Besarnya respon masyarakat melihat gambar Badrut Tamam bersanding dengan Raja’i yang beredar massif di media sosial, menandai lahirnya gairah baru, utamanya masyarakat di wilayah utara. Gairah itu berupa mengkristalnya harapan pembangunan yang merata dan berkeadilan; tak ada lagi ketimpangan, pun pembedaan, apalagi diskriminasi.
Nama Raja’i sebelumnya memang kurang populer di telinga khalayak masyarakat Pamekasan. Maklum, sebelum ini tak ada publikasi apapun yang membantu melambungkan namanya. Alih-alih publikasi, niat maju pun sebagai kontestan pada perhelatan pilkada yang akan datang, mungkin, belum terlintas dalam pikirannya.
Namun, ketika gambarnya tiba-tiba muncul mendampingi Badrut Tamam, publik luar biasa menyambutnya. Seperti disuguhi kabar mengembirakan. Seketika, gebyar. Banyak orang kemudian berani mengatakan mereka berdua adalah pasangan ideal yang merepresentasi Pamekasan secara utuh, dan dianggap mewakili wilayah kabupaten secara menyeluruh.
Dikotomi selatan utara sampai menggelindingnya isu pemekaran yang, selama ini mengemuka, tidak lain lantaran kurang meratanya pembangunan, baik sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi, dan politik. Masyarakat di bagian utara kabupaten ini seolah teralienasi dari pemerintahan. Kegiatan pemerintah berpuluh puluh tahun seperti tak memiliki mata ganda.
Akibatnya, satu terlihat jelas, satunya remang remang. Seolah, publik yang berada di utara disuguhi oleh tontonan terpusat di jantung kabupaten, sementara dirinya yang jauh dari pusat kekuasaan terabaikan. Maka, ketika muncul nama yang dianggap mewakili wilayah utara, masyarakat melihat langkah ini sangat realistis; mendekatkan harapan dengan kenyataan.
Saya jadi terbayang-bayang, di sebuah pantai utara di tengah-tengah kerumunan, Raja’e tiba-tiba muncul dari arah timur sambil mendekapkan tangannya di dada, lalu bernyanyi, “kini ku datang padamu senyumlah, sambutlah kedatanganku”.
Antusiasme seperti ini tidak lain luapan emosi masyarakat utara merespon segala bentuk tindakan pemerintah yang selama ini kurang responsif melihat keinginannya. Laiknya tanah tandus kekurangan air, ketika mendung mulai terlihat jelas di langit, berarti harapan hujan turun sangat besar menjadi kenyataan. Begitulah keberadaan Raja’e, hari ini.
Keberadaannya sangat dibutuhkan untuk memutus mata rantai disparitas pembangunan selatan utara; semua sama dan harus diperlakukan secara rata. Keberadaannya tidak bisa digantikan dengan figur yang memiliki unsur wilayah berbeda. Begitu juga, keberadaannya tidak bisa diwakili oleh janji manis kampanye yang diobral secara berkala, nyatanya bukti selalu menampilkan nol koma.
Siapa sih yang tidak bahagia bila ada simbol wilayahnya muncul? Saya yakin se-yakin yakinnya, semua pasti bangga. Dan, Raja’e adalah simbol kebanggaan itu, simbol kualitas masyarakat utara, simbol keberdayaan masyarakat utara, dan simbol harapan baru masa depan Pamekasan tanpa ketimpangan.
Maka, tidaklah berlebihan kiranya jika Raja’e dianggap sebagai simpul semua harapan yang mengendap selama bertahun tahun lamanya. Dan sekarang, kita mendapatkan momentum itu untuk menjawab persoalan yang selama ini nyata dirasakan oleh masyarakat utara. Sudah selayaknya kita apresiasi bersama. Ketimbang mengurai ide kurang produktif yakni pemekaran.
Ini saja, dulu.
Minhaji Ahmad, Pegiat Kolom Ilmiah Al-Ghazali