Kafir: Jangan-jangan Kita?

Media Jatim

Dalam sebuah ayat, al-Qur’an menyebutkan bahwa Jika kita bersyukur maka Allah tidak akan segan-segan memberikan tambahan. Namun jika kita kufur, maka adzab yang pedih akan menantikan.

Jelas sekali, kata “kufur” merupakan lawan dari kata “syukur”. Jika syukur merupakan ungkapan rasa terima kasih kepada Allah, maka sebaliknya, kufur berarti tidak tau berterimakasih kepada Allah.

Jangankan berterimakasih, orang yang kufur malah terkadang congkak dan sombong. Ia merasa bahwa yang ia dapatkan merupakan hasih jerih payahnya sendiri, tanpa ada campur tangan Allah.

Itulah kufur nikmat. Berbeda dengan kufur agama. Jika kufur nikmat bisa saja menimpa kita sesama muslim, tapi kufur agama hanya menimpa mereka yang nonmuslim. Secara bahasa, kita dan mereka terkadang menyandang gelar yang sama : kafir. Bedanya, mereka yang nonmuslim mengingkari Allah sebagai tuhannya, sedangkan kita seringkali mengingkari Allah sebagai pemberi rizki, anugerah dan karunia.

Hanya saja, akhir-akhir ini kata “kafir” menjadi julukan yang menakutkan. Semacam simbol permusuhan yang kemana-mana teriakkan. Kata kafir sangat efektif untuk menanamkan kebencian kepada nonmuslim. Sehingga dakwah agar menjaga ukhwah basyariyah (persaudaraan antar sesama manusia) menjadi terabaikan dan terlupakan. Bahkan, kita tidak menyadari bahwa mereka adalah saudara sebangsa dalam konteks ukhwah wathaniyah.

Baca Juga:  Politisasi Sepak bola: Etika Politik di Titik Nadir

Lebih-lebih ketika ada tujuan untuk menajamkan rivalitas dalam politik, kosa kata “kafir” menjadi semacam bahan bakar yang mampu menyulut perbedaan pilihan menjadi bara api permusuhan.

Ketika stigma “kafir” oleh kubu oposisi disematkan pada kubu petahana karena dianggap membela kepentingan nonmuslim, hingga ada pernyataan “perang badar”, dengan mudah pemilih yang beragama Islam terprovokasi hingga terbuai dalam suasana jihad membela agama dan dalam angan-angan mereka yang nampak adalah surga.

Penggunaan diksi-diksi agama dalam statement politik ini, telah menyeret agama dalam kubangan kepentingan sesaat yang menipu. Seharusnya, politik menampilkan cara-cara edukatif yang mendidik audien untuk menyalurkan hak suara dan aspirasi politiknya secara holistik tanpa ada hasutan hingga menimbulkan pertikaian.

Sepintas, inilah mungkin yang melatar belakangi PBNU membahas permasalahan penyebutan “kafir” kepada nonmuslim dalam bahtsul masa’il yang diadakan dalam acara munasnya beberapa hari yang lalu.

Bagi penulis, biarlah mereka yang nonmuslim menyandang status kafir di hadapan Allah. Tapi panggilan nonmuslim dari kita untuk menjaga ukhwah tetap lebih elok dan lebih bersahabat kesannya. Toh yang kelak akan menanggung segala amal dan perbuatannya di akhirat adalah mereka sendiri.

Jika pun Allah menginginkan seisi bumi ini menjadi muslim, adalah hal mudah bagi Allah. Namun sepertinya, Allah sedang mengajarkan hambanya akan indahnya hidup berdampingan di tengah perbedaan yang Ia ciptakan.

Baca Juga:  Pantura, Harapan dan Aspirasi

Tugas kita hanyalah “fastabiqul khairat” atau berlomba dalam kebaikan. Tanpa harus mendiskreditkan pemeluk agama lain. Sudah banyak kisah-kisah teladan kebaikan Nabi yang mampu meluluhkan hati nonmuslim, hingga mengucapkan dua kalimat syahadat, tanpa ada peperangan dan pertumpahan darah. Itulah cara terbaik menarik simpati dari mereka. Bukan malah mendengungkan kalimat-kalimat perang untuk menaklukkan.

Dalam konteks politik nasional di negara kita, adalah sangat bijak jika kita tidak mudah tersulut oleh adegium-adegium politik yang mengarah pada perpecahan bangsa. Betul, mereka yang nonmuslim kufur secara agama. Tapi jangan lupa, kita yang muslim sering kali kufur dalam menerima nikmat-Nya.

Agar tidak terlalu banyak kufur, mari kita syukuri perbedaan agama dan keyakinan ini dengan sikap toleransi yang tinggi dan menghargai hak politik sesama warga negara. Maka, betul apa yang dipesankan teman diskusi saya ; “sesama orang “kafir”, kita jangan saling mengkafirkan!”.

Wallaahu a’lam…

*) Penulis adalah Aktivis FAPSEDU (Forum Antar Umat Beragama Peduli Keluarga Sejahtera dan Kependudukan) Kabupaten Pamekasan, Masa Bhakti 2018-2023, tinggal di Nyalaran.