“Kita harus menemukan waktu untuk berhenti dan berterimakasih kepada orang-orang yang telah membuat perbedaan dalam hidup kita”.
(John F. Kennedy)
BIOSKOP adalah hiburan sekaligus bisnis yang menyediakan jasa cinema, sama seperti New Star Cineplex (NSC) Ultima, Cinema 21/XXI, Cinemax, Blitzmegaplex, CGV Blitz dan Paltinum. Konteks Madura hanya Kabupaten Sumenep yang sukses menunjukkan sejuknya iklim investasi di bidang hiburan.
Kota Cinema Mall Pamekasan tidak hanya bioskop yang berdiri sebagai panggung hiburan, melainkan juga salah satu pendorong pembangunan daerah di sektor periwisata yang di dalamnya tersedia tempat tongkrongan atau café, kuliner dan fasilitas-fasilitas lain yang mendukung nuansa dan kenyamanan pengunjung.
Bioskop hanyalah gambar hidup, sama nilainya dengan literasi. Jika ada kelompok tertentu, apalagi pegiat literasi menolak Kota Cinema Mall Pamekasan bagiku kurang fair dan tidak proporsional, karena bioskop bukan sekadar hiburan, melainkan juga visualisasi literasi, ada karya tulis di sana, yang dihasilkan dari pikiran dan kerja keras penulisnya, bagi yang tidak punya banyak waktu untuk membaca mereka bisa memahaminya lewat gambar hidup.
Akhir-akhir ini beredar banyak link berita online yang menyuguhkan kabar gembira, bahwa Kota Cinema Mall yang memadukan konsep food court, multifunctional stage, dan play ground di Pamekasan akan segera diresmikan, letaknya di Jl. Raya Sentol Pamekasan, warga Pamekasan tak perlu lagi ke Sumenep atau ke Surabaya untuk menonton film jika di Pamekasan sudah tersedia.
Tapi di sisi lain, terdapat sekelompok masyarakat yang menilai Kota Cinema Mall seolah-olah tempat yang “horor” (ngeri dan manakutkan), meski mungkin yang menolak itu pernah pula menikmati jasa cinema (bioskop) di tempat-tempat lain, apalagi saat ini gambar hidup sudah bisa dinikmati di gadget-gadget, di televisi-televisi, dan di komputer-komputer dengan jaringan internet, belum jelas yang bikin seolah-olah “horor” bagi kelompok yang kontra ini apa.
Koran Madura pada tanggal 21 Oktober 2019 memosting berita dengan judul “Soal Kota Cinema Mall, Ulama Madura Merasa Ditipu Bupati Pamekasan”. Unfortunately, judul beritanya saja yang heboh, tak sedikitpun dimuat apa basis argumentasi penolakan yang dimaksud pada link berita itu, apakah dinilai bertentangan dengan Undang-Undang/Perda, apakah dinilai bertentangan dengan Syari’at Islam karena jargon Pamekasan adalah Gerbang Salam, sama sekali tak tergambar.
Pada tanggal 12 Februari 2020 Koran Madura memosting pula sebuah berita dengan judul “Rencana Peresmian Bioskop di Pamekasan Mendapat Penolakan”, Nara Sumbernya adalah rekan saya sendiri yang saat ini menjabat sebagai Anggota DPRD Kabupaten Pamekasan dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Ali Masykur, S.H.
Dalil yang disampaikan untuk menolak tertuang pada paragraph kedua dan ketiga, yang pada pokoknya menilai jika KCM Pamekasan diresmikan dapat melunturkan kearifan lokal (local wisdom) Pamekasan sebagai Kota Gerbang Salam.
Harun Suyitno, Anggota Fraksi PKS diberitakan pula oleh Times Jatim yang diposting pada tanggal 12 Februari 2020 dengan judul “Fraksi PKS Minta Bupati Pamekasan Menjelaskan Pembangunan Bioskop Cinema Mall”. Dalam berita itu argumentasi utama politisi PKS itu adalah agar tidak kontra produktif ia berharap eksekutif menjelaskan kepada publik, meski diselipkan seolah ada masalah dengan perizinan pembangunan KCM.
Belum lagi ada rencana aksi unjuk rasa dari salah satu civil society yang nota bene ormas Islam untuk mendemonstrasikan penolakan terhadap rencana peresmian KCM Pamekasan, entah dengan dalil apa mereka akan unjuk penolakan.
Kondisi ini adalah ujian bagi eksekutif, apakah leadership-nya kuat atau mudah goyah, meski Bupati perlu pula meresapi kata bijak yang pernah disampaikan John F. Kennedy, “Kita harus menemukan waktu untuk berhenti dan berterimakasih kepada orang-orang yang telah membuat perbedaan dalam hidup kita”, karena perbedaan pandangan itu membuat eksekutif akan lebih bijak dan kuat.
Kota Cinema Mall seolah-olah “horror”, ini perspektif yang sangat merugikan, tidak fair dan tidak proporsional. Jika dalilnya adalah ketakutan local wisdom sebagai Kota Gerbang Salam akan luntur, secara subjektif saya menilai cara pandang itu sangat tertutup (eksklusif) dan mencerminkan cara beragama yang tidak terbuka (inklusif) terhadap perkembangan dan pembaruan.
Yang dinilai dapat melunturkan nilai-nilai Gerbang Salam yang mana? Jika kehawatirannya adalah potensi maksiat, karena pada saat nonton lampu mati, maka tinggal dibuat lebih religious, misalnya tempat duduk laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim dipisah, langkah itu jauh lebih islami dan tidak extreme, jangan tiba-tiba menolak tanpa proses dialogis dan tanpa argumentasi yang rasional, sehingga Pamekasan terasa kurang civilize dan tidak ramah. Konser Nissa Sabyan ditolak, Roma Irama ditolak, bioskop ditolak, wajah Pamekasan jadi tampak sangar dan tidak puitis.
Saya belum punya reasioning yang memadai untuk ikut-ikutan menolak peresmian Kota Cinema Mall Pamekasan, kecuali pemerintah benar-benar telah menabrak peraturan (baik UU atau Perda) dan atau jelas-jelas menyimpang dari nilai-nilai luhur keagamaan, dengan catatan: Jangan menghadirkan cara beragama yang kaku dan eksklusif, agama harus hadir dengan wajah yang sejuk, indah, dialogis dan inklusif terhadap pembangunan, pembaruan, perkembangan dan kemajuan.
Jika Kota Cinema Mall Pamekasan telah diresmikan, meski hanya Dilan, saya ingin menjadi penikmat pertama gambar hidup itu di kursi ternyaman. Ro’yunaa showaab wayahtamilul khoto’, wa ro’yu ghairina khoto’ wayahtamilus showaab, Allahu a’lam.[*].
Pamekasan, 13 Fabruari 2020.
*Penulis adalah Ketua DPW APSI Jatim dan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Madura.