Bahasa dalam Strukturalisme
Ketika bahasa berada di tangan seorang linguis, banyak orang berpendapat bahwa saat itulah bahasa akan menemui ajalnya. Sebabnya tidak lain adalah ketika bahasa berada di tangan seorang linguis, bahasa kerapkali menjadi tubuh yang siap direcah-recah, siap dimutilasi. Bahasa menjadi objek yang diputuskan hubungannya dengan rahim yang telah melahirkannya, yaitu masyarakat.
Dalam tradisi strukturalis, bahasa memang dianggap sebagai objek otonom yang dilahirkan dari kekosongan budaya. Bahasa dianggap sebagai objek yang diandaikan sebagai jalinan struktur yang otonom. Kebermaknaan bahasa dapat diraih ketika struktur-struktur kecil bahasa dijalin dalam rangkaian yang menjadikannya struktur besar.
Tradisi yang menempatkan bahasa dalam kerangka strukturalisme pada beberapa dasawarsa terakhir mendapat gugatan dari berbagai kalangan yang memiliki pemikiran baru mengenai bahasa. Para pemikir yang menentang tradisi strukturalisme ini berupaya mengembalikan bahasa pada esensinya, yaitu bahwa bahasa itu dibentuk dan membentuk keadaan sosial.(Jhon B. Thompson)
Bahasa dan Hermeneutika
Bahasa menjadi medium utama dalam praktik-pratik ideologi termasuk dalam puisi. Kerangka kritis dalam filsafat bahasa hermeneutika yang dikonsepsikan oleh “ibu Indonesia” tidak berupaya membuat pemikiran sebagai mitos yang perlu di kokohkan, ia melihat latar belakang kelahiran pemikiran yang mengandung muatan dan unsur penghinaan, atau mungkin muatan dan unsur melawan hukum, bahkan mungkin sebaliknya mengandung sebuah pujian kritik dalam konteks mengagungkan kesetiaan kita terhadap sebuah realitas sosial budaya dalam kebhinnekaan bangsa Indonesia yang mengalami distorsi.
Tentang isi puisi “ibu Indonesia” sesungguhnya hanya mengungkap fakta akan adanya dua kondisi riil yang berbeda, karena berbeda akar budaya dan asal-usulnya, tetapi berada dalam bingkai kebhinnekaan berbangsa dan bernegara Indonesia kita hingga saat ini.
Membaca puisi “ibu Indonesia” tidak bisa dibaca secara parsial, dan tidak bisa diartikan secara “harfiah” sekedar untuk merasionalkan tuduhan menghina atau mendiskreditkan agama Islam. Akan tetapi puisi “ibu Indonesia” adalah sebuah gambaran betapa bangsa Indonesia kaya akan budaya, karena memiliki sifat mau menerima budaya lain yang berbeda dan beragam, tetapi tetap satu dalam perbedaan.
Ibu Indonesia mengangkat realitas kondisi ke-Indonesia-an hari ini dengan memilih diksi “syariat Islam” dengan “sari konde”, disatu pihak dengan “suara kidung” ibu Indonesia dengan “lantunan adzan”, dipihak lain yang keduanya sangat puitis, jelas merupakan dua hal yang berbeda secara nyata tanpa ada maksud mendiskreditkan, dan apalagi menghina atas nama agama”.
Ada budaya dan kebudayaan yang asli Indonesia, dan ada budaya dan kebudayaan yang datang dari luar, tetapi dipraktikkan dalam kehidupan berbangsa di Indonesia dengan cara masing-masing, bahkan telah membudaya dan dijadikan budayanya.
Kerangka kritis yang di konsepsikan “ibu Indonesia” sebetulnya masih tetap berada dalam ranah filsafat bahasa Hermeneutika yang memungkinkan lahirnya kontra pemikiran baru di publik mengenai puisi “ibu Indonesia”, karena konsepsi puisi “ibu Indonesia” yang di elaborasi dalam bahasa, di konsepsikan sebagai “medium” yang didalamnya ada aspek-aspek “being” di ekspresikan dan di ungkapkan.
Dunia bahasa dengan demikian adalah titik awal, dan bukan titik akhir dari “ibu Indonesia”, karena fenomenologi bergerak menuju ontologi melalui interpretasi terhadap epistimologi, sebagai ilmu pengetahuan untuk membangun ilmu pengetahuan komunikasi yang sesuai dengan bukti aksiologi untuk menjadi berita yang bernilai tinggi. Pertama; moral conduct (tindakan moral yang melahirkan etika), Kedua; esthetic expression (ekpresi keindahan), Ketiga; socio political life nation-state (kehidupan sosial politik negara-bangsa).
Antara Nasionalisme dan Agama
Puisi “ibu Indonesia” merupakan ranah sastra yang terkait hal agama, karena menyebut soal syariat Islam cadar, dan adzan, maka muncullah komentar publik.
