Kali ini, di desa kami, sudah masuk musim tanam padi. Banyak kerabat dan tetangga dekat rumah, termasuk yang perempuan, bangun pagi-pagi sekali, untuk “manja'” (menanam bibit padi) di sawah milik kerabat lainnya. Kadang, emak juga ikut serta bersama yang lain.
Sekali waktu, saat emak datang dari sawah sekitar jam 09.17 WIB, kami duduk di teras rumah. Kala itu, kerabat yang juga datang “manja'”, numpang rehat sebentar. Tak sengaja, dalam pembicaraan yang ala kadarnya, termasuk soal penyakit, emak kembali memberikan satu pernyataan yang cukup mengejutkan. Paling tidak, bagi saya.
Menurut emak, kenapa kita mudah sakit, karena semua sudah makan racun sejak dari sawah. Betapa tidak. Bibit padi yang kami beli untuk disemai misalnya, biasanya sudah dicampuri bahan kimia. Itu terbukti, menurut emak, bau bibit padinya sangat menyengat. Setelah di panja’pun, sampai menunggu buahnya merunduk, kami terus memupuknya, berkali-kali, dengan bahan kimia.
Memupuk padi, menurut emak, tidak cukup sekali saja. Kadang, jika batang padi terlihat menguning dan kurus, pupuk kimia itu terus menerus diserapkan ke akarnya. Tujuannya, agar batang padi terlihat gemuk dan hijau merona.
Dari dulu, emak beranggapan, segala yang berbau kimia, dalam jangka panjang pasti memiliki efek samping. Terutama terhadap kekebalan tubuh. Saat tubuh tidak lagi kebal, imun kita menipis, maka kita akan mudah sakit. Jadi menurut emak, kita mudah sakit karena terlalu banyak bahan kimia yang dikonsumsi tubuh.
Emak beranggapan, bulir padi yang bagus karena kimia, dalam jangka panjang akan memberikan dampak yang kurang bagus. Oleh karenanya, saat kami sedang makan bersama, dan emak menyiapkan lauk sabrang karet (daun karet), kadang juga daun pepaya muda bahkan sekali waktu tongkol pisang, emak selalu nyeletuk.
“Areya juko’ tatamba (ini ikan yang mengandung obat; Indo red)”, ujar emak.
Dalam kesempatan yang sama, saat sedang nikmat-nikmatnya makan, kadang emak berlebihan juga memberi perumpaan.
“Katembang ka roma sake’, ngamar, kan bangu’ ngakana rambanan. (Ketimbang ke rumah sakit, harus di rawat disana, lebih baik kan konsumsi daun-daunan; indo red)”. Kadang emak nyeletuk demikian.
Saat mendengar pernyataan emak bahwa kita sudah diracun sejak dari sawah, pikiran saya tidak langsung percaya. Setahu saya, emak tidak punya pengalaman kedokteran yang mempuni, apalagi soal bahaya kimia. Saya rasa, emak tidak mungkin berteman denga dokter spesialis yang mengerti soal pernyataannya. Kami semua hanya petani kampung, yang bisa makan saja sudah bersyukur.
Tapi jika kita percaya bahwa setiap bahan kimia yang dikonsumi tubuh selalu akan memberikan effect yang merugikan dimasa mendatang, saya rasa, apa yang emak sampaikan tidak sepenuhnya salah. Dan, bisa jadi memang kita sudah diracun sejak dari sawah. Tempat kita menyemai padi dan merawatnya dengan pupuk kimia. Wallahua’lam.
Gapura, 24 Desember 2017
Nur Kholis (NK), Jurnalis asal Gapura, Sumenep