: Memberi Ruang
Catatan ini tetap saya niatkan sebagai perlawanan. Meskipun, saran dari beberapa kawan, cara pandang saya harus lebih objektif dan lebih sabar. Menurut mereka, tak ada kejahatan yang sempurna. Begitu pun dengan kebaikan.
Karenanya, memaklumi kebaikan yang tidak sempurna, itu adalah bentuk kebijaksaan yang paling sederhana. Maka, kawan-kawan saya menyarankan, agar objektif, niat baik DPRD yang tersirat dalam raperda Reforma Agraria ini juga harus disikapi dengan lebih kesatria.
Mendengar itu, saya merasa tak perlu membuat bantahan. Sejak awal jelas, bahwa, saya tidak ada kemauan untuk “memukul mundur” niat baik kawan-kawan DPRD yang berjibaku dengan raperda ini.
Hanya saja, publik musti waspada. Jangan sampai niat baik kawan-kawan DPRD ini disalahgunakan oleh sebagian kalangan yang hanya ingin meraup keuntungan.
Kawan-kawan DPRD harus sebanyak mungkin membuka diri pada seluruh ragam pandangan. Jangan terburu-buru raperda ini disahkan. Dengan begitu, ini membuktikan bahwa niat baik itu masih terjaga dan tak tergoyahkan. Dan memang, raperda ini harus terus diuji sampai tidak ada lagi perlawanan. Baik dari kawan maupun lawan.
Di samping itu, setiap teks dalam raperda ini harus mampu mengakomodir konteks. Baik untuk menunjukkan keadilan sosial maupun dimensi solutif atas konfliknya. Dengan begitu, raperda ini akan lebih “membumi” dan ramah rakyat.
Satu hal lagi. Raperda ini harus mampu menjadi sindiran dari Legislatif pada Eksekutif. Sebab sangkarut agraria yang terjadi di Sumenep, seringkali masih disikapi secara “normatif”. Maka, usul saya, reperda ini jangan sampai normal-normal saja.
Eksekutif harus diberi instrumen kerja yang jelas. Itu semua untuk menghindari alasan mereka yang paling klise “sedang dibahas”. Setiap tanah yang tak bertuan, munculnya sertifikat tanah siluman, atau pecaton yang jatuh ke perseorangan, harus diungkap tuntas.
Dan soal alih fungsi lahan, selama ini publik hanya dijejali alasan kebutuhan ekonomi belaka. Eksekutif seperti tutup telinga, bahwa, dalam setiap alih fungsi lahan diduga kuat penuh intimidasi dari oknum penguasa.
Lain dari itu, sudah banyak pesisir laut yang tercemar limbah, dan para nelayan yang sudah lama gundah. Sebab, tempat hidup mereka sudah sangat berubah dan diduga dipenuhi wabah.
Maka, jangan sampai draf pertama raperda ini sudah dipaksa berdiri tegak di atas menara gading, seakan pahlawan tanpa lawan tanding. DPRD harus berani uji-banding, sampai seluruh sengkarut agraria di Sumenep bisa jernih nan bening.
Raperda ini harus jadi solusi. Bukan menambah daftar panjang aturan yang hanya menjadi “polusi”. Perda ini harus benar-benar berfungsi. Bukan sekedar jadi macan kertas yang hanya memenuhi rak lemari.
Jika kawan-kawan di DPRD sudah siap, datangi rakyat dan ajak berdebat. Mungkin saja, di awal pertemuan akan bersitegang. Tapi percayalah, setiap niat baik, biasanya berakhir tenang.
Nur Khalis, Jurnalis Kabupaten Sumenep.
Ganding, 18 Agustus 2022