Politisasi Sepak bola: Etika Politik di Titik Nadir

Media Jatim
Sepak bola
A Dardiri Zubairi

Dibatalkannya Indonesia sebagai tuan rumah piala dunia U-20 2023 oleh FIFA sangat mengecewakan penggemar sepak bola.

Dua bulan lagi di depan mata, piala dunia ini justru gagal digelar di negara kita karena ulah politisi. Yang ramai di media sosial (Medsos) sebagai pemicunya adalah Ganjar Pranowo, calon presiden dan kader PDIP serta Gubernur Bali Wayan Koster yang juga kader PDIP.

Beberapa ormas dan partai juga ikut memperkeruh misalnya MUI, PKS, KNPI. Mungkin masih ada “anasir” lain.

Dugaan penyebab pembatalan oleh FIFA adalah penolakan Israel sebagai peserta piala dunia U-20 2023 Indonesia.

Penolakan yang dimotori sebagian politisi ini diduga sebagai bagian dari cara mencari panggung untuk kontestasi pemilu 2024 meskipun sebagian lagi seperti ormas mungkin karena motif ideologis.

Boleh kita mengatakan bahwa FIFA tidak fair. FIFA juga mempolitisasi sepak bola. Rusia di-banned, Israel yang setiap hari melakukan teror dan kekerasan terhadap penduduk Palestina justru tidak.

Baca Juga:  Pemilu 2024: Titik Balik Kebangkitan Kaum Milenial

Tapi, bagaimanapun, FIFA mempunyai aturan sendiri, dan ini harus ditaati oleh anggota FIFA, di mana Indonesia termasuk di dalamnya. Apalagi, di medsos ramai bahwa para gubernur di daerah yang ditempati piala dunia telah menandatangani MoU dengan FIFA. Jadi wajar jika FIFA mengambil keputusan tegas.

Tapi lain para politisi kita. Mereka memanfaatkan momentum piala dunia untuk elektabilitas dalam kontestasi pemilu 2024.

Dari sini kita bisa membaca, bahwa di negeri kita soal etika politik memang di titik nadir.

Para politisi merangsek ke semua penjuru mata angin, nyaris tak tersisa sejengkal pun, ingin menguasai ruang hidup yang semestinya harus disapih dan dibatasi.

Mereka bisa menggunakan apa pun dan malah siapa pun untuk dijadikan bahan kampanye untuk menunjang elektabilitasnya.

Baca Juga:  AQ: Odemwingie Terikat Kontrak sampai Akhir 2018

Rakyat kecil dijual, rumah ibadah diembat, jalan dibuat iklan, pasar didatangi, dan piala dunia di mana seluruh negara di dunia ini memasang matanya, juga direcoki.

Seandainya nanti ditemukan teknologi yang bisa memasang wajah mereka di matahari, mereka juga akan melakukannya.

Sungguh, lakon mereka gak lucu. Mereka telah membuat orang yang tergantung hidupnya dari sepak bola dan menghabiskan waktunya latihan dan main sepak bola seketika pupus.

Sampai di sini saya sementara menyimpulkan, politik kita dalam derajat tertentu benar-benar merusak, bukan membangun.(*)


*A Dardiri Zubairi, penulis buku dan pegiat isu-isu sosial politik yang tinggal di Kabupaten Sumenep.