: Catatan Refleksi HUT Ke-73 RI
Selain kepala desa dan sebagian perangkatnya, di desa kami, tidak ada yang ikut upacara bendera di lapangan kecamatan setiap peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus. Termasuk tahun ini.
Yang pertama, mungkin warga enggan ikut serta. Kedua, seingat saya, tidak ada kebiasaan pihak berwenang di desa kami, mengajak serta seluruh warga untuk ikut upacara. Sekedar selebaran guna memeriahkan misalnya, tidak ada.
Setiap hari, termasuk di momen 17 Agustusan ini, kami masih beraktifitas layaknya biasa. Pagi-pagi ke sawah, menyabit rumput dan atau menyiangi padi juga tembakau. Kadang juga mengaliri air ke sawah yang mulai kering supaya tetap gambut.
Kala bersua, kami tetap akrab dan saling sapa. Saling bertanya kabar, berbagi gosip-gosip kecil seputar tetangga dan remeh-temeh lain. Semuanya jauh dari bicara kemerdekaan dan peristiwa-peristiwa seremonial yang menyertainya seperti di kantor-kantor pemerintahan.
Tentu, prilaku menyambut momen kemerdekaan yang terkesan menyimpang ini, bukan karena kami apatis. Namun karena kami tidak tahu bagaimana cara “merayakan” kemerdekaan layaknya pemerintah.
Di desa kami, pertistiwa-peristiwa seremonial bukan upacara bendera. Namun hal lain, misalnya, tahlilan, sholawatan, datang lebih awal saat melayat, membantu keluarga yang sedang berduka. Seremonial ini, jika boleh disebut demikian, sepenuh hati kami melakukannya.
Di desa kami, negara dan kemerdekaannya tidak hadir layaknya pahlawan yang patut dibanggakan. Patut disemarakkan. Namun hanya umpama tetangga dekat yang prilakunya mulai hedonis. Kadang menjengkelkan. Ada tidaknya perayaan kemerdekaan itu, bagi kami, rasanya tidak mempengaruhi cara kami hidup.
Negara, bagi desa kami, lebih kuat hadir dari layar-layar televisi. Itupun bukan soal nasionalisme dan kebhinnekaan. Kita, warga desa, lebih banyak dijejali produk, talk show yang kadang kontennya terus jadi perdebatan hingga sinetron yang rasanya terlalu direkayasa.
Selain itu, kadang negara hadir dengan program tempel stiker yang serba mendadak. Pernah sekali waktu, ada dua petugas kesehatan yang datang menaiki sepeda motor. Satu petugas tetap di atas sepeda motor di luar pekarangan rumah, satu petugas lainnya terburu-buru pasang stiker di jendela kamar. Katanya dari puskemas setempat. Program kesehatan.
Kami hanya mengiyakan penempelan stiker kesehatan itu. Sebagai anak, saat itu, saya hanya bertanya pada emak. Apakah pernah mendapat pendataan kesehatan dari puskesmas setempat? emak bilang tidak pernah. Namun tiba-tiba stiker klaim sehat itu ditempel. Kadang, negara hadir dengan cara itu. Singkat dan membuat kami, warga desa, tak bisa banyak berbuat.
Contoh lain. Jika kepala desa adalah kepanjangan tangan dari negara, selama ini di desa kami, ada anggapan bahwa kepala desa yang baik adalah ia yang melakukan banyak pembangunan. Tidak yang lain. Misalnya, membuat jalan paving, membuat pos ronda atau jadwal bersih-bersih bersama.
Kadang pula, karena alasan untuk pembangunan, lomba-lomba 17 Agustusan ditiadakan. Sekali lagi, kadang negara hadir dengan cara itu.
Jika dirasa cukup dengan cara ini negara hadir bagi kami, warga desa, kami akan menerima. Mungkin kami memang tidak boleh meminta lebih dari negara atas kemerdekaan ini. Cukuplah seperti yang terjadi saat ini. Terima dan kurangi bertanya.
Jika nanti negara mengharuskan kita terlibat, dalam pemilu misalnya, lakukan. Biar tak ada pelaksana negara yang merasa dikecewakan. Meski hak rakyatnya, tidak tercermin dalam politik kemerdekaan kita.
Sumenep, 17 Agustus 2018
Penulis: Nur Khalis, Bermukim di Desa Gapura Tengah, Kecamatan Gapura Kabupaten Sumenep.