Saya bukan sastrawan, bukan penyair, bukan kritikus sastra, juga bukan agamawan. Untuk menilai content teks puisi “ibu Indonesia” apakah masuk dalam hak kebebasan berbicara dan berekspresi?.
Bagi saya puisi “ibu Indonesia” merupakan kritik sosial atas fenomena dalam beberapa kasus pemaksaan dan kekerasan atas nama syariat agama yang di simbolkan dengan cadar dan, adzan. Seperti contoh kasus di salah satu perguruan tinggi Islam di jawa tengah. Artinya, puisi “ibu Indonesia” dianggap sebagai penghinaan terhadap cadar dan adzan tak akan dibela bagian dari kebenaran berekspresi.
Namun, setelah saya membaca semua content teks puisi “ibu Indonesia” disini seakan-akan ada upaya untuk mempertentangkan, bahkan membenturkan nasionalisme dan agama. Kalau ini meraih simpati dan dukungan bisa berbahaya terhadap harmonisasi berbangsa dan bernegara yang berasas pancasila.
Dalam posisi ini “ibu Indonesia” berada dalam posisi “ekstrim” yang ingin mengalahkan nasionalisme, dan apa yang disebut adat budaya NUsantara atas agama. Sedangkan “ekstrim” yang lain ingin mengalahkan agama “tusuk konde – cadar, dan kidung – suara adzan”, atas nasionalisme dan budaya NUsantara.
Padahal, nasionalisme dan agama, antara syariat Islam dan budaya NUsantara tidak perlu dipertentangkan, kita bisa belajar dan menyerap visi dan misi Nahdlatul Ulama (NU) yang telah melakukan harmonisasi antara nasionalisme dan agama, antara pancasila dan Islam. Ungkapan KH. Wahhab Hasbullah “Hubbul Wathan Minal Iman” dalam konteks kebangsaan dan kenegaraan adalah pancasila. Jadi, jangan lagi mempertentangkan agama dan nasionalisme, antara Islam dan pancasila, antara Islam dan budaya NUsantara.
Islam dan budaya NUsantara perlu dilihat secara harmonis, humanis dan saling melengkapi. KH. Abdurahman Wahid (GUS DUR) sudah memberi inspirasi kepada anak bangsa Indonesia dengan upaya “pribumisasi Islam” yang artinya akulturasi Islam dalam konteks kebudayaan NUsantara yang menjadi inspirasi utama cara dakwah wali songo di abad pertengahan yang sukses melakukan misi dakwah di bumi NUsantara, yang tidak pernah bertentangan dan mempertentangkan antara Islam dan budaya NUsantara, sehingga muncul visi dan misi NU yang mengedepankan toleransi (tasamuh), moderat (wasathi), berimbang (tawazun) yang jauh dari visi dan misi radikal, puritan (pembersihan atas nama pemurnian yang lebih dekat ke radikalisasi), apalagi terorisme.
Saran dan Kesimpulan
Saya berharap “ibu Indonesia” perlu hati-hati, introspeksi diri, dan perlu belajar bahasa hermeneutika demi upaya dan iktiar harmonisasi yang dimiliki oleh para ulama NU, dan ini pula yang menjadi visi dan misi besar presiden Ir. Soekarno ayah dari “ibu pertiwi” sebagai ayah biologis dan juga sebagai ayah ideologis, sebagai Bapak proklamator Indonesia, yang pernah dengan tegas mengakui tidak ada pertentangan antara nasionalisme dan Islam, yang beliau sebut sebagai “nasionalisme Islam”.
“Dimana-mana orang Islam bertempat, bagaimanapun juga jauhnya dari negeri tempat kelahirannya, di dalam negara yang baru itu, ia menjadi bagian daripada ummat Islam, rakyat Islam, daripada persatuan Islam, dimana-mana, disitulah ia harus mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri itu dan rakyatnya, bukan kelompoknya, inilah nasionalisme Islam yang sebenarnya.
Pada akhirnya, semestinya perbedaanpun harus dirangkul, dan dirangkai dalam bingkai harmoni kidung ibu pertiwi dengan suara adzan, suara mengaji al-Quran, agar getaran dan nada spritualnya suara “ibu Indonesia” tidak bisa hilang, sehingga bisa dinikmati oleh seluruh anak bangsa, tanpa harus mengejek salah satu anak bangsa yang lainnya. Bukankah harmoni juga dibentuk demi rangkaian-rangkaian nada yang berbeda?
Semoga “ibu Indonesia” bisa menginspirasi puisi lain, dan menginsafi kenyataan ini.
Dengan demikian, bahasa menjadi sangat penting dalam kaitannya dengan berbagai mekanisme lain yang ada didalam masyarakat. Akan tetapi, pandangan ini tidak berusaha mereduksi mekanisme kehidupan lain ke dalam bahasa (Fairclough dan Chouliaraki, 1999).
Akh Fakih, M.Pd, Dosen IAIN Madura Fakultas Tarbiyah Prodi Tadris Bahasa Indonesia.