Judul : Lafaz Cinta
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : Pastel Books
Cetakan : I, Februari 2018
Tebal : 340 Halaman
ISBN : 978-602-6716-26-2
Oleh : M Ivan Aulia Rokhman
Manusia adalah makhluk istimewa jika dibandingkan dengan makluk iptaan Allah yang lainnya. Setelah diberi kenimatan berupa akal untuk berpikir manusia juga dikaruniai rasa cinta. Dengan rasa cinta tersebut akan tercipta rasa saling menyayangi dari mengasuhi antara manusia yang satu dengan manusia lainnya sehingga kerukunan dan kedamaian hidup pun dapat tercipta.
Rasa cipta yang selalu dipupuk dalam jiwa akan menumbuhkan kebahagiaan yang tidak bisa diukir dengan harta. Namun hal yang perlu digarisbawahi di sini bahwa cinta yang dimaksud dnegna hubungan cinta yang dilandasi keridaan dari Allah swt. Jadi bukan cinta yang didasari oleh syahwat yang akan membawa kerusakan dan murka Tuhan.
Dia adalah Seyla yang memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya di Indonesia dan mengulang kuliah di luar negeri, tepatnya di negeri kincir angin Belanda. Yaitu di Rijksuniversiteit Groningen yang lebih dikenal dengan nama Academie Cebouw, di jurusan kesenian. Universitas ini terletak di jantung kota Groningen, yang terdiri sejak tahun 1614 dengan bangunan bergaya gothic yang masih terjaga keasliannya (hal 17).
Meskipun terkesan menyeramkan, namun keramahan para akademisi di Academie Gebouw seakan mencerahkan suasana. Seyla pun mudah untuk kenal dekat dengan mahasiswa di sana, di antaranya Judhit, Barbara, Marko, dan Ben. Selain tante Seyla yang sibuk bekerja di KBRI, mereka dalah orang-orang yang seakan secara tidak langsung mampu sedikit menghibur Seyla.
Satu alasan Seyla mengapa meninggalkan Indonesia, yaitu agar bisa pergi sejauh mungkin kenangan menyakitkannya. Seyla dulu pacaran dengan Zen, mereka saling mencintai dan berniat menikah. Sayang, jodoh memang penuh misteri. Orangtua Zen memutuskan agar Zen menikah dengan Lila, dokter muda yang cantik, pintar, dan kaya (hal 123).
Seyla sangat kecewa kepada Zen, mengapa dia mudah saja menyerah kepada keputusan mamanya. Mengapa, Zen tidak memperjuangkan Seyla. Mengapa Zen malah memilih Lila yang tidak medis, karena kepakaiannya kedodoran, sekaligus lebih tua dari Zen. Seyla tidak percaya, di zaman ini masih ada pernikah ala Siti Nurbaya. Sakit hatinya sungguh, sehingga dia ingin menyembuhkannya dengan pergi ke Belanda.
Suatu ketika Pangeran Karl van Veldhuizen dan calin istrinya Puri Constance Martina du Barry dari Belgia, hadir di Academic Gebouw. Mereka terlihat sepasang kekasih yang cocok. Pangeran yang tampan dan Putri yang cantik. Pangeran sudah berumur 25 tahun. Sedangkan, Putri Constance kelihatan muda sekali, sekitar umur sembilan belas tahun (hal 43).
Namun, siapa kira mereka bahagia. Sudah bukan rahasia bahwa mereka bukan karena cinta. Karena ikatan perjodohan itu yang membuat dan menyetujui adalah Parlemen Belanda. Dan, siapa sangka kedatangan mereka berdua membuat sebuah perbedaan bagi hidup Seyla.
Kedatangan mereka berdua, membuat persahabatan dengan Judith dan Barbara menjadi renggang. Ketidaksukaan Putri Constance kepada Seyla, semakin menjadi. Ditambah, kabar bahwa Seyla pernah bersepeda berdua dengan Pangeran Karl (hal 111). Tidak dinyana, ternyata Seyla mirip dengan orang yang dicintai oleh Pangeran Karl dulunya.
Seyla sendiri memang merasa nyaman ketika bersama Pangeran Karl. Tetapi, untung saja ada Saule dari De Gromtest perkumpulan Muslim di Belanda, yang mengingatkan Seyla agar tidak berharap tinggi. Seyla kemudian sadar, meski sempat merasakan sakit hati. Dia tidak mau berharap karena dia bukan gadis desa dari negeri Dongeng.
Kehadiran Zen, Lila, Pangeran Karl, putri Constance, dalam hidup Seyla kemudian dia maknai. Bukan soal patah hati, bukan soal betapa beruntungnya mereka dan sebaliknya Seyla selalu mendapatkan kehidupan yang buruk. Bukan itu, Zen dan Lila mungkin pada awalnya juga tidak mencintai,tetapi bisa mengupayakan cinta.
Buku ini tidak hanya menarik, tetapi juga meninggalkan sederet hikmah yang dapat dijadikan pelajaran berharap bagi pembaca. Misalnya, pelajaran tentang bagaimana cara bergaul dengan orang asing. Menghormati setiap perbedaan yang ada. Tentang bakti seorang anak kepada orang tuanya dan sebagainya.
*) Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Dr Soetomo Surabaya.