Opini  

Membenahi Tubuh Birokrasi dari Praktik KKN Melalui “Konstitusionalisasi” Komisi Pemberantasan Korupsi

Media Jatim
KPK
Moh. Tazam

Praktik KKN dalam Tubuh Birokrasi

Birokrasi dalam dunia pemerintahan dapat diartikan sebagai proses dan sistem yang diciptakan secara rasional untuk menjamin mekanisme dan sistem kerja yang teratur, pasti dan mudah dikendalikan.

Penyelenggaraan birokrasi pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah pada prinsipnya untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak setiap warga negara berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Di dalam pembukaan UUD 1945, pada alinea keempat mengamanatkan tentang tugas pemerintah antara lain adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Selama 68 tahun berdirinya NKRI, sistem birokrasi di Indonesia terus dibenahi dan didesain. Sebagai contoh dalam tatanan struktur, birokrasi berjuang menjadikan organisasinya lebih ramping dan lebih fleksibel dengan memperluas jabatan-jabatan fungsional dan mengurangi jabatan struktural dengan harapan memaksimalkan kinerja pelayanan publik.

Namun hasil yang didapat berbanding terbalik dari yang diharapkan. Birokrasi pelayanan publik menjelma menjadi “monster” yang menakutkan bagi masyarakat dan parahnya lagi dijadikan ladang mencari keuntungan para stekholder yang ada di dalamnya.

Menurut Heryanto Monoarfa, selama ini birokrasi di Indonesia dijadikan instrumen yang sangat efektif bagi penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya. Birokrasi publik, baik sipil maupun militer telah memposisikan dirinya sebagai “raja” dari pada pelayan masyarakat.

Kepentingan penguasa cenderung menjadi sentral dari kehidupan dan perilaku birokrasi publik. Hal ini bisa dilihat dalam proses kebijakan publik di mana kepentingan penguasa itu selalu menjadi kriteria yang dominan dan sering kali menggusur kepentingan masyarakat yang banyak manakala keduanya tidak berjalan bersama-sama.

Para pengamat bahkan memberikan pandangan lebih jauh lagi tentang model birokrasi di Indonesia. Karl D Jackson, Richard Robinson & King, dan Hans Dieter Evers (Romli, 2008) memberikan pendapatnya tentang birokrasi.

Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic polity di mana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik dan pemerintahan.

Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic capitalism.

Sementara Hans Dieter Evers melihat bahwa proses birokrasi di Indonesia berkembang model birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah pola di mana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktural dalam birokrasi secara tidak terkendali.

Sedangkan birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui paksaan.

Pandangan tentang buruknya sistem birokrasi di Indonesia tersebut diperkuat oleh hasil survey yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2010.

Survei tersebut menyimpulkan bahwa, Indonesia menduduki peringkat ke-2 sebagai negara yang memiliki sistem birokrasi terburuk di Asia (Nedwika, Tempo.co, diakses 18 April 2015).

Potret buram birokrasi bisa dilihat dari buruknya public service oleh pemerintah pada masyarakat, meskipun dari tahun ke tahun berbagai kebijakan dilakukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik.

Baca Juga:  Kemenangan Dini H. Purnoto pada Pilkades Sukogidri

Beberapa kebijakan tersebut misalnya seperti Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perizinan Bidang Usaha (Inpres Nomor 5 Tahun 1984), Pedoman Tata laksana Pelayanan Umum (SK Menpan Nomor 81 Tahun 1993), Pedoman Perbaikan dan Peningkatan Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat (Inpres Nomor 1 Tahun 1995), Langkah-Langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat (Surat Edaran Menko Wasbangpan Nomor 56 Tahun 1998), Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik (SK Menpan Nomor 63 Tahun 2003), dan terakhir UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Walaupun demikian, tetap saja masyarakat masih saja mengeluhkan berbagai ketimpangan dalam proses pelayanan (Pusat Studi Kependudukan UGM, 2003).

Keluhan tersebut antara lain, ketidakjelasan waktu, biaya, dan cara pelayanan, diskriminasi pelayanan, panjangnya rantai birokrasi, dan semakin membudayanya suap dan pungutan liar (Anwaruddin, 2004).

Praktik KKN dalam Birokrasi sudah merajalela di seluruh Indoneisa. Berdasarkan pantauan yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW), Provinsi Jawa Timur tecatat sebagai wilayah dengan angka kasus tindak pidana korupsi terbanyak selama semester II tahun 2013, yaitu dari pemantauan bulan Juli sampai bulan Desember, tercatat ada 31 kasus korupsi dan sudah masuk penyidikan.

Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan Sumatera Utara yang pada semester I menduduki tingkat pertama provinsi terkorup dengan 36 kasus. Bahkan wakil ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan menemukan transaksi keuangan mencurigakan di Jawa Timur.

Hampir di semua lini pemerintahan terjamah oleh praktek KKN. Menurut laporan Corruption Clearing House (ACCH), penanganan tindak pidana berdasarkan instansi dari tahun 2004-2013 (sampai 31 Agustus) ranking pertama ada di Kementerian/Lembaga sebanyak 142 perkara, peringkat kedua ada di Pemkot/Pemda sebanyak 75 perkara.

