Bangsa yang majemuk, multikultural dan heterogen, inilah kenyataan Negeri kita bernama Indonesia yang eksistensinya kita rasakan sampai saat ini, karena kita punya komitmen bersama yaitu Bhineka Tunggal Ika. Semboyan yang lahir dari ijtihad panjang para founding fathers untuk memayungi kebersamaan suatu Bangsa yang berwarna.
Fakta ini harus kita maknai tidak hanya sebagai anugerah tapi juga tantangan yang perlu dihadapi bersama bagaimana supaya bisa menjadi pengamal Pancasila yang baik dan sinergi dengan UU 45.
Bagian penting dari implementasi nilai-nilai Pancasila adalah toleransi sesama anak Bangsa untuk selalu kita amalkan sebagai ibadah kebangsaan dan suatu komitmen ber-NKRI.
Akan tetapi adanya kasus Ahok dengan penistaan Agamanya, pemahaman toleransi semakin absurd dan mengalami distorsi, cenderung dimaknai atas dasar subjektifitas rasa dan selera masing masing pribadi atau kelompok.
Baru pada rezim kali ini terlihat dengan nyata bahwa merasa paling toleran dan pancasilais seperti butuh diekspresikan dengan pengakuan, “Saya Indonesia dan Saya Pancasila”. Fenomena yang tidak pernah terjadi di era sebelumnya.
Fakta ini menunjukkan secara eksplisit bahwa kebersamaan dalam berbangsa sebenarnya sedang rapuh dan goyah. Kondisi ini tak ubahnya seperti alarm bahwa mental kebangsaan kita sedang mengalami ujian dan masalah serius.
Adanya aksi-aksi atas nama bela agama atau sejenisnya yang terjadi di sepanjang Tahun 2016-2017, bagi sebagian pihak dianggap telah merubah wajah Indonesia menjadi negara berwajah menakutkan dan kasar.
Sementara itu pengabaian prinsip-prinsip hak asasi manusia dan sikap intoleran semakin hari terus menjamur seperti mulai dianggap lumrah tanpa ada proses hukum yang jelas dan tajam.
Fenomena ini jelas akan mengganggu kehidupan toleransi beragama, jika tidak disertai penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan. Kompleksitas masalah yang berawal dari di kasus Ahok ini, kemudian melahirkan pro kontra dan perselisihan di tengah Masyarakat.
Disisi yang lain pemerintah terjebak dalam ambigu dan membiarkan kondisi tersebut terus terkotak-kotak dan terbelah. Pemerintah tidak bisa hadir jadi penengah, pengayom serta pengadil yang dipercaya. Hukum seperti hanya tajam untuk sebagian kelompok dan tumpul pada sebagian yang lain, ironis,…
Pancasila dan Keadilan Pemimpin
Kita akan sepakat bahwa Pancasila sebagai ideologi Bangsa mestinya bisa mengilhami kita sebagai perekat sekat-sekat perbedaan ideologi.
Sejak diproklamirkan merdeka Bangsa Indonesia telah berjanji bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah final dan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.
Suatu Negara Demokrasi berlandaskan ideologi Pancasila yang menjunjung nilai-nilai agama dan adat istiadat yang hidup di tengah masyarakat.
Suatu kewajiban bagi seluruh komponen Bangsa Indonesia untuk selalu menjaga, melindungi dan memelihara tegaknya NKRI dari gangguan apapun, baik dari dalam maupun dari luar.
Cara yang efektif menjaga kebhinnekaan dan NKRI yaitu menerapkan prinsip dan nilai-nilai nasionalisme dalam kehidupan sehari-hari secara konsisten.
Akan tetapi bahwa indikasi Pancasila di jadikan alat propaganda oleh sebagian oknom/kelompok untuk menyudutkan pihak lain sangatlah nyata. Ekspolitasi dan menekan pihak lain yang berbeda sikap dan pandangan secara diametral sangat mungkin dilakukan atas nama toleransi dan keutuhan NKRI. Padahal asumsi yang di bangun hanya berdasar pada selera dan rasa keperpihakan pada suatu kelompok atau golongan.
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah seharusnya hadir sebagai pengayom dan penyejuk serta memberikan problem solving agar masyarakat selalu dalam kebhinnekaan yang damai dan tentram. Bukan hanya jadi penonton yang siap membela yang pro dan dzalim terhadap yang kritis.
Selain itu pemerintah juga harus hadir sebagai Pengamal sekaligus pengawal Pancasila nomor wahid agar selalu on the track dalam menjaga keutuham NKRI dengan berdasarkan pada prinsip prinsip keadilan dalam setiap aspeknya.
Termasuk tidak bias dalam memaknai implementasi nilai-nilai Pancasila. Adil dalam memperlakukan kelompok yang dianggap radikal, tidak pancasilais dan yang dianggap mengancam keutuhan NKRI, melalui proses hukum yang jelas dan transparan.
Dalam Hadist disebutkan “Barang siapa yang diangkat Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah akan haramkan Surga baginya” (HR. Bukhari Muslim).
Oleh karena itu Pancasila tidak bisa dipaksa harus berdiri sendiri di atas kepentingan pribadi, kelompok, parpol ataupun lainnya. Perlu disadari bahwa Pancasila itu milik bersama yang merasa sebagai warga Negara. Karena pancasila hasil kesepakatan beberapa kelompok yang bersitegang dan beradu argumen sebelum negeri ini merdeka.
Karena itu, jika saat ini ada orang yang datang kemudian sambil membusungkan dada, berkoar-koar NKRI harga mati dan merasa paling pancasilais, hanya dengan pembuktian sikap alergi pada teriakan kalimat ” Allahu Akbar”, paranoid dengan orang yang bersorban, fanatik buta pada ormas tertentu, nyinyir terhadap Ulama-ulama pendakwah dan yang kritis pada pemerintah, mungkin orang-orang yang bertipikal seperti ini layak disebut sebagai sampah sejarah dan pahlawan, tapi baru bangun tidur.
Dan apa memang model orang-orang seperti ini yang disebut Ber-NKRI ala jaman now,..???
Wallahu A’lam…
________________________________________
Penulis adalah Alumni PP. Almunir Talambung, Ganding.
Asli campaka, tinggal di Gadu Barat Ganding, Sumenep Madura.