MEDIAJATIM.COM | Perempuan dan laki-laki memiliki posisi dan hak yang setara dalam seluruh konteks kehidupan masyarakat dan ekosistem seluruh makhluk hidup. Begitu pula dalam konteks pemenuhan hak hidup secara sehat dan mandiri. Dalam artian, perempuan dan laki-laki punya hak hidup sehat yang setara tanpa harus ada pembedaan gender. Begitulah pernyataan awal Westiani Agustin, Founder Biyung Indonesia dalam Webinar bersama Mongabay Indonesia, awal Desember 2020 lalu. Webinar yang dipandu Akita ini mengangkat tema ‘Pemenuhan Hak Hidup Sehat Bagi Perempuan dan Lingkungan.
“Kita selaku perempuan, seharusnya berada di dalam ekosistem bumi dengan posisi yang setara dengan seluruh makhluk. Tetapi hari ini, ekosistem di bumi kita masih diperlakukan dengan sistem yang berpusat pada Ego. Dimana manusia merasa memiliki posisi paling puncak dalam ekosistem bumi. Dan Mohon maaf. Dan dalam sistemyang berpusat pada Ego tersebut, ada salah satu gender manusia yang merasa posisinya berada di atas posisi makhluk yang lain. Yaitu laki-laki. Seakan perempuan ada di kelas dua. Dan makhluk lain ada di bawah manusia,” katanya.
Jadi kata Ani, sapaan akrabnya, saat ini saatnya melalukan perubahan dalam konstruksi berpikir. Dimana sistem kehidupan masyarakat dan ekosistem harus berfokus pada Eco, yaitu ekosistem bumi sebagai rumah bersama bagi seluruh makhluk hidup dengan hak dan posisi yang setara.
“Kita semua harus keluar dari cara berpikir Ego. Itulah sebabnya kami mengkampanyekan pemenuhan hak hidup sehat bagi perempuan dan lingkungan, karena kita semua berada dalam ekosistem yang sama dengan hak dan posisi yang setara.”
Menurut Ani, perempuan memiliki relasi yang sangat dekat dengan lingkungan. Secara insting dan kemampuan beradaptasi, perempuan membutuhkan berikut memanfaatkan sumber daya lingkungan yang ada. Mulai dari tanah, air, udara, api atau energi.
“Hal itu dilakukan tidak lain untuk memenuhi kebutuhan pangan, obat, dan sanitasi yang sangat dibutuhkan dalam aktivitasnya, terutama dalam tugas bereproduksi,” ujarnya.
Ani bilang, jika lingkungan rusak atau tercemar, maka perempuan lah yang akan pertama kali terdampak dan mengalami kesulitan untuk menjalankan semua aktivitasnya. Terutama tugas reproduksi itu sendiri.
Fakta hari ini, papar Ani, berkaitan dengan kesehatan reproduksi dan menstruasi bahwa pembalut menstruasi yang beredar dengan harga terjangkau adalah pembalut sekali pakai. Ani menegaskan, pembalut yang dimaksud tersebut diproduksi menggunakan material yang mengandung zat kimia berbahaya bagi tubuh dan lingkungan. Seperti dioxin, pemutih, pewangi, serta campuran plastik.
“Data yang kami himpun, ada sekitar 70.000.000 (70 juta) perempuan menstruasi aktif. Mereka masing-masing memakai pembalut sebanyak 20 lembar per bulan. Jadi kalau dihitung, setiap bulan akan ada 1,4 milyar pembalut sekali pakai dan berakhir menjadi sampah,” papar Ani.
Dari hitungan tersebut, kata Ani, maka dalam satu tahun akan 16,8 milyar pembalut. Jika dijabarkan luasnya bisa mencapai 378 KM² atau setara dengan Kota Semarang. “Jadi kita bisa menutup kota Semarang pakai pembalut. Itu hanya satu satu tahun, ya. Bisa dibayangkan, bagaimana kalau puluhan tahun atau bahkan ribuan tahun,” tandas Ani.
Atas nama Biyung Indonesia, Ani menyampaikan rasa prihatinnya pada kondisi tersebut. “Kami Biyung Indonesia prihatin, sedih, marah karena perempuan harus menghadapi masalah tersebut.”
Ani menilai, perempuan Indonesia mungkin terpaksa mengalami masalah tersebut. Alasannya : pertama, tidak punya pilihan lain dan terpaksa memakai pembalut sekali pakai yang harga terjangkau. Kedua, mengalami gangguan kesehatan reproduksi akibat pemakaian pembalut sekali pakai. Ketiga, terpaksa menjadi kontributor penumpukan sampah pembalut sekali pakai di daratan dan perairan.
Jika dilihat akar masalah utamanya, lanjut Ani, masalah tersebut terjadi disebabkan karena : minimnya pengetahuan dan akses informasi tentang hak kesehatan reproduksi, minimnya kesadaran masyarakat tentang dampak pembalut sekali pakai bagi kesehatan perempuan dan bumi, serta minimnya ketersediaan pembalut yang aman, sehat, dan terjangkau.
Karena hal tersebutlah, perempuan harus menerima dampaknya. Mulai dari dijauhkan dari diri dan tubuhnya sendiri dan lingkungannya, harus bekerja lebih keras untuk memenuhi tuntutan dasarnya karena lingkungan yang tercemar dan sumber konsumsi yang semakin sulit, terpaksa mengkonsumsi makanan yang rendah gizi dan sistem pendukung reproduksi yang tidak aman bagi dirinya juga lingkungan (pangan, pembalut, dan obat-obatan) hingga tingginya jumlah perempuan yang menderita sakit kangker dan berakhir kematian.
“Ada solusi sederhana yang bisa diketahui dan dilakukan oleh individu atau pun komunitas. Yaitu Edukasi, Advokasi, dan kolaborasi,” ungkap Ani.
Edukasi yang dimaksud Ani adalah memberikan pemahaman tentang ketubuhan dan kesadaran tentang feminitas perempuan, serta pelestarian lingkungan.
Sedang solusi advokasi, kata Ani, mendorong pelaksanaan undang-undang dan penegakan hukum yang berlaku. Tujuannya, untuk pemenuhan hak atas akses dan kontrol untuk hidup sehat bagi perempuan dan lingkungan. “Kita sudah tahu bahwa banyak undang-undang tentang pemenuhan hak asasi manusia, khususnya perempuan. Tetapi pada kenyataannya hari ini, masih sangat minim yang diterapkan.”
Tetang kolaborasi, jelas Ani, yaitu bekerja bersama dengan banyak organ untuk saling mengisi dan melengkapi.
Biyung Indonesia sendiri melakukan aktivitas edukasi dan kampaye kesehatan reproduksi perempuan dan lingkungan. Selain itu, pihaknya juga membuka usaha kecil produksi pembalut dari kain batik dan berbagai produk pendukung menstruasi. Sedang hasil dari keuntungan usaha itu digunakan untuk mengadakan kampaye dan workshop. Seperti membuat pembalut kain bagi kelompok perempuan dengan keterbatasan ekonomi, perempuan di wilayah terpencil dan perempuan disabilitas.
Ani juga menyampaikan, Biyung Indonesia membuka ruang berbagi dan diskusi tentang menstruasi bagi siapapun yang berminat. Tak hanya itu, Biyung Indonesia juga melakukan penggalangan solidaritas untuk pengadaan pembalut kain gratis bagi perempuan di pemukiman padat perkotaan, pedesaan, dan perempuan disabilitas.
“Kami juga memiliki aktivitas berupa workshop membuat pembalut kain gratis dan pengadaan buku saku kesehatan reproduksi.”
Upaya yang dijalankan oleh Biyung Indonesia, kata Ani, tidak luput dari dukungan berbagai pihak, salah satunya program She Creates Change yang diselenggarakan oleh Change.org Indonesia.
Reporter: Gafur
Redaktur: Sulaiman