Sumenep Batik Festival untuk (Si)Apa?

Media Jatim

Jujur saya cukup kaget dengan event Sumenep Batik Festival, yang konon kegiatan ini digelar sebagai ajang promosi wisata Sumenep secara khusus, tentu untuk menguatkan gawe Visit Sumenep 2018.

Saya kaget karena ada beberapa “penampakan” yang dinilai banyak orang sangat kontras dengan adat ketimuran. Sejauh ini kita masih sepakat bahwa Sumenep (Madura secara umum) masih kental sebagai masyarakat religius, sehingga “penampakan penampakan” yang cukup menggangu terhadap lokalitas selalu dihindari terutama yang berkaiatan dengan konsumsi publik.

Memang, saya tidak menyaksikan secara langsung perhelatan tersebut, tapi perkembangan informasi di sosial media membuat saya seakan merasakan secara utuh pegelaran itu, bagaimana paha dan perut dipertontonkan secara fulgar di depan orang banyak (seperti terlihat di gambar). Ini sungguh dan sungguh menperihatinkan.

Baca Juga:  FNKSDA Tolak Kedatangan Sandi di Sumenep

Mempromosikan ragam budaya sebuah daerah memang sesuatu yang perlu dilakukan oleh Pemerintah setempat, namun demikian, menjaga karakteristik lokal juga sebuah keharusan, jangan sampai demi meraup pundi pundi dolar, akar kebudayaan dan kearifan lokal harus dicerabut begitu saja. Ini sebuah kecelakaan yang nyata, karena pada akhirnya pertunjukan semacam itu akan dianggap biasa dan bahkan akan digandrungi oleh generasi muda.

Saya jadi ingat dawuh orang orang sepuh di kampug, bahwa setiap tontonan harus membawa pesan yang memberikan tuntutunan, agar orang orang yang menonton tidak kehilangan akal sehat yang berdampak buruk terhadap perilakunya di tengah tengah masyarakat. Lantas, menpertontonkan paha dan perut apakah bisa memberikan tuntunan?, mari jawab dalam hati.

Secara sadar saya memang tidak berhak untuk mengorek ngorek perhelatan itu, tapi sebagai orang yang lahir dan dibesarkan di kota Sumekar, saya kok merasa “eman” ketika kota yang indah itu tiba tiba diriuhkan dengan tontonan yang kurang mendidik, lantas hati kecil saya bertanya, Sumenep Batik Festival itu untuk siapa dan untuk apa?. Meminjam dawuh Kiyai A Dardiri Zubairi kegiatan itu kok malah menjadi “paha on the srett”. Mengerikan.

Baca Juga:  Puluhan Titik Jalan Rusak di Bangkalan Gagal Diperbaiki, Anggaran Dipangkas untuk Biaya Pilkada

Saya pribadi berharap, semoga kegiatan ini adalah yang pertama dan yang terakhir, kendati akan ada kegiatan serupa semoga dihelat dengab cara yang lebih arif, dan memperhatikan karakteristik budaya lokal serta norma yang berlaku, jika tidak maka benar apa kata Pak Syaf Anton kahwa Sumenep akan menjadi Kota Paha. Aduh… (Ahmad Wiyono)