Oleh: Untung Wahyudi
World Health Organization (WHO) telah menetapkan coronavirus disease (Covid-19) sebagai pandemi global karena penyebarannya yang begitu masif. Dalam waktu yang sangat singkat, ribuan orang menjadi korban keganasan virus mematikan tersebut. Virus yang awalnya berasal dari Kota Wuhan, Tiongkok, tersebut menjadi virus menakutkan yang mengancam keselamatan jiwa manusia.
Selain Tiongkok, Italia adalah negara yang rakyatnya paling banyak terdampak Covid-19. Sejumlah negara pun melakukan lockdown untuk mencegah penyebaran wabah. Bahkan, sejak penyebaran virus tersebut, pemerintah Arab Saudi tidak menerima jamaah umrah dari negara mana pun. Hal itu dilakukan karena wabah Covid-19 telah menyerang berbagai negara.
Sebagaimana dilansir kumparan.com (14/4), sejak muncul pertama kali di Kota Wuhan, Tiongkok, pada akhir Desember 2019, Covid-19 telah menyebar ke lebih dari 200 negara dengan jumlah kasus mencapai hampir 1,5 juta.
Di Indonesia, kasus tumbuh dengan cepat. Sebagaimana dilansir tirto.id (19/4), peningkatan jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia masih terjadi sampai hari ini. Penambahan data kasus secara harian melanjutkan tren jumlah kasus baru di atas 300 pasien. Data yang diumumkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 pada Minggu sore, 19 April 2020, menunjukkan total jumlah kasus positif corona di Indonesia telah sebanyak 6.575 pasien. Dalam sehari terakhir tercatat 327 kasus positif baru ditemukan di seluruh tanah air.
Pemerintah menetapkan pandemi Covid-19 sebagai bencana non-alam dengan status tanggap darurat dan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Jumlah itu sebagai indikasi bahwa proses penapisan atau skrining massal lewat metode rapid tes (tes cepat) sedang dilakukan. Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 Achmad Yurianto menjelaskan, pertambahan kasus signifikan itu menjadi bukti bahwa penularan masih terjadi di masyarakat.
Menghapus Ujian Nasional (UN)
Penyebaran Covid-19 yang semakin masif dan bertambahnya kasus membuat pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengambil keputusan tegas tentang pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Untuk mencegah penularan virus di kalangan siswa, Kemendikbud memutuskan untuk meniadakan pelaksanaan UN.
Keputusan pemerintah tentang peniadaan UN tertuang dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang pelaksanaan kebijakan pendidikan dalam masa darurat penyebaran Covid-19. Dalam surat edaran yang ditandatangani Mendikbud Nadiem Makarim tersebut dijelaskan bahwa, pembatalan UN karena lebih mempertimbangkan kesehatan dan keamanan para siswa.
Dengan dibatalkannya UN Tahun 2020 ini, maka keikutsertaan UN tidak menjadi syarat kelulusan atau seleksi masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Nadiem juga menyebutkan bahwa dibatalkannya UN, maka proses penyetaraan bagi lulusan program Paket A, Paket B, dan Paket C akan ditentukan kemudian.
Fadjroel Rachman, Juru Bicara Presiden Joko Widodo, mengatakan, keputusan tersebut diambil sebagai respons merebaknya wabah Covid-19. Pemerintah mengutamakan keselamatan dan kesehatan masyarakat. Di sisi lain, peniadaan UN juga salah satu penerapan kebijakan social distancing.
Sebelum keputusan peniadaan UN, per 16 Maret 2020, pemerintah telah memerintahkan satuan pendidikan untuk meliburkan kegiatan belajar mengajar di sekolah dan diganti dengan belajar dari rumah (BDR). Dalam hal ini, guru dan siswa bukan tidak lagi menjalankan tugas belajar mengajar, melainkan melaksanakannya secara daring, baik melalui grup-grup media sosial, rekaman video, dan lainnya. Aktivitas BDR ini menuntut para pendidik untuk lebih kreatif dan melek teknologi agar kegiatan belajar mengajar tetap dilaksanakan meskipun tidak dilakukan dengan bertatap muka.
Guru Dituntut untuk Melek Teknologi
Diberlakukannya social distancing dengan cara belajar dari rumah, sebagaimana imbauan pemerintah, menuntut para pendidik untuk melek teknologi. Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, hendaknya para pendidik untuk meng-upgrade wawasannya tentang penggunaan media digital dalam kegiatan belajar mengajar. Ketika aktivitas belajar mengajar tak bisa dilakukan dengan tatap muka, guru harus bisa melakukannya secara daring.
Mendikbud Nadiem Makarim mengatakan, meluasnya wabah Covid-19 menjadi momentum bagi para pengajar untuk mengembangkan metode pembelajaran jarak jauh. Menurutnya, wabah Covid-19 merupakan suatu bencana yang terjadi dalam skala nasional, tapi ini juga menjadi kesempatan untuk para guru beradaptasi dengan teknologi dengan melaksanakan aktivitas mengajar secara daring.
Dalam tulisannya berjudul Belajar di Masa Pandemi (Media Indonesia, 23/3/2020), Syamsir Alam, Divisi Pengembangan Kurikulum dan Penilaian Yayasan Sukma, menjelaskan, kesiapan guru dan siswa dalam memanfaatkan teknologi pembelajaran, khususnya pada jenjang pendidikan menengah, relatif baik dan terus meningkat kualitasnya. Namun, muatan pembelajaran daring masih perlu terus disempurnakan agar lebih interaktif sehingga memungkinkan siswa dapat lebih terlibat (engaged) dalam proses pembelajaran. Daya dukung teknologi juga perlu terus ditingkatkan kualitasnya, sebagaimana fasilitas yang digunakan perusahaan-perusahaan penyedia konten (content provider).
Penyebaran Covid-19 yang menyebabkan tersendatnya aktivitas masyarakat dalam banyak sektor, termasuk pendidikan, hendaknya menjadi pelajaran berharga agar kita bisa memanfaatkan kesempatan yang baik dan berupaya untuk meningkatkan kreativitas. Pembatalan pelaksanaan UN juga merupakan ikhtiar pemerintah untuk mencegah penyebaran wabah. Karena itu, masyarakat harus mendukungnya dengan tidak melakukan aktivitas di luar rumah—jika tidak benar-benar mendesak. Juga, menghindari acara atau pertemuan yang melibatkan banyak orang di satu tempat yang bisa menjadi “sarang empuk” penularan virus. (*)
*) Untung Wahyudi, lulusan UIN Sunan Ampel, Surabaya