Opini  

Meneguhkan Tradisi Membangun Harmoni

Judul tulisan di atas sengaja saya ambil dari sebuah tema kegiatan Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKAPMII) Pamekasan, berupa kegiatan Refleksi Maulid Nabi Muhammad SAW dan Rapat Kerja (Raker) pada hari Sabtu tanggal 23 Desember 2017 sebagaimana lazimnya organisasi-organisasi besar lainnya.

Saya justru sangat tertarik dengan sebuah tema yang diangkat, dimana dalam perspektif sederhana tema tersebut mengandung makna subtantif dan fenomenal. Dalam artian, di tengah hingar-bingarnya persoalan kontestasi dan suksesi politik nasional, regional, dan politik lokal (Pilkada Pamekasan 2018), justru IKAPMII Pamekasan menawarkan sebuah gagasan yang menyejukkan naluri kita semua melalui pertemuan, dialog, bahkan share informasi dari masing-masing yang akan hadir dalam pertemuan tersebut. Bahkan, yang sangat mengejutkan dua simpul calon Bupati, yakni KH. Kholilurrahman dan KH. Baddrut Tamam hadir di tengah-tengah audiens, beliau berdua begitu hangat, saling sapa dan saling berpelukan, jauh dari kesan yang selama ini terdengar di telinga publik bahwa keduanya saling jaga jarak dan tidak mau akur.

Fakta keakuran beliau berdua dalam satu majelis kegiatan yang diadakan oleh IKAPMII Pamekasan telah memberikan oase politik yang harus kita sampaikan ke publik secara komunal, bahwa tidak ada permusuhan dalam bingkai kemanusiaan dari keduanya yang merupakan simpul dan patronase tokoh (ulama’), yang ada hanyalah kompetisi politik dan itu biasa terjadi pada para politisi lainnya di tanah air.
Secara subjektif, saya menginterpretasikan bahwa Meneguhkan Tradisi berarti kita semua, baik secara individu maupun berkelompok jangan sampai melupakan tradisi-tradisi yang baik dan bermanfaat untuk bangunan kemanusiaan (people building) ke depan. Baik itu tradisi yang sifatnya keagamaan, seperti merayakan Maulid sebagai sebuah jalan mengingat Nabi Muhammad SAW sang Nabi penyelamat umat manusia di dunia maupun di akherat kelak, maupun tradisi lainnya sebagai bagian dari ibadah sunnah kepada Allah SWT seperti silaturrahmi, saling hormat dan menghormati, bahkan saling membantu ketika membutuhkan.

Meneguhkan tradisi silaturrahmi, selain mencairkan komunikasi yang buntu, juga akan menciptakan sebuah solusi permasalahan bangsa. Dalam konteks ini, tidak ada nilai arogansi yang dipertahankan karena semuanya menyadari, bahwa problematika kemanusiaan saat ini tidak akan pernah diselesaikan hanya oleh satu orang atau hanya satu golongan saja. Melainkan, problematika tersebut akan dapat diselesaikan (be solved), manakala dilakukan bersama-sama dengan komitmen bersama tanpa harus mendikotomi dan mendiskriminasi kelompok yang berbeda.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: “Orang yang menyambung silaturahmi itu, bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahmi ialah orang yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus” (Muttafaqun Alaihi).

Baca Juga:  Melahirkan Kembali 'Muhammad' di Setiap Perubahan Zaman

Dari hadis Nabi di atas, setidaknya kita bisa meyakini, bahwa urgensi silaturrahmi akan melahirkan stigma positif terhadap masa depan kemanusiaan dimanapun berada. Silaturrahmi bukan hanya sekedar ajang bersalaman, berpelukan, ngobrol-ngobrol, dan sendagurau. Melainkan, substansi silaturrahmi tersebut adalah merekatkan kembali hubungan yang selama ini terkikis oleh waktu, terkontaminasi dengan kepentingan pragmatis, bahkan tereduksi karena perbedaan pilihan politik dan perbedaan kelompok maupun golongan.

Sedangkan Membangun Harmoni, dalam interpretasi sederhana penulis, bahwa hal tersebut berarti membangun hubungan yang baik dan bermanfaat untuk kehidupan ini. Slogan Dzikir, Fikir, dan Amal Shaleh yang dulu pernah penulis pelajari selama masih menjadi kader dan pengurus di organisasi PMII secara tersirat telah disampaikan dalam tema besar dari kegiatan yang digagas oleh IKAPMII tersebut.

