Mediajatim.com, Situbondo – Perhutani KPH Bondowoso kembali bermasalah karena hutan lindung kembali dijadikan ladang pertanian.
Setelah dilakukan penelusuran, pihak terkait berdalil kerjasama untuk meningkatkan peran Perhutani dalam pemberdayaan masyarakat melalui kemitraan kehutanan dan pengembangan potensi-potensi dalam kawasan hutan sebagai lahan pertanian.
Tapi menurut Ketua Umum LSM Siti Jenar Eko Febrianto, jika semuanya dilakukan tanpa prosedur yang jelas itu sebuah pelanggaran berat. Ia lantang bersuara karena pengalihan hutan menjadi ladang pertanian ini bisa menyebabkan banjir dan berimbas ke kabupaten tetangga, termasuk Situbondo.
“Ini pelanggaran berat, karena prosedurnya tidak jelas. Pengalihan ini bisa menyebabkan bencana alam banjir dan Situbondo akan mendapatkan dampaknya juga,” tegasnya, Sabtu (4/4/2020).
KPH Bondowoso dinilai salah kaprah bila mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan, Pemanfaatan Jasa Lingkungan pada Hutan Lindung Maupun Hutan Produksi dan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2010 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara.
Selain itu juga diatur dalam Keputusan Direksi Perum Perhutani nomor: 682/KPTS/Dir/2009 tentang Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, Bahwa Ruang Lingkup Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat Dilaksanakan Harusnya dengan Tidak Mengubah Status Kawasan Hutan, Fungsi Hutan dan Status Tanah Itu Sendiri.
“Mengenai adanya alih fungsi kawasan hutan secara ilegal yang mengakibatkan gundulnya hutan menjadi lahan pertanian pada kawasan hutan wilayah KPH Bondowoso yakni penanaman jenis hortikultura seperti jagung, kentang dan kubis oleh masyarakat di sekitar kawasan Ijen sudah berlangsung sejak lama dan pihak KPH pun melakukan pembiaran dan saya kira mereka terlibat didalamnya,” papar Eko Febrianto.
Eko menganggap ini tidak rasional, pihak KPH Bondowoso menyebutkan reboisasi sudah sering dilakukan namun mengalami kegagalan. “Itu sudah lagu lama, hanya akal akalan oknum KPH saja,” imbuhnya.
Pihaknya mendesak Perum Perhutani KPH Bondowoso membongkar keterlibatan pihak tertentu terkait alih fungsi lahan di lereng pegunungan Ijen tersebut.
Eko menjelaskan, luas alih fungsi hutan menjadi pertanian di lereng Ijen mencapai kurang lebih 17 sampai 20 hektar. Karenanya, Perhutani harus bertanggungjawab atas persoalan tersebut, mengingat dampak kerusakan hutan dilereng sana akan berakibat luapan air banjir ke dataran yang lebih rendah seperti wilayah Situbondo dan sekitarnya.
“Biang kerok persoalan hilangnya kawasan hutan itu Perhutani sendiri. Tentu Perhutani dan pihak terkait lainnya harus tidak boleh lepas tangan,” pintanya.
Pihak KPH Bondowoso pasti tahu mengetahui hutan negara Rimba Alam petak 82 RPH Sukorejo
BKPH Sukosari KPH Bondowoso ini dibongkar kemudian dijadikan lahan pertanian.
“Dan pasti mereka juga dapat setoran di bawah,” tandas Eko.
Lanjutnya, jika Perhutani mengawasi dengan ketat maka alih fungsi lahan itu bisa diminimalisir. Ia pun ragu kalau Perhutani mengaku tidak mengetahui masalah ini.
“Perhutani yang harus membongkar itu. Cari siapa dalangnya, biang keroknya, jangan hanya menyalahkan rakyat yang bekerja di lahan itu. Dari banyak kasus, kawasan hutan di atas hulu dimana-mana masyarakat hanya mengelola saja. Di balik itu ada tengkulak,” tambahnya.
Sekitar 17 hingga 20 hektar hutan di petak 82 RPH sukorejo milik Perum Perhutani KPH Bondowoso, Jawa Timur, beralih fungsi menjadi lahan pertanian ilegal. Bahkan puluhan hektar tersebut terdiri dari Kawasan Hutan Produksi dan Kawasan Hutan Lindung.
Dampaknya, hutan yang seharusnya menjadi kawasan penopang kini dipenuhi dengan tanaman hortikultura milik masyarakat. Adapun komoditi yang ditanam, antara lain Kubis, Kentang dan Wortel dan lainnya. Wajarlah kalau ekosistem di daerah tersebut rusak dan berakibat banjir bandang sering terjadi di sana, pungkas Eko.
Reporter: Frengky
Redaktur: Zul