Uang dan sebab Matinya Etos Kerja

Media Jatim
Etos kerja tulisan ongky
Ongky Arista UA

Saya ingin memulai ini dengan sebuah ilustrasi. Ilustrasi yang tidak nyata. Atau sebutlah ini bukan sebuah kenyataan. Begini ilustrasinya:

Suatu hari, seorang oknum mengaku aktivis LSM hendak melakukan aksi demonstrasi ke pemerintah di Kota P. Oknum ini mengajak komplotannya.

Singkat cerita, karena pemerintah ingin wilayahnya kondusif, tidak ada protes, aksi demonstrasi dan sejenisnya, maka terjadilah komunikasi antara perwakilan pemerintah dan oknum koordinator demonstran.

Pada saat komunikasi itu, si oknum demonstran ini berterus-terang tengah butuh uang. Cicilan mobilnya macet. Untuk menebusnya butuh uang besar. Pendeknya, si demonstran ini menggelar aksi mencari-cari celah penyimpangan pemerintah karena butuh duit.

Akhirnya, si perwakilan pemerintah pun berusaha mencari duit secepat mungkin dengan segala cara bahkan melanggar regulasi dan ketentuan penganggaran.

Ilustrasi lain, sejumlah anak muda yang umurnya kira-kira mahasiswa melakukan aksi demonstrasi ke kantor pertanian di Kota P. Mereka mempertanyakan kelangkaan dan distribusi pupuk.

Setelah terjadi komunikasi di balik layar, ternyata demonstran ini ingin menjadi distributor pupuk. Mereka berdemo tidak hanya untuk mengkritik namun juga membawa kepentingan di luar aksi demonstrasi itu. Mereka memakai kedok demo untuk sebuah misi uang dan dagang.

Pun, pemerintah dibuat pusing. Akhirnya, perwakilan pemerintah memutar cara, melanggar regulasi untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Mereka memakai topeng teriak-teriak melacak kecurangan, dan ironisnya, justru mereka ingin memeras keuntungan. Meraka memekikkan kecurangan untuk menikmati kecurangan yang lain.

Dua ilustrasi di atas adalah bentuk dari money oriented yang mendorong matinya etos kerja kaum-kaum yang melabeli dirinya sebagai “aktivis”.

Umumnya, orang mencari uang dengan bekerja. Meminjam harta orang untuk jadi modal usaha. Ada yang menjadi tukang becak. Ada yang menjadi tukang sayur. Ada tukang gorengan. Ada tukang jus dan buah. Ada tukang mainan. Mereka ini semuanya bekerja. Mereka berdagang barang yang memang bisa diperjual-belikan. Walau tak seberapa hasilnya, mereka bertahan asalkan halal. Mereka ini kaum yang waras. Pekerja keras. Memiliki etos kerja.

Mereka yang terakhir ini memiliki idealisme. Memiliki pikiran jernih. Bahