkan peluang lebih sempit dalam berbisnis, karena wali kota akan memprioritaskan masyarakat kota yang notabene adalah masyarakatnya sendiri. Akan muncul peraturan-peraturan baru yang akan memberatkan masyarakat desa dalam mengadu keberuntungan di kota orang lain pada saat itu. Iya, saat itu kota Pamekasan sudah bukan milik kita lagi orang kampung.

Kita tidak harus terjebak dengan kepentingan Madura Propinsi, sehingga harus mengorbankan kabupaten sendiri. Tanpa dipecah secara administrasi ataupun infrastruktur antara kota dan kabupaten, selama ini kami sudah menganggap daerah monumen Arek Lancor itu sudah kota. Kami (orang desa) juga masih butuh PAD dari hasil retribusi parkir dan sewa stadion.

Wallahu a’lam!

Sampang, 17 Nopember 2017

Penulis: Musannan Abdul Hadi

Foto: Istimewa