Kronologi Kasus Tanah di Pamekasan: Polisi Sebut Pemalsuan SPPT Dilakukan Anak Tersangka Nenek Bahriyah

Media Jatim
Nenek Bahriyah Pamekasan
(Ongky Arista UA/Media Jatim) Kapolres Pamekasan AKBP Jazuli Dani Iriawan saat konferensi pers, Selasa (26/3/2024).

Pamekasan, mediajatim.com — Perkara tanah keluarga ini bermula dari laporan polisi dua tahun lalu, tepatnya, pada 30 Agustus 2022.

Saat itu, seorang perempuan bernama Sri Suhartatik mendatangi Polres Pamekasan, Jawa Timur.

Perempuan 31 tahun itu datang ke kantor polisi untuk melaporkan seorang perempuan yang saat itu berusia 69 tahun bernama Bahriyah.

Sri dan Bahriyah sama-sama warga Kelurahan Gladak Anyar, Kecamatan/Kabupaten Pamekasan. Keduanya bukan hanya dekat, lebih dari itu, mereka ternyata punya hubungan keluarga.

Sri Suhartatik adalah anak kandung dari pasangan H. Fathollah dan Supatmi. Sementara Supatmi dan Bahriyah adalah saudari kandung.

Mulanya, mereka tidak berniat memulai sebuah konflik keluarga. Karena bagaimana pun, bagi mereka, keluarga adalah keluarga. Kerharmonisan keluarga harus tetap dijaga.

Namun nahas, masalah tanah datang tanpa bisa diadang. Ihwal yang menjadi pemicu keretakan keluarga ini pun muncul pada 2020.

Pada tahun 2020, Sri mengaku tidak lagi menerima tagihan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas sebidang tanahnya yang bersertifikat hak milik atas nama sang ayah H. Fathollah.

Tanah tersebut seluas 1.805 meter persegi. Bersertifikat hak milik atas nama H. Fathollah dengan nomor 1817.

SPPT PBB atas tanah miliknya itu tidak Sri terima hingga tahun 2022. “Sejak 2016 saya rutin bayar, lalu 2020 gak ada surat SPPT PBB, hingga 2022,” terang Sri Suhartatik sebagaimana diberitakan mediajatim.com pada 18 Januari 2024 lalu.

Karena merasa janggal atas hal itu maka pada tahun 2022 itu Sri melaporkannya ke Koordinator SPPT Kelurahan Gladak Anyar. Kemudian secara berurut dicek ke Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) setempat.

Usai dicek akhirnya diketahui SPPT PBB SHM 1817 atas nama H. Fathollah telah berubah nama ke SPPT PBB baru atas nama Bahriyah dengan SHM nomor 02988 seluas 2.813 meter persegi pada tahun 2017.

Tidak cukup mengecek ke BPKPD, Sri kemudian mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pamekasan untuk mendapat keyakinan lebih atas keabsahan sertifkat tanah miliknya.

“Kita juga sudah ke BPN, setelah dicek, sertifikat milik kami sah, namun muncul sertifikat baru atas nama Bahriyah,” beber Sri Suhartatik.

Berdasarkan temuan itu akhirnya Sri memilih melaporkan Bahriyah ke Mapolres Pamekasan pada 30 Agustus 2022 dengan perkara pemalsuan dokumen.

Hasil Pemeriksaan dan Gelar Perkara Polres Pamekasan

Laporan Sri Suhartatik bernomor: LP/B/459/VI/2022/SPKT/POLRESPAMEKASAN/POLDAJAWA TIMUR. Tertanggal 30 Agustus 2022.

Polres melakukan penyelidikan dan penyidikan sejak laporan itu diterima dan ujungnya pada 8 Maret 2024.

8 Maret Polres menetapkan dua orang tersangka yakni Bahriyah dan Syarif Usman selaku Lurah Gladak Anyar pada 2016.

Baca Juga:  Hotel Azana Sumbang PAD Lebih Rp1 Miliar Tahun Ini, Terbesar di Pamekasan!

“Berdasarkan hasil pemeriksaan penyidik, modus operandi yang dilakukan tersangka Bahriyah untuk menerbitkan SHM baru atas nama dirinya tersebut yakni dengan menggunakan surat palsu berupa fotokopi SPPT dengan nomor obyek pajak 35.28.050.01 5.003.0060.0. tahun 2016 untuk persyaratan terbitnya SHM baru dengan nomor 02988 atas nama Bahriyah seluas 2.813 meter persegi,” kata Kapolres Pamekasan AKBP Jazuli Dani Iriawan saat konferensi pers, Rabu (26/3/2024).

Sedangkan untuk memuluskan agar persyaratan tersebut diterima oleh BPN Pamekasan, surat palsu tersebut dilegalisir oleh Lurah Gladak Anyar yang pada tahun 2016 dijabat oleh aparatur bernama Syarif Usman.

“Dalam penanganan kasus pemalsuan surat dokumen tanah ini, penyidik telah melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi dan ahli pidana. Selain itu, kami juga telah menyita barang bukti berupa SHM milik pelapor dan tersangka,” ujar AKBP Dani.

Pemalsuan Dokumen Tidak Dilakukan Nenek Bahriyah Sendiri

Hasil penelusuran polisi, pidana pemalsuan dokumen syarat penerbitan SHM atas nama Bahriyah ini tidak dilakukan oleh Bahriyah sendiri, tetapi dilakukan oleh anaknya yang bernama Mohammad Fauzi (44).

Hasil pemeriksaan polisi, Bahriyah mengutus anaknya yang bernama Fauzi melalui surat kuasa untuk mengurus semua surat-surat yang menjadi syarat terbitnya SHM 02988.

“Ini bukan kasus penyerobotan tanah, ini pemalsuan. Pemalsuan SPPT 2016 yang kemudian menjadi syarat terbitnya SHM 02988 tahun 2017 atas nama Bahriyah,” beber AKBP Dani.

AKBP Dani juga mengatakan bahwa Bahriyah sudah lanjut usia. Umurnya saat ini menginjak 70 tahun.

“Kenapa Bu Bahriyah yang kita tetapkan tersangka dan bukan anaknya? Karena anaknya ini pintar. Yang ngurus semuanya anaknya. Tetapi si anak ini meminta kuasa kepada Bahriyah yang mungkin tidak mengerti apa-apa,” sambungnya.

Dia mengaku tidak ingin menghukum orang tua. Pihaknya sudah meminta keterangan ahli hukum pidana, dan sementara ini, berdasarkan hasil gelar perkara, tersangkanya tetap mengarah kepada Bahriyah dan Syarif Usman.

“Karena anaknya berlindung di surat kuasa yang dibuat oleh Bu Bahriyah. Bukan mau saya. Bukan mau penyidik. Ini hasil gelar perkara yang tiga kali dilaksanakan di Polres dan satu kali di Polda Jawa Timur,” jelas AKBP Dani.

Selain itu, hasil pemeriksaan atas Lurah Gladak Anyar Tahun 2016 Syarif Usman, juga menyebutkan bahwa SPPT palsu tersebut dilegalisir kelurahan agar bisa menerbitkan SHM 02988 atas nama Bahriyah pada 2017.

AKBP Dani mengatakan, saat ini pihaknya terus melakukan pendalaman terkait peran Mohammad Fauzi.

“Yang ngurus semua adalah anak dari Bu Bahriyah, inilah posisi kasusnya, ada surat kuasa, dan ini kami dalami terkait anaknya Bu Bahriyah,” tutupnya.

Muasal Tanah Atas Nama H. Fathollah versi Pelapor

Baca Juga:  Kerja PT Taspen Pamekasan Jadi Sorotan, ASN Keluhkan Minimnya Sosialisasi Pengurusan Dana Pensiunan

Berdasarkan keterangan pelapor Sri Suhartatik, tanah atas nama H. Fathollah tersebut hasil jual beli sekitar tahun 1999.

“Ayah saya membeli kepada saudiri kandung ibu saya yang bernama Bahriyah,” terangnya, Rabu (27/3/2024).

Tanah seluas 1.805 meter persegi tersebut dibeli kurang lebih Rp8 juta pada tahun 1999. Usai dibeli lalu kemudian diurus sertifikatnya di kantor agraria atau BPN.

“Proses pengurusan sertifikatnya sebagaimana keterangan ibu saya saat masih hidup, dia membeli dari saudara kandungnya yakni Bu Bahriyah, kemudian diajukan pembuatan sertifikat atas nama H. Fathollah kala itu, dengan proses jual beli, dan Bu Bahriyah dengan cap jari jempol karena memang Bu Bahriyah buta huruf,” kata Sri.

Pada saat jual beli itu, kata Sri, banyak saudara atau famili yang mengetahui tentang jual beli tersebut terlebih masyarakat sekitar.

“Hal itu juga dengan adanya pembuktian bahwa dahulu ayah saya H. Fathollah semasa hidupnya sering menggarap lahan tanah tersebut untuk bercocok tanam, akan tetapi setelah meninggal dunia karena sudah tidak ada dalam keluarga kami yang bertani maka tanah itu dibiarkan begitu saja,” paparnya.

Sri mengatakan, surat akta jual beli yang jelas ada di BPN karena itu dibuat sebagai persyaratan untuk permohonan sertifikat pada saat itu.

“Ayah saya H. Fathollah sudah wafat sekitar tahun 2003 dan ibu saya Supatmi wafat sekitar tahun 2014. Sebelum tanah itu dibeli gak ada sertifikatnya, yang ada hanya letter c, dan letter c atau persil atau petok D ini atas nama Bhutum P. Jatim yang tidak lain adalah bapak kandung dari Bu Bahriyah dan ibu saya Supatmi,” tuturnya.

Dia berharap, BPN Pamekasan bisa kooperatif mengeluarkan warkah SHM atas nama H. Fathollah. “Sehingga ketahuan bagaimana terbitnya sertifikat tanah atas nama ayah saya H. Fathollah,” harapnya.

Untuk menanggapi itu, mediajatim.com menghubungi Mohammad Fauzi. Dia mengatakan, jika itu jual beli bisa ditunjukkan buktinya.

“Pasti yang bilang jual beli tidak akan bisa buktikan, karena memang gak ada jual beli, coba suruh tunjukkan jual belinya kalau memang ada, pasti gak akan bisa membuktikan,” katanya.

Selain itu, Fauzi mengatakan bahwa dia mengurus SHM 02988 bukan pada 2017 memakai SPPT tahun 2016 dengan cara mengubah nama Sri Suhartatik ke nama Bahriyah.

“Jelas ini fitnah, karena yang benar saya mengurus itu pada tahun 2016 dan sertifikat selesai tahun 2017 dengan memakai SPPT tahun 2015, dan itu atas nama ibu saya karena untuk permohonan sertifikat Bahriyah itu di awal tahun 2016 jadi SPPT yang dilampirkan 2015,” pungkasnya.(*/ky)