Membangun harmoni dengan Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa merupakan keniscayaan dan keharusan yang tidak boleh diabaikan. Tentu harmoni yang dimaksud disini, bukan harmoni layaknya harmoni manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam sekitar. Tapi, harmoni tersebut bisa diwujudkan melalui ritual (ibadah mahdlah), dan ibadah lainnya yang langsung berhubungan dengan Allah SWT sebagai kewajiban kita semua untuk beribadah kepadanya.

Seperti yang telah difirmankan Allah SWT dalam Al Quran : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”. (Adz-Dzaariyaat : 56). Kewajiban “menyembah” yang berarti beribadah kepada Allah SWT dengan cara mematuhi segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya adalah wujud penyerahan diri secara totalitas kepada Allah SWT, Dzat sang pencipta. Berdzikir kepada Allah SWT sebagai wadah pengingat qolbu dan lisan serta media komunikasi kita kepadaNya merupakan implementasi bahwa hidup ini bukanlah sesuatu yang gratis untuk kita jalankan. Bukan pula, pragmatisme materi sebagai penebus segala-galanya. Kebersatuan qolbu dan lisan inilah yang nantinya akan memproduk pola pikir yang jernih dan selalu dalam tuntunan ajaran agama Islam yang benar dan istiqomah (konsisten) dalam rangka mengejawantahkan Dzikir dan Fikir sebagai jalan untuk berharmoni dengan Allah SWT.

Sedangkan membangun harmoni dengan manusia dan alam merupakan kesatuan tekad dalam tindakan kita untuk selalu menjaga hubungan baik dengan manusia sebagai makhluk sosial (social people) yang tidak mungkin hidup sendiri tanpa bantuan dari manusia lainnya, serta menjaga alam ini agar tetap lestari dan bermanfaat untuk kehidupan umat manusia di muka bumi ini, tanpa harus kita ekploitasi secara membabi buta atau tanpa harus kita rusak hanya untuk memenuhi kebutuhan materi diluar batas kewajaran. Fenomena banjir, gempa, longsor dan musibah lainnya yang terjadi di dunia, termasuk di tanah air kita pun tidak lepas dari sebab kerusakan alam itu sendiri. Reklamasi laut yang menjadi trend eksploitasi modern, illegal logging, penambangan pasir, tanah bukit dan pengerukan tanah (bumi), serta produksi migas dan tambang lainnya (emas dll) yang begitu besar secara langsung maupun tidak langsung telah merusak kondisi alam kita. Eksploitasi alam besar-besaran tersebut hanya dimanfaatkan segelintir oknum pemilik modal yang berkelindan dengan oknum pejabat (penguasa dan elit pemerintahan), dan tidak sedikit masyarakat kecil (grass root) yang menjadi korban.

Baca Juga:  Valentine's Day: Berikan Bunga dan Cokelat kepada Mahrammu

Dalam satu kesempatan dialog, guru bangsa kita, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengatakan kepada lawan dialognya, yaitu Dr. Daisaku Ikeda, seorang pendiri Institute Filsafat Timur dan generasi ketiga Sokka Gakkai : “Tuhan menganugerahkan alam secara keseluruhan kepada umat manusia supaya kita menggunakannya sebaik mungkin. Dengan arti demikian, bila manusia tidak berbuat apa-apa terhadap alam, maka hal itu sama dengan merusak alam. Jadi, merusak alam itu adalah merusak kemanusiaan”.

Di dalam ajaran Islam ada sebuah ungkapan yang sangat bagus yang berarti bahwa Misi Tuhan berada di dalam diri sendiri. Alam sangatlah dekat dengan kita, karena itu kita harus melestarikannya untuk selama-lamanya. (Dialog Peradaban, untuk Toleransi dan Perdamaian, KH. Abdurrahman Wahid dan Daisaku Ikeda, hal. 12).

Tidakkah kita semua menyadari, firman Allah SWT yang berbunyi: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Ar Ruum : 41).

Alhasil, tidak ada gading yang tidak retak serta tidak ada manusia yang tidak berbuat salah dan dosa. Tapi, semuanya bisa diperbaiki dengan perilaku kita yang jujur dengan mengedepankan tuntunan agama dan naluri kemanusiaan. Karena hakikatnya, berperilaku jujur atas ajaran agama dan naluri kemanusiaan, berarti telah meneguhkan tradisi dan membangun harmoni dalam bingkai kehidupan ini. Wallahu A’lam Bisshowab []

Ribut Baidi Sulaiman, Wakil Sekretaris IKA PMII Kabupaten Pamekasan 2018-2021.