Sudah tiga bulan usia perempuan muda itu beserta anak lelakinya yang masih berusia tujuh tahun terlunta-lunta dari satu desa ke desa lainya. Dirinya mulai putus asa, seakan-akan kematian adalah jalan terbaik untuk dirinya dan anaknya saat ini. Tidak ada yang bisa dimintai pertolongan, meski hanya untuk menumpang berteduh dari terik matahari yang menyengat, dan hawa dingin yang menusuk hingga keputihnya tulang saat malam menjelang.
Setelah berjalan puluhan kilometer meninggalkan sebuah desa yang baru saja menolak kedatangnya, keduanya duduk di pinggir sungai untuk beristirahat. Sambil tergolek di pangkuan ibunya, anak kecil itu berkata, “Sekarang mau ke mana lagi Bu.”
“Pergi ke dalam hutan Nak. Kita adalah binatang, dan tempat tinggal binatang adalah di hutan,” jawab ibunya seraya menitihkan air matanya.
“Apakah itu alasannya kenapa kita diteriaki PKI dan diusir oleh orang sedesa Bu?”
“PKI itu apa Bu?”
Belum juga ibunya menjawab, kini datang pertanyaan yang menyayat hatinya. Setelah diam beberapa saat, ibunya menjawab dengan suara lirih, “Nanti kau tanyakan sendiri pada Bapakmu kalau sudah pulang.”
“Kata orang-orang Bapak tidak akan pulang. Katanya Bapak di buang di tengah laut.”
Perempuan itu kembali diam, hanya air mata yang membahasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Karena hanya menangislah satu-satunya keahlian yang dimiliki oleh seorang mahluk bernama perempuan di jagat mayapada ini.
Kota Tegal diujung akhir tahun 1965, sama halnya dengan kota-kota lainnya, baik di Pulau Jawa, Sumatra, atau Bali sekalipun. Di mana hari-harinya diliputi kengerian, sedang kematian mengikuti bagai bayangan. Masyarakat dihantui kecemasan, kecurigaan, karena keadaan sedemikian mencekam. Kalau tidak dibunuh mereka akan dibunuh, begitulah kira-kira yang terselip di kepala masyarakat pada waktu itu.
PKI (Partai Komunis Indonesia) telah menjadi momok. Orang-orang yang terlibat PKI dikejar-kejar, ditangkap, dibuang, bahkan dibunuh. Tidak sedikit pula dari mereka yang tidak tahu menahu menjadi korban. Salah satu dari mereka yang terusir dari kampungnya lantaran dicap PKI adalah perempuan beserta anak lelakinya yang sedang beristirahat di pinggir sungai.
Setelah dua jam beristirahat, ibu dan anak itu bersiap melanjutkan perjalannya menuju ke hutan belantara. Tapi, sebelum kakinya melangkah keduanya dikejutkan dengan suara yang menyeru dari belakang.
“Hei kamu mau ke mana, di depanmu jalan menuju hutan. Kamu mau mengantarkan nyawa ke mulut harimau. Hutan di sana sangat berbahaya, apalagi kau seorang perempuan, membawa anak kecil pula,” kata seorang lelaki paruh baya. Di sampingnya berdiri mematung seorang perempuan yang tidak lain istrinya. Keduanya baru saja pulang dari kebun, di mana sepasang kakinya masih berpupur lumpur.
“Entah, ke mana lagi kami akan pergi. Setiap desa yang kudatangi selalu saja disambut dengan tatapan ganjil yang dipenuh kecurigaan. Tidak ada barang satu orang pun bisa dimintai pertolongan. Apa hanya karena suamiku orang Lekra, mereka semua melihat kami berdua seperti melihat anjing yang najis untuk disentuh,” jawab perempuan muda itu.
Orang tua itu beserta istrinya hanya melemparkan pandangan. Kini, keduanya diliputi kebingungan. Setelah berbisik, bertukar pendapat, akhirnya sang istri mengajak perempuan itu beserta anaknya pulang ke rumahnya.
***
Hujan turun membasuh malam, hawa dingin mulai menyergap penghuni rumah tua yang terbuat dari bambu dan anyaman. Rumah itu jaraknya cukup jauh dari pemukiman. Di dalam rumah itu, perempuan muda beserta anaknya berteduh untuk menyambung nyawa. Dari pengakuan mulutnya, diperolehlah sebuah keterangan mengenai seluk-beluk dan peristiwa yang menimpa dirinya.
