Seorang Kawan yang Marah pada Wartawan

Media Jatim

Kebenaran ada batasnya. Ia tidak berhak memaksakan kehendak. Di tangan seorang juru warta, misalnya, kebenaran harus diperlakukan dengan adil.

Contoh, seorang juru warta tidak berhak menyalahkan jawaban narasumber. Apalagi hanya karena tidak sesuai dengan angle berita yang dikehendaki.

Memposisikan kebenaran dengan seadil-adilnya, termasuk kepada narasumber, adalah keharusan. Minimal, narasumber tidak selalu dianggap sebagai lawan yang harus ditaklukkan. Dan narasumber tidak merasa sedang bermusuhan.

Kata seorang kawan, membuat berita bukan sekedar untung rugi. Apalagi harus sesuai dengan kehendak hati. Menulis berita adalah menyampaikan fakta. Meskipun akhirnya banyak orang yang tidak suka.

Empat paragraf di awal, tentu bukan perkara gampang. Yang sungguh-sungguh berlatih pun, kadang masih saja ada godaan. Apalagi yang belum bertanggung jawab dengan profesi ini, tentu bisa dibayangkan bukan?

Bertanggung jawab dengan profesi juru warta, ternyata tidak cukup hanya bermodal paham kode etik jurnalistik belaka. Menurut seorang kawan, ada juga yang prilakunya malah “merusak” dengan bermodal kode etik semata.

Artinya, bisa jadi ada juru warta yang keliru karena dia tidak tahu. Bisa jadi pula ada yang paham kode etik, namun dia tetap berbuat salah karena sadar sedang berada di “lahan basah”.

Sampai sejauh ini, saya minta maaf jika catatan ini tampak menggurui atau terang-terangan memaki. Jujur, catatan ini hanya rangkuman sederhana saat bertemu seorang kawan, yang mengingatkan saya bahwa di dunia ini, ada juga orang yang bermodal kebaikan untuk berbuat kejahatan.

Katanya, seseorang yang berbuat jahat dengan modal kebaikan, sulit diantisipasi dan dikalahkan. Topeng baik yang mereka kenakan, bisa melahirkan belas kasihan sebelum kita sadar telah ditikam dari belakang.

Seorang juru warta tentu bukan dewa. Dia hanya manusia yang bisa saja keliru dan berdosa. Maka penting yang berakal sehat bersikap waspada, tegas kawan saya.

Memang, tambahnya, kadang juru warta selalu merasa paling benar setelah Tuhan. Dia lupa bahwa takdir tidak hanya berisi kebaikan dan kesombongan. Mendengar itu, saya diam. Saya paham, “marahnya” tidak semuanya berisi kesalahan. Salam.

Diperbaharui, 14 Oktober 2020

Penulis: Nur Khalis, wartawan dan penulis lepas asal Kab. Sumenep.