Mengenal Sosok Aktivis Kritis

Media Jatim

Oleh: Untung Wahyudi*)

Isu komunisme belakangan ini begitu kencang berembus, seolah membuka luka lama sejarah kelam Indonesia pascakemerdekaan. Rakyat Indonesia kembali diingatkan pada peristiwa kelam yang terjadi pada 30 September, yang dikenal dengan G30S/PKI. Atas dasar keprihatinan inilah, baru-baru ini sejumlah stasiun televisi menayangkan ulang film karya besar Arifin C. Noer yang diangkat dari peristiwa tersebut. Di beberapa daerah, bahkan, melakukan nonton bareng (nobar) film G30S/PKI untuk mengenalkan sejarah kepada generasi masa kini.

Berbicara masalah komunisme, kita akan teringat pada sosok kritis yang juga antikomunis, yaitu Soe Hok-gie. Gie dikenal sebagai aktivis pergerakan mahasiswa angkatan 1966. Pada masa itu, Hok-gie begitu gigih mengkritisi kinerja pemerintahan Sukarno dan menjadi salah satu aktor dalam aksi demonstrasi di sejumlah tempat, termasuk Istana Merdeka, Bogor.

Namun begitu, kendati antikomunis, Gie mengecam keras pembunuhan massal orang yang dituding anggota PKI. Ia pernah menggugat penjagalan massal di Purwodari, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Hal itu sebagaimana dia tulis (20 Maret 1968) dalam surat yang dikirim pada Herbert Feith, sahabat diskusinya dari Australia, yang belakangan kerap menulis tentang Indonesia. Dalam suratnya, ia menuturkan tragedi pembantaian orang-orang yang dituduh berafiliasi dengan PKI.

Gie: Dan Surat-Surat yang Tersembunyi adalah buku yang memuat hasil investigasi Tim Tempo tentang sosok Soe Hok-gie. Buku ini memuat sejumlah tulisan yang menggambarkan sosok Gie perspektif banyak tokoh. Dari adik dan kakak kandung, hingga para sahabat yang pernah hidup bersamanya. Buku ini juga berisi tulisan dan surat-surat yang belum pernah dipublikasikan. Dokumen tulisannya ditemukan di antara tumpukan dokumen milik Yosep Adi Prasetyo. Naskah itu didapat Ketua Dewan Pers yang akrab disapa Stanley dari Arief Budiman, kakak kandung Gie. Sebagian dokumen tersebut, yang merupakan koleksi artikel Gie di berbagai media massa, telah terbit dalam buku Zaman Peralihan (1995).

Baca Juga:  Datangkan Ahli Arkeologi, Disdikbud Pamekasan Paparkan Hasil Kajian Benda Cagar Budaya Museum Mandhilaras

Meskipun meninggal dunia di usia muda, yakni 27 tahun, dalam pendakian di Mahameru pada 16 Desember 1969, tapi sosok Hok-gie menginspirasi banyak aktivis pergerakan hingga saat ini. Bukunya, Catatan Seorang Demonstran (1983) menjadi rujukan dan” bacaan wajib” para aktivis hingga sekarang.

Gie terkenal sebagai seorang demonstran berotak brilian. Orasinya membakar semangat para mahasiswa untuk berunjuk rasa melawan kesewenang-wenangan penguasa. Sebagaimana disampaikan Herman Lantang, salah seorang sahabatnya, saat Gie menyampaikan orasinya, orang-orang tertunduk diam (hlm. 17).

Selain turun ke jalan, Gie juga aktif menulis di sejumlah media seperti Sinar Harapan, Indonesia Raya, Harian KAMI, Suara Mahasiswa, dan Radio UI, radio tempat dia kuliah. Tulisan-tulisannya sangat tajam mengkritisi kinerja pemerintah yang tak memedulikan nasib rakyat yang miskin dan melarat. Tak ayal, tulisannya banyak menuai kecaman, bahkan, Sinar Harapan pernah dilarang memuat tulisan-tulisannya.

Lewat media massa, dia menyebarkan gagasan dan mengungkapkan kegusaran hatinya. Dia begitu gigih dan tajam mengkritik Presiden Sukarno, menteri sontoloyo, pejabat korup, mahasiswa munafik dan terlibat polemik tentang “pelacuran intelektual”, serta para cendekiawan yang mengotori diri dengan menjadi pejabat publik.

Baca Juga:  Mengintip Kearifan Islam di Barat

Seperti diungkapkan Aristides Katoppo, sahabat sekaligus redaktur pelaksana Sinar Harapan, tulisan Gie bisa mencerminkan zamannya. Ia mampu melihat sejarah dan sangat independen. Karena itulah, tulisan-tulisannya banyak menuai kecaman, terutama saat tulisannya mengguncang ABRI pada masa Orde Baru (hlm. 13).

 

Melawat ke Amerika

Sikap kritis Gie yang selalu aktif lewat tulisan-tulisan dan aksi demontrasinya membuat dia diundang Pemerintah Amerika Serikat. Dia melawat sejumlah universitas di sana, memperkuat keberpihakannya kepada kaum tertindas. Selama 75 hari dia berkeliling Negeri Paman Sam. Dia bersafari ke sejumlah kampus, dari University of Hawaii di Honolulu, Willamette University di Oregon, Texas Southern University di Houston, sampai Cornell University di New York.

Di kampus-kampus prestisius itu, Hok-gie mengikuti berbagai diskusi. Temanya membentang dari perjuangan kelas sampai urusan ekonomi-politik global. Gie menilai topik-topik diskusi itu berkaitan erat dengan problem bangsa Indonesia (hlm. 40).

Buku 110 halaman ini bisa menjadi jalan untuk mengenal sosok Soe Hok-gie, seorang pemikir yang kritis, idealis, dan pemberontak. Semangat perjuangannya melawan kaum tertindas menjadi suluh dan menumbuhkan semangat juang yang tanpa batas. Sangat menggugah dan inspiratif. (*)

DATA BUKU

Judul               : GIE (Dan Surat-Surat yang Tersembunyi)

Penulis             : Tim TEMPO

Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta

Cetakan           : Kedua, Juli 2017

Tebal               : x + 110 Halaman

ISBN               : 9786024242329

*) Untung Wahyudi, lulusan UIN Sunan Ampel, Surabaya