Kapal yang kami tumpangi belum bersandar. Namun kami sudah disambut gerimis. Suasana terasa lebih dingin di pelabuhan pulau Kangean, siang itu.
Bersama rombongan dari Polres Sumenep, enam kawan pewarta TV diberi kesempatan untuk ikut serta. Layaknya pemuda norak pada umumnya, tidak lama setelah turun dari kapal, kami wefie dengan latar belakang pintu gerbang pelabuhan.
Kami hiraukan gerimis. Kami acuhkan genangan air di jalan pelabuhan. Kami bersikap norak sepuas-puasnya; foto, ngevlog, ketawa-ketawa bahkan menghasut orang lain agar senorak kami.
Hujan mengantar kami hingga ke aula Kecamatan Arjasa. Suguhan teh, kopi juga es degan yang dicampur jeruk nipis, membuat kami merasa disambut dengan baik.
Kami ramah tamah dengan pejabat setempat; forpimka dan pemerintah desa. Hujan melindungi kami dari terik matahari. Diskusi di aula kecamatan, saat itu, akrab dan menyejukkan.
Hari pertama di Kecamatan Arjasa, kami berusaha menyelesaikan beban masing-masing: beban mabuk laut yang belum usai dan harus mengawal giat polisi yang cepat dan padat.
Beruntung sinyal seluler terbilang aman. Agar tak begitu bosan, sesekali kami ngacir ke gawai masing-masing. Tapi beban belum sepenuhnya hilang.
Hari kedua di pulau Kangean tiba. Cobaan hidup terasa sangat dekat di depan mata. Perjalanan dari Kecamatan Arjasa ke Kecamatan Kangayan, harus ditempuh sekitar dua jam lebih.
Bukan soal waktu. Medan yang akan kami lalui berupa hutan jati dan jalan rusak yang sangat menganggu pikiran. Saat memasuki mobil, mayoritas wajah kami masam. Kami merasa tidak akan bahagia.
Mobil rombongan melaju. Kami merasa tidak sendirian. Meski begitu, tidak mungkin kami saling menyemangati sembari berteriak dari dalam mobil layaknya warga di Wuhan China.
Untuk menghibur diri sepanjang perjalanan, melewati jalan yang gonjang ganjing, kami sengaja melambaikan tangan pada anak-anak yang sekolahnya berada tepat di pinggir jalan.
Bahkan untuk mengusir rasa bosan juga mual sebab jalan rusak itu, kami pun mulai pakai muka tembok. Semua emak-emak yang ada di pinggir jalan, kami ajak melambaikan tangan.
Di dalam mobil, kami pun melancarkan gosip bahwa di pulau Kangean banyak Jamal (janda Malaysia). Yang cantik kami elu-elukan. Yang jelek kami khawatirkan. Jauh setelah itu, kami juga menemukan akronim jamur (Janda di bawah umur) dan becak (Bidan Cantik).
Sebenarnya yang kami lakukan tak banyak membantu. Saat memasuki hutan jati, pembicaraan kami semakin berada di luar batas waras. Mayoritas imajinasi kami tidak wajar. Beruntung, ujung-ujungnya kami ngakak bersama.
Nama hebat kami sebagai pewarta, tidak bermanfaat apapun di sepanjang jalan rusak yang kami lewati. Pewarta atau orang awam sekalipun, mungkin imajinasi dan pembicaraanya sama, di luar batas waras dan tidak wajar. Sebab jalan yang kami lalui, nyaris nihil yang menghibur.
Disela-sela rasa jenuh karena perjalanan, kami sadari, menjadi pewarta adalah kerja kaki sebelum menjadi kerja otak. Seluruh perjalanan yang mengharuskan kami berpikir tak wajar dan tak waras ini, adalah bagian yang musti kami selesaikan.
Terpaksa musti kami sadari, bahwa kerja pewarta bukan soal verifikasi dan klarifikasi semata. Menjadi pewarta adalah kemauan untuk berjalan jauh, hingga pembicaraan di perjalanan menjadi tampak tidak waras dan imaninasi berada di luar batas wajar.
Melewati itu semua, kami merasa kerja pewarta memang tidak mudah. Jika ada yang merasa mudah menjadi pewarta, kami ingin tahu, sampai sejauh mana dia berjalan? Untuk belajar.
Rasa nyaman, termasuk menjadi pewarta, kadang lahir dari pikiran yang merasa cukup, merasa mampu dan bahkan sudah berhak menggurui.
Di Kangean, alam dan perjalanan yang kami tempuh seakan mengajarkan bahwa pikiran itu tidak benar. Pewarta musti berkeringat. Musti objektif. Pewarta harus terlebih dahulu melangkah jauh sebelum merekam fakta.
Rombongan tiba di Polsek Kangayan. Sinyal seluler mati total. Diantara kami yang sesekali melihat gawai, sebenarnya hanya kegabutan semata. Tidak menyelesaikan apapun.
Perjalanan terus kami lalui hingga ke desa Sabuntan. Saat tiba kembali di Polsek Kangayan, malam nyaris larut. Kami terpaksa harus menerobos gelap, melewati jalan dan hutan jati yang sama, berjam-jam, untuk bisa mengirim berita di Kecamatan Arjasa.
Pukul setengah dua pagi kami baru bisa lelap. Beruntung berita terkirim. Dari semua yang kami jalani, rasanya, wartawan musti bejalar di Pulau Kangean. Berita itu mahal dan melelahkan.
Jika ada waktu luang, lagi, kami ingin sekali menceritakan warga yang puluhan tahun hidup tanpa listrik. Menceritakan anak-anak pelajar yang lugu dan apa adanya.
Kami juga ingin bercerita bahwa benar, bagi sebagian orang, hidup dalam keterbatasan dan kekurangan itu kadang memudahkannya untuk selalu bersyukur. Di Kangean, itu ada. Salam.
Gapura,
25 Pebruari 2020
Penulis: Nur Khalis, warga Sumenep yang menekuni Jurnalistik.