Suaminya, katanya, adalah penyair Lekra. Meski dekat dengan beberapa pimpinan PKI dan PNI “kiri”, namun suaminya tidak ikut berpolitik. Ia hanya merasa tergugah jiwanya melihat penderitaan rakyat hingga ikut bergabung dengan Lekra. Memang suaminya beberapa kali mengunjungi kantor Lekra di Cidurian, Kota Jakarta. Bahkan suaminya jarang pulang, katanya dapat tugas untuk turun ke desa-desa untuk melihat langusng keadaan rakyat jeleta.
Namun, Takdir berkata lain. Beberapa bulan pascaperistiwa PKI di Kota Jakarta, suamiku didatangi beberapa orang yang mengenakan baju tentara. Tanpa basa-basi suaminya dimasukan ke dalam mobil. Setelah kejadian itu, ramai-ramai orang berkumpul di depan rumahnya dengan teriakan “Ganyang PKI”. Perempuan itupun diusir dari rumahnya, dari tanah tumpah darahnya.
Di bawah kuasa sang malam, ditemani cahaya remang lampu minyak, tiga kepala orang dewasa duduk melingkar. Di pangkuan perempuan muda itu, seorang anak kecil tertidur pulas, barangkali rembulan telah memberikan mimpinya.
“Demi kebaikanmu juga anakmu, sekarang kau kuangkat menjadi anakku. Itu pun kalau kau mau,” kata lelaki paruh baya itu.
“Bagaimana apa kamu mau?” tanya istrinya ikut menyambung.
“Apakah Bapak dan Ibu tidak punya anak hingga mengangkat saya menjadi anak?” jawabnya.
“Anak kami sudah mati beberapa bulan yang lalu di Kota Jakarta,” sahut istrinya lirih.
“Kalau kau mau, demi kebaikanmu juga anakmu yang masih kecil itu, kuganti namamu menjadi Zainab. Sekarang tidak ada lagi yang namanya Syahidah. Yang ada Zainab, bagiamana?” ujarnya lagi. kemudian lelaki paruh baya itu membakar rokok kereteknya.
“Tapi, kalau boleh tahu, anak Bapak dan Ibu meninggal karena apa?”
Lelaki paruh baya itu dan istrinya saling memandang. Diam keduanya tak memberi jawaban. “Maaf jika pertanyaan saya sedikit lancang.”
Setelah diam beberapa saat istrinya menjawab, “Anakku mati ditembak tentara.”
“Apa salahnya anak Ibu.”
“Kesalahanya sama persis seperti dengan kesalahan suamimu yang sekarang entah di mana. Entah apakah masih hidup atau mati.” Jawab lelaki paruh baya itu.
Tiba-tiba saja perempuan muda itu memeluk kedua orang tua itu sambil menangis meraung-raung. “Sekarang namaku Zainab, tidak ada lagi yang namanya Syahidah,” ujarnya.
“Sekarang tutuplah riwayatmu yang dulu, sebab di luar cuaca sedang panas-panasnya. Rahasiakan semuai ini, demi kebaikan di hari-hari yang akan datang, supaya kita tetap menginjak bumi tanah kelahiran kita. Betapa banyak di luar sana yang terusir dari kampung halamannya, bercerai berai dengan sanak-saudaranya. Seorang istri kehilangan suaminya, seorang ibu kehilangan anaknya, dan seorang anak kehilangan bapaknya.”
“Ya, Bu, Zainab paham.”
Ketiga orang itu saling berangkulan dan menangis. Ketiganya menangisi nasibnya yang malang, menangisi sesuatu yang telah dirampas dan selamanya tidak akan dikembalikan. Selamanya pula ketiganya akan menangis. Sungguhpun hingga mereka menangis darah, meminta sesuatu yang telah dirampas dari hidupnya, sekalipun itu hanya kata maaf, mereka tidak akan pernah memperolehnya.
Arian Pangestu, pendukung gerakkan feminisme, dan pengagum Immanuel Kant. Tinggal di Jalan Peninggaran Barat 3 RT 13 NO 57 Kebayoran Lama, Jakarta. Mobile: 08811348847.