Selanjutnya berturut-turut dipegang oleh pemerintah provinsi 41 Perkara, DPR RI 34, dan BUMN/BUMN 22 perkara serta komisi sebnyak 20 perkara.

Total sepanjang tahun tersebut, jumlah perkara data penanganan korupsi oleh KPK berdasarkan instansi sebanyak 334 laporan.

Selanjutnya ACCH juga merekapitulasi pemidanaan tindak pidana korupsi dari tahun 2004-2013 (tahun 2013 update sampai 31 Agustus), dalam tabulasi data penanganan korupsi tersebut, KPK telah melakukan 559 penyelidikan, 334 penyidikan, 257 penuntutan, 227 inkrah, dan 236 eksekusi.

Angka yang cukup fantastis ini semakin drastis naik setelah ditetapkannya Ketua Mahkamah Agung, Akil Mochtar oleh KPK sebagai tersangka kasus sengketa Pilkada Gunung Mas dan kasus sengketa Pilkada Lebak.

Peristiwa itu seperti “tamparan keras” untuk bangsa ini. Bagaimana tidak, seorang negarawan dengan jabatan ketua Mahkamah Konstitusi yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman dan keputusannya bersifat final dan mengikat sebagaimana termaktub dalam pasal 24C Ayat (1) UUD Negara RI 1945, ditetapkan sebagai tersangka kasus suap.

Belum lagi kasus “dinasti” Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah yang belakangan ini mulai naik ke permukaan. Fenomena birokrasi yang seperti “kapal pecah” ini menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan birokrasi negara kita.

Baca Juga:  Wisuda ke-XXXIV UTM Diikuti 2.606 Peserta, Rektor Sebut Mayoritas Lulus Tepat Waktu!

Jika hal ini dibiarkan terus-menerus maka akan berdampak pada stabilitas jalannya pemerintahan. Oleh sebab itu, diperlukan adanya upaya-upaya pencegahan dan perbaikan, salah satu upaya tersebut adalah melalui pendekatan psikologis individu-individu dalam birokrat.

Perbaikan ini berupa penanaman sikap antikorupsi bagi seluruh pelaksana birokrasi, untuk menciptakan perilaku yang bersih dan bebas dari praktik KKN.

‘Konstitusionalisasi’ KPK

Kata konstitusionalisasi diberi tanda petik karena yang dimaksud adalah bukan selama ini KPK inkonstitusional tapi konstitusionalisasi maksudnya adalah perumusan lembaga KPK dalam UUD NKRI 1945.

KPK adalah lembaga yang didirikan setelah era reformasi yang payung hukumnya berdasarkan ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, kemudian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK serta UU No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nasional Convention Against Corruption.

Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan dapat memberi penguatan pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sementara, dalam aturan hukum KPK, hanya diatur melalui beberapa undang-undang.

Namun agar kedudukannya menjadi lebih kuat, lembaga antirasuah ini perlu diatur dalam UUD 1945.

Hal ini dilatarbelakangi dengan beberapa peristiwa yang telah terjadi, yaitu beberapa oknum yang terus ‘mengkriminalisasi’ dalam menjalankan fungsinya.

Beberapa orang yang merasa terganggu dengan upaya penindakan KPK akan tidak henti-hentinya melemahkan KPK. Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Oleh karena itu menurutnya, pemberantasan juga harus dengan cara-cara yang luar biasa. Untuk menangani kasus-kasus kejahatan luar biasa ini maka perlu adanya penguatan terhadap KPK.

KPK terus dihadapkan dengan upaya pelemahan dari berbagai pihak, melalui rancangan UU KUHAP dan KUHP. Dengan masuknya delik korupsi dan delik pencucian uang dalam rancangan tersebut dipandang akan menghambat upaya pemberantasan korupsi.

Hal ini karena akan terjadi tumpang tindih pengaturan delik. Menurut Chatarina, RUU KUHP dan RUU KUHAP merupakan pengingkaran atas komitmen pemerintah yang menyatakan perang terhadap korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya sehingga, katanya, tidak tepat untuk digunakan saat di mana Indonesia sedang dalam keadaan darurat korupsi.

Hal itu bersifat merekodifikasi, atau, kemunduran atas politik hukum pemerintah karena tidak melihat pada persoalan besar yang dihadapi bangsa ini.

Dari hal tersebut sangatlah urgen bila KPK di Indonesia dijadikan Lembaga Birokrasi seperti lembaga-lembaga lain yang memiliki kekuatan hukum yang mesti dan memliki posisi yang diatur atau termaktub secara resmi dalam UUD.

Karena melihat dari keberadaannya, KPK merupakan salah satu lembaga yang memiliki peran penting dalam menciptakan Indonesia bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.(*)


*Penulis adalah Moh. Tazam, Guru SMK PP. Nurul Islam Karangcempaka Bluto Sumenep, dan Kepala BAANAR Rubaru.