Oleh: Moh. Jufri Marzuki*)
Di penghujung bulan November 2017 ini, umat Islam memasuki bulan yang sangat diagungkan. Yaitu, bulan Maulid Nabi yang diperingati setiap tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal Tahun Hijriyah. Pada tanggal tersebut, lebih dari empat belas abad yang lalu, seorang rasul bernama Muhammad dilahirkan ke muka bumi dengan misi mulia ; menebarkan rahmat bagi seluruh alam, lintas ruang dan waktu dan menerobos estafet generasi sesudahnya hingga tak ada lagi denyut kehidupan di muka bumi ini. Dialah nabi paripurna, pemungkas seluruh para nabi.
Maka pada momentum maulid nabi kali ini, penting bagi umat Islam untuk merfleksikan kembali makna kelahiran Muhammad, sebagai agen sejarah yang mampu menerjemahkan ‘pesan-pesan langit’ menjadi sebuah ajaran Islam ; sebuah agama yang diturunkan sebagai penyempurna agama-agama tauhid yang diajarkan oleh nabi-nabi sebelumnya.
Setelah lebih dari empat belas abad lamanya kita bertahan dengan ajaran agama warisan Muhammad, perubahan mengiringi di sana sini. Tak terelakkan pula, relevansi ajaran Islam dalam menjawab tantangan zaman dipertanyakan oleh banyak kalangan, terutama para kaum intelektual, aktifis sosial, akademisi, peneliti, pemikir berhaluan kiri dan seterusnya.
Maka melalui moment maulid nabi kali ini, penting kiranya untuk melahirkan kembali sosok ‘muhammad’ – dengan huruf “m” kecil – dalam rangka mendialogkan kembali teks-teks suci keagamaan dengan konteks kehidupan sosio-kultural yang penuh dengan problematika dan mendesak untuk segera menemukan jawaban solusitif yang mendapat legitimasi agama secara substantif serta relevan sesuai kebutuhan realistis di lapangan.
Kelahiran ‘muhammad-muhammad’ baru ini sangat diharapkan karena dalam konteks kehidupan yang dinamis, Islam harus diletakkan sebagai sebuah ‘organisme yang hidup’. Sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia (Ulil Abshar Abdalla dalam Adnin Armas : 2004).
Sebagai ‘organisme yang hidup’, Islam akan selalu dinamis mengiringi kehidupan manusia yang terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Oleh karena itu, kurang bijak rasanya jika memandang wahyu hanya berhenti pada zaman nabi.
Wahyu verbal memang telah selesai dibukukan, berbentuk mushaf Al-Qur’an, tetapi wahyu nonverbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung hingga sekarang. Banyak sekali temuan-temuan ilmiah dalam sejarah peradaban hidup manusia. Hal demikian adalah bagian dari usaha dalam rangka menuju perbaikan mutu kehidupan.
Dalam pandangan teori evolusi agama, proses ilmiyah yang melibatkan kreatifitas akal tersebut di atas adalah wahyu Tuhan. Temuan-temuan besar dan baru dalam sejarah manusia merupakan hasil kreasi yang dilahirkan oleh akal manusia dan merupakan salah satu anugerah istimewa yang diberikan Tuhan agar menjadi pembeda antara hewan dan manusia. Itulah sebabnya manusia mendapat julukan “al-hayawaan al-naathiq” (hewan yang berakal).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wahyu adalah sesuatu yang tak pernah selesai, tetap progresif dan bergerak terus. Rasulullah sebagai sosok pribadi memamg telah lama wafat. Tapi beliau meninggalkan peran “Nabi” sebagai sebuah fungsi, agar terus dijalankan oleh kita selaku umatnya dan berlaku di sepanjang zaman.
Setiap muslim adalah “muhammad-muhammad” kecil yang memiliki misi kenabian untuk terus-menerus berjuang melawan setiap struktur jahiliah yang sudah semakin beragam jenis dan bentuknya. Maka sikap-sikap prophetik yang diaktualisasikan lewat re-thinking terhadap teks-teks suci agama secara kreatif dan cerdas perlu diejawantahkan dalam konteks kehidupan nyata yang sudah banyak berubah.
Setiap kita, umat Islam, adalah “muhammad” yang senantiasa selalu ragu dan resah karena tidak menemukan sebuah terminal akhir yang dapat menjamin dan memastikan kebenaran suatu pemahaman agama. Tidak ada tahapan tertentu dalam penafsiran teks-teks agama yang dianggap sebagai puncak pemahaman sehingga dianggap telah selesai dan tidak memerlukan lagi peninjauan ulang.
Sebagai “muhammad-muhammad kecil”, kita menanggung beban sejarah profetis sebagaimana Muhammad zaman dahulu kala. Para kaum fundamentalis Islam tidak mampu mengemban beban sejarah ini dengan baik karena kecenderungan mereka hanya mengarah pada pembuatan “replika” dari sejarah kehidupan Muhammad, namun mengabaikan progresifitas sejarah beliau.
Pada gilirannya, mereka hanya bertindak sebagai imitator saja yang menunaikan beban sejarah kenabian hanya dengan cara meniru dengan mudah “eksemplar” Rasulullah secara rigid dan kaku. Belakangan, mereka mengkultuskan diri sebagai pengikut ajaran agama salafi dan berhenti memahami Islam hanya pada pembacaan secara harfiah terhadap teks-teks agama yang sudah ada.
Perlahan namun pasti, dalam derajat tertentu, peristiwa-peristiwa baru yang terus bermunculan tidak akan mempunyai “status hukum” dalam pandangan agama dan akan menjadi semacam “daerah kosong”. Padahal, semua agama sangat takut pada kekosongan. Setiap lini kehidupan diharapkan mendapatkan penanganan dari nilai-nilai dan ajaran agama, sehingga agama menjadi rujukan yang fungsional, solutif dan menjadi jaminan kelangsungan hidup yang penuh dengan kearifan, kebijaksanaan, kedamaian dan harmoni yang berkesinambungan dalam seluruh aspek kehidupan di seluruh penjuru alam (rahmatan lil ‘aalamiin).
Dari sini, maka penting kiranya untuk meradikalkan “wahyu progresif”. Wahyu verbal memang terbatas, namun wahyu nonverbal berupa ilham, inspirasi, ide dan gagasan pemikiran baru yang berasal dari penalaran akal manusia akan terus berkembang dan penting untuk diberdayakan secara aplikatif. Wahyu progresif memandang bahwa wahyu verbal dan nonverbal sebagai dua hal yang saling berkesinambungan. Keduanya adalah continuum yang saling berkelindan erat serta saling melanjutkan.
Wahyu Progresif adalah adalah wahyu yang tidak dipandang berhenti bersama wafatnya Rasulullah. Meski Rasulullah telah tiada, “pewahyuan” tetap berjalan dan terus berlangsung melalui ijtihad manusia, rasio dan produktifitas otak secara aktif. Prinsip ini sejalan dengan prinsip dalam sejarah tasyri’ yang dikenal dengan prinsip tadarruj atau gradualisme ; bahwa Al-Qur’an turun ke bumi berdasarkan konteks, kondisi dan situasi kemanusiaan yang terus berkembang.
Namun kini, gradualisme itu seakan terhenti karena dipandang seolah-olah hanya berlaku pada masa Rasulullah saja. Setelah Al-Qur’an selesai dituliskan, Islam dipandang telah selesai pula “terberikan” kepada Rasulullah dan tercapai secara keseluruhan. Akhirnya, kita sebagai “muhammad-muhammad” kecil tidak lagi berhak meneruskan tahapan-tahapan “pewahyuan” yang pernah ada pada masa kehidupan Rasulullah.
Melalui semangat maulid Nabi kali ini, sangat urgen untuk kita meneruskan kembali prinsip tadarruj yang pernah ada untuk mencakup seluruh tahapan-tahapan kesejarahan umat Islam. Islam adalah agama dinamis yang belum selesai dan tidak akan pernah ada kata selesai. Rasulullah hanya meletakkan dasar-dasar dan batas-batas saja, tapi jelas Islam tidak usai begitu beliau wafat.
Kesempurnaan Islam dalam pandangan “muhammad-muhammad” kecil pengemban wahyu progresif adalah kesempurnaan potensial, bukan kesempurnaan aktual. Artinya, aktualisasi Islam pada zaman Rasulullah memang tepat, pas, terbaik dan sempurna, tapi hanya untuk kondisi dan situasi zaman pada waktu itu.
Sedangkan kesempurnaan Islam secara potensial bermakna bahwa ajaran Islam memiliki sisi-sisi lain sebuah pemahaman yang aplikatif dan kontekstual ketika diimplementasikan pada setiap ruang dan waktu yang berbeda, dari zaman ke zaman. Karena Islam sebagai agama “rahmatan lil ‘aalamiin” akan selalu “sholihun li kulli zamaanin wa makaanin”. Hal ini tentunya dengan memandang teks keagamaan sebagai sesuatu yang “prismatik”, sehingga dapat membiaskan beragam penjelasan, keterangan dan penafsiran, serta menegasikan kebenaran tunggal.
Ulang tahun kelahiran Nabi dari tahun ke tahun betapa semakin menyadarkan kita, bahwa semakin jauh waktu membawa kita bergeser dari masa kenabian beliau. Perubahan demi perubahan semakin menegaskan bahwa masa Rasulullah bukanlah masa paling ideal untuk segala zaman. Tidaklah bijak jika gerak sejarah terus menerus dikembalikan ke masa lalu.
Dengan Wahyu Progresif, kita seperti membidik masa depan umat Islam dengan panah yang tegak lurus menghadap ke depan. Sedangkan menafikan wahyu progresif samahalnya dengan membidik masa depan Islam dan umatnya dengan anak panah yang bengkok, tidak tegak lurus ke depan, malah masih menoleh ke belakang.
Seiring laju zaman, berbagai macam peristiwa dan dinamika kehidupan tidak terbatas perkembangannya. Sedangkan teks-teks keagamaan tidak mampu menandingi secara sebanding dan seimbang karena sangat sedikit jumlahnya. Lalu, bagaimana mungkin yang tak terbatas mampu “dicakup” dan diakomodir oleh yang sesuatu yang terbatas? Maka melahirkan kembali “muhammad-muhammad” kecil pengemban wahyu progresif adalah solusi satu-satunya. Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad!
*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial keagamaan, pegiat ritual NU kultular, aktif di Kolom Kajian Ilmiyah Al-Ghazali, tinggal di Pamekasan.