Oleh: H. Ahmad Tohari*
Kanjeng Nabi Muhammad SAW pernah tidur di lantai tanah dengan hanya beralas tikar daun kurma. Maka, ada tanda-tanda guratan pada pipinya yang mulia ketika beliau bangun. Hal yang hampir sama diamalkan mantan Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Pada 1995, Gus Dur tidur dua malam di rumah saya yang sederhana di kampung. Malam pertama dia mau tidur di dipan kayu yang saya sediakan. Tetapi, malam kedua dia memilih sendiri tidur di karpet murahan yang menutup lantai ruang tengah. Gus Dur tampak santai dan tidur amat lelap. Kepalanya hanya tersangga bantal sandaran kursi.
Perihal Gus Dur suka tidur di karpet sudah saya ketahui sejak lama. Ketika naik haji bersama pada 1988, saat tidur di hotel, Gus Dur memilih karpet daripada kasur kelas satu kamar hotel berbintang lima. Tapi, itu karpet kualitas super. Sedangkan saya hanya mampu membeli karpet murah yang kasar, lagi pula debunya tak pernah disedot.
Kami percaya, Gus Dur melakukan semua itu dengan enak, tanpa pretensi apa pun. Tapi, istri saya menjadi tak bisa tidur dan sepanjang malam sering mengusap air mata. Saya pun merenung dalam kesadaran bahwa semua perilaku orang berilmu mengandung pelajaran. Maka, pelajaran apa yang sedang diberikan Gus Dur kepada kami?
Bertahun-tahun pertanyaan itu mengusik jiwa saya. Akhirnya saya mendapatkan jawaban dan mudah-mudahan mendekati kebenaran. Dengan rela tidur di lantai, Gus Dur sesungguhnya sedang mengajari kami menyadari hakikat diri bahwa manusia sehebat apa pun sesungguhnya tidak ada apa-apanya. Kemuliaan adalah hak Allah semata. Maka, manusia, siapa pun, tidak pantas merasa mulia, tak pantas minta, apalagi menuntut dimuliakan. Jadi, semua manusia sepantasnya rela tidur di lantai karena sesungguhnya tak ada kemuliaan baginya melainkan hak Allah.
Mungkin, jalan pikiran ini terlalu nyufi. Maka, saya mulai mencari jawaban di wilayah sarengat (syariat, Red). Rasanya, saya menemukan jawabannya, yakni pada rukun Islam yang pertama, syahadat. Setelah syahadat (taukhid) diucapkan fasih dengan lisan, dibenarkan dengan akal yang dipercaya dengan hati. Lalu? Seperti rukun Islam yang lain, syahadat sebenarnya menuntut implemantasi dalam bentuk perilaku nyata sehari-hari. Kalau tidak syahadat, hanya akan mewujud dalam wilayah simbol yang tidak melahirkan ihsan.
Orang Islam mana yang tidak tahu bahwa syahadat adalah kesaksian bahwa tidak ada ilah (Tuhan, Red) selain Allah? Semua tahu, mengerti, dan yakin. Tapi, siapa yang sudah mengimplementasikan itu dalam kehidupan nyata? Kita memang sudah menjaga kebersihan syahadat dengan tidak menyembah berhala, tidak percaya dukun, bahkan mungkin tidak memberhalakan harta maupun kedudukan. Itu sudah hebat sekali. Namun, masih ada pertanyaan kritis yang menunggu dijawab: apakah karena sudah bersyahadat, kita tidak lagi memberhalakan diri dalam segala bentuk dan manifestasinya?
Merasa diri mulia, istimewa, atau lebih ini lebih itu daripada orang lain adalah manifestasi bentuk-bentuk awal pemujaan atau peng-ilah-an diri. Tentu saja hal itu menodai keikhlasan syahadat. Sebab, hanya Allah yang sejatinya mulia, sejatinya istimewa, dan serba lebih daripada makhluk mana pun. Oleh karena itu, siapa pun yang ingin memelihara syahadatnya akan selalu bersikap tahu diri kapan dan di mana pun.
Selama hampir 30 tahun saya bergaul dengan Gus Dur, sikap tahu diri itulah yang tampak dan terasa memancar dari kepribadiannya. Dia hormat kepada yang tua, sayang kepada yang muda, dan amat bersahabat dengan teman seusia. Rasa setia kawannya yang mendalam menembus batas ras, agama, status sosial, bahkan batas kebangsaan.
Dalam satu kalimat, Gus Dur adalah orang yang sangat tahu diri dan merasa dirinya biasa, sama dengan orang lain. Itulah pelajaran dan keteladanan yang saya dapatkan. Itulah cara Gus Dur mengajari saya memelihara syahadat. Caranya, tidak menganggap diri mulia atau istimewa karena keduanya adalah hak Allah.
Dengan demikian, saya mengerti mengapa Gus Dur rela dan enak saja tidur di lantai rumah saya yang sederhana. Agaknya karena syahadat yang telah terhayati mencegah dirinya merasa istimewa atau merasa sebagai manusia mulia. Sementara kebanyakan kita, karena tidak menghayati syahadat, sering merasa diri mulia atau terhormat, atau bahkan menuntut kehormatan. Padahal, sikap seperti itu jelas mengurangi mutu kesaksian bahwa tidak ada ilah selain Allah. Wallahu a’lam.
*) Budayawan, penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, tinggal di Tinggarjaya, Cilongok, Banyumas.