Akhir-akhir ini tindakan kekerasan atas nama agama kembali mencuat, seiring dengan adanya pengeboman tiga Gereja di Surabaya pada hari Minggu, 13-05-2018. Bagaimanapun, tindakan ini merupakan tindakan pengecut dan patut dikutuk serta dikusut tuntas siapa dibalik semua itu dan apa motifnya.
Namun demikian, benarkah semua karena perintah agama yang sebatas yang mereka pahami, atau ada motif lain, atau karena kepentingan-kepentingan mereka semata?
Jauh sebelum hal itu, semacam melegalkan diri untuk membunuh, menteror, dan menganiaya orang lain atas nama agama sudah dari dulu sering terjadi. Keren Amstrong dalam buku ini menjelaskan kedok-kedok kelompok-kelompok agama tertentu yang melakukan kekarasan atas nama agama.
Kelompok-kelompok ini lazim disebut sebagai teroris. Definisi teroris ini, menurut Karen Amstrong, sampai saat ini masih problematis. “’terorisme’ sangat sulit untuk didefinisikan. Ada begitu banyak formulasi yang bersaing dan bertentangan sehingga, menurut salah seorang peneliti, kata ini sekarang diselimuti ‘kebingungan terminologis’”. (hlm. 450)
Karen menambahkan bahwa kata itu cenderung emotif dan merupakan salah satu istilah yang sering disalahgunakan dalam Bahasa Inggris, dan merupakan celaan, paling mencela, yang mencirikan tindakan kekerasan. Motifnya pun berbeda-beda. Akan tetapi, paling tidak, terdapat satu hal yang dapat disetujui secara umum yaitu bahwa terorisme pada dasarnya dan secara inheren bersifat politis. Terorisme selalu soal “kekuasaan—memperoleh atau mempertahankannya.” (hlm. 451)
Buku ini menggali jejak historis hubungan antara kekerasan dan agama sejak tiga ribu tahun sebelum kelahiran kristus sampai saat ini. Kekerasan yang mengatasnamakan agama, pemicu utamanya, sebenarnya, selalu saja berhubungan dengan nasionalisme sekuler. Sebut saja peperangan yang terjadi di Palestina yang tidak kunjung selesai sampai ini.
“Kekerasan yang dialami rakyat Palestina, perang Israel dengan tetangga-tetangganya, dan tindakan balasan palestina tidak dimotivasi oleh agama, tetapi oleh nasionalisme sekuler,” tulis Karen. (hlm. 404)
Demikian pula yang terjadi antara Pakistan dengan India, yang selalu “dikemas” dengan peperangan antara penganut Islam, Pakistan, dan Hindu-Budha, India. Padahal, apabila ditilik lebih mendalam, pemicunya lagi-lagi persoalan politik. Hindu dan pakistan, keduanya didirikan sebagai negara sekuler atas nama agama.
Hampir semua agama di dunia mempunyai masa kelamnya masing-masing terkait dengan kekerasan berdasarkan motivasinya.
Menurut Sigmun Freud (1856-1939), “Manusia termotivasi oleh keinginan untuk mati secara sama kuatnya dengan keinginan untuk berketurunan.” Sehingga, hal ini bisa dijadikan alat untuk melancarkan berbagai kepentingan dengan cara kekerasan.
Melihat kondisi saat ini, masyarat diselimuti berbagai kekhawatiran dengan adanya teroris, maka buku ini sangat direkomendasikan bagi siapa saja yang ingin mengetahui berbagai motif-motif seseorang atau kelompok yang melakukan aksi terotr berkedok agama.
Judul: Fields of the Blood
Penulis: Karen Amstrong
Penerbit: Mizan Pustaka
Cetakan: I, 2016
Tebal: 696 halaman
ISBN: 978-979-433-969-5
*Mahasiswa Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.