WhatsApp Image 2024-09-06 at 12.09.54

Diskusi: Populisme Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia Pasca Pilpres

Media Jatim
Acara diskusi dan peluncuran Jurnal MAARIF edisi ke-33 No.1 Juni 2019 dengan tema “Populisme Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia Pasca-Pilpres”, (Foto: Syafrudin Budiman).

MediaJatim.com, Jakarta – Kamis, (04/09/2019) MAARIF Institute menyelenggarakan diskusi dan peluncuran Jurnal MAARIF edisi ke-33 No.1 Juni 2019 dengan tema “Populisme Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia Pasca-Pilpres”. Acara yang berlokasi di Aula Gedung Joang ‘45 Jl. Menteng Raya, Cikini, Jakarta Pusat.

Hadir sebagai pembicara Prof. Dr. Syamsul Arifin (Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang) Amin Mudzakir, SS. M.Hum (Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan Moh. Shofan (Direktur Riset / Pimred Jurnal MAARIF). Sedangkan untuk moderator acara ini yaitu, Pipit Aidul Fitriyana (Manager Program Islam for Justice MAARIF Institute).

Menurut Abd. Rohim Ghazali, Direktur Eksekutif MAARIF Institute, isu tentang populisme menjadi tren belakangan ini. Dimana, utamanya sejak Pilkada Jakarta, Pilpres dan setelah Pilpres. Sebagai bagian dari aspirasi demokrasi.

“Diskursus mengenai populisme sangat baik bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, tetapi kita tak boleh menutup mata, bahwa  kehadiran populisme bisa juga menjadi pisau bermata dua. Satu sisi ia menjadi bagian dari aspirasi di ruang demokrasi, dan di sisi lain ia bisa menjadi permainan politik para elit yang bisa membahayakan dan mengancam kedaulatan nasional, kepentingan ekonomi nasional, nilai-nilai budaya, dan identitas nasional,” kata Abd. Rohim Ghazali.

Baca Juga:  PMII Pamekasan Kutuk Keras Tindakan Terorisme Selandia Baru

Sementara Prof. Syamsul, dalam pemaparannya menguraikan tentang Islam, populisme dan masa depan demokrasi di Indonesia. Syamsul menempatkan populisme secara positif, bukan sebagai ancaman terhadap demokrasi, kendati tetap memberikan ruang untuk mengartikulasikan sikap kritis kepada populisme.

Sikap demikian, menurutnya dipilih atas pertimbangan sosiologis dan historis posisi Islam, sebagai agama yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk di Indonesia. Kebesaran dari sisi jumlah serta karakteristik Islam sebagai agama moderat perlu diapresiasi sebagai modalitas dalam mendinamisasi demokrasi di Indonesia.

Banner Iklan Media Jatim

Namun, Syamsul memberikan catatan bahwa diskursus populis beserta aksi turunannya masih terperangkap pada isu-isu primordialistik yang acapkali muncul dalam kontestasi politik elektoral.

“Jika masih terperangkap dengan isu-isu demikian, maka wajar jika muncul kekhawatiran populisme Islam akan menjadi ancaman bagi demokrasi”, terangnya.

Amin Mudzakir, Peneliti LIPI, berpendapat bahwa gejala populisme Islam di Indonesia merupakan agregat dari politisasi “identitas”, “kelas”, dan “bingkai” yang merupakan bagian dari perubahan di tingkat yang lebih luas. Namun katanya, di Indonesia gejala ini, menariknya, tidak berkorelasi dengan kontestasi politik elektoral.

Baca Juga:  Слоты Machine - Как сделать лучше шансы для выигрышные игровые автоматы

Menurut Intektual Muda ini, kekuatan “partai- partai Islam” tetap pinggiran dibanding “partai-partai nasionalis”, meski wajah kekuasaan politik cukup jelas semakin Islami. Jadi apa yang sesungguhnya terjadi adalah pertanyaan yang terus menarik untuk dikaji.

Sementara, Moh. Shofan, Pemred Jurnal MAARIF, mengatakan populisme merusak fondasi kebangsaan, dan tentu menjadi ancaman bagi demokrasi ke depan. Populisme agama meresonansikan kegaduhan di ruang publik demokratis karena ia mengkhutbahkan intoleransi, mengaburkan perbedaan, menganggap dirinya sebagai bagian dari umat yang lebih luas, serta menjanjikan kepastian dan keyakinan masa depan atas nama revolusi moral.

“Populisme merupakan benalu dan ancaman berbahaya bagi perjalanan demokrasi, karena populisme bisa mengaku sebagai satu-satunya yang absah mewakili ‘rakyat’, sedangkan ideologi kelompok lain dianggap bukan bagian sah dari ‘rakyat’”, jelas Moh Shofan.

Reporter: Syafrudin Budiman

Redaktur: Zul