Display 17 Agustus _20240829_131215_0000

Di FGD PWI Pamekasan, Kadisperindag Sepakat Pasal Pengambilan Sampel Tembakau di Perda 2/2022 Dihapus!

Media Jatim
Disperindag
(Dok. PWI Pamekasan) Kadisperindag Akhmad Basri Yulianto (pegang mic) menyampaikan gagasannya pada FGD Jilid I PWI Pamekasan di Taman Edukasi Desa Samatan, Kecamatan Proppo, Senin (14/8/2023).

Pamekasan, mediajatim.com — Peraturan Daerah (Perda) Pamekasan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pengusahaan Tembakau Madura, kerap tidak berjalan dengan baik dalam praktiknya. Salah satunya, terkait aturan yang memperbolehkan pedagang mengambil sampel tembakau satu kilogram.

Banner Iklan Media Jatim

“Dalam praktiknya, antara pedagang dan pembeli, kadang tidak sejalan dengan Perda yang ada,” terang Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Pamekasan Akhmad Basri Yulianto, saat menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pamekasan di Taman Edukasi Rahayu, Samatan, Proppo, Pamekasan, Senin (14/8/2023).

Berdasarkan temuan di lapangan, kata Basri, sampel tembakau yang diambil pedagang lebih dari satu kilogram. Karenanya, desakan agar berapa pun sampel tembakau harus ditimbang dan dibeli oleh para pedagang, Disperindag Pamekasan menyetujuinya.

Berkaitan dengan sebutan Break Event Point (BEP) dalam Perda agar diubah menjadi Biaya Produksi Terendah (BPT) tembakau sebagaimana disuarakan oleh Ketua DPRD Pamekasan Halili, terang Basri, itu kurang mendesak. “Sebab, hal itu sebatas beda penafsiran istilah,” tuturnya.

Basri kemudian mempersilakan peserta FGD membuka Pasal 16 sampai 19 di Perda tersebut. Di Pasal 16 diatur tentang pembiayaan dan harga yang berkaitan dengan kualitas. Sementara di Pasal 19, pelaku usaha wajib membeli tembakau Madura di atas harga dasar.

“Berarti sebetulnya di Perda itu sudah diatur kewajiban pengusaha untuk membeli di atas harga dasar atau BEP. Itulah mengapa saya punya persepsi berbeda terkait rekomendasi BEP diubah menjadi BPT,” ujarnya.

Basri menilai, ketika BEP diubah menjadi BPT, maka pasal di atasnya menjadi tidak berlaku. Misalnya tembakau sawah ditetapkan Rp40 ribu, sawah tegal Rp45 ribu, tembakau gunung Rp55 ribu, maka pelaku usaha lokal maupun perusahaan nasional, tidak boleh membeli di bawah harga BEP.

Artinya, ucap Basri, BPT yang dipersoalkan PCNU dan DPRD Pamekasan itu sudah terkaver dalam Perda melalui istilah BEP. BPT bisa masuk ke Perda sebagai acuan harga terendah, dengan catatan, harus ada pasal yang mengatur tentang kondisi force majeure atau dalam bahasa Indonesia adalah keadaan kahar. Istilah force majeure adalah suatu peristiwa atau efek yang tidak dapat diantisipasi atau dikendalikan.

Baca Juga:  DPC Demokrat Pamekasan Buka Pendaftaran Cabup dan Cawabup, 2 Figur Sudah Ambil Formulir!

“Tembakau sangat tergantung kepada cuaca. Ketika cuaca tahun ini, misalnya, tidak mendukung karena hujan terus menerus sehingga kualitas tembakau rusak, maukah P4TM dan para pengusaha membeli tembakau jelek di atas BEP atau BPT,” tegas Basri sembari melihat Ketua P4TM H. Khairul Umam (H. Her) di sampingnya yang juga menjadi salah seorang narasumber dalam FGD Jilid 1 PWI Pamekasan.

IMG-20240908-WA0006
IMG-20240908-WA0007
IMG-20240907-WA0007

Selain itu, Basri juga mempertanyakan, maukah perusahaan nasional membeli kualitas tembakau yang jelek karena kondisi cuaca yang kurang mendukung.

Pertanyaan Basri tersebut membuat forum agak memanas. Akhirnya, moderator FGD Jilid 1 Ongky Arista UA mencoba untuk meluruskan penjelasan Basri.

“Kita sedang tidak membahas tembakau bagus atau jelek, tetapi kita mengupas terkait regulasinya dulu. Soal kualitas itu ketemunya di lapangan atau kita diskusikan nanti. Jangan sampai ada bahasa ini tembakau petani jelek. Kita belum ke itu. Kasihan petaninya. Kita bahas perdanya dulu, seperti terkait sampel, kemitraan, dan masalah tembakau Jawa yang masuk ke Madura. Terkait kualitas, itu ranahnya peneliti,” terang Ongky, Senin (14/8/2023).

Menanggapi hal itu, Basri menegaskan bahwa poinnya di FGD tersebut sudah jelas. “Bahwa persepsi yang mempersoalkan BEP agar diganti BPT itu tidak perlu. Sebab, di Pasal 16 sampai 19 sudah diatur itu. Ini hanya berkaitan dengan persepsi terhadap istilah. Pemahamannya sudah searah terkait istilah itu,” jelasnya.

Baca Juga:  jogadores jogos online que dão dinheiro inteligentes ou scam smart?

Namun terkait sorotan pengambilan sampel yang tidak ditimbang dan tidak diberi harga, Basri setuju. Tapi landasannya bukan persoalan halal-haram seperti yang disinggung H. Her.

“Tadi H. Her menyampaikan pendapat masyaikh itu haram, tidak lah. Sepanjang Perda itu mengatur, berapa pun contoh, bagi kami itu sudah cukup. Pembahasan ini tidak ke ranah itu,” ujar Basri yang disambut gelak tawa peserta FGD Jilid 1 PWI Pamekasan.

Basri juga menyinggung tata niaga tembakau. Pihaknya mengakui itu sudah ada sejak sebelum Basri lahir. Istilah pengepul, bandul, dan lain sebagainya itu memang sudah menjadi realita.

“Perda sampai sedetail ini, harus kita hormati bahwa ini sebuah produk hukum. Lebih detail, tentu lebih bagus,” ujarnya.

Tapi jika ada mekanisme transaksi khusus, terang Basri, tidak masalah. Itu tidak melabrak Perda. “H. Her misalnya sudah punya pola kemitraan, membangun komunikasi dengan mitranya, saat panen langsung ke gudangnya H. Her untuk dibeli, itu tidak masalah,” tegas Basri merespons penyampaian narasumber lainnya, yaitu Sekretaris Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) Tabri Syaifullah Munir yang menyoroti pasal terkait kemitraan.

Petani langsung menjual hasil panen tembakaunya langsung ke pengusaha, ujar Basri, itu tidak masalah. Jika dalam mata rantai di lapangan masih ada perannya pengepul, bandul, dan seterusnya, tentu tidak perlu dipersoalkan.

“Karena Perda ini sudah memberi ruang kepada petani, jika ingin langsung jual ke pengusaha, diperbolehkan. Sebab, di tata niaganya, sudah diulas tentang petani dan pelaku usaha. Petani yang menjual hasil panen tembakaunya langsung ke perusahaan, itu sama sekali tidak melanggar Perda. Itu malah lebih baik,” pungkasnya.(*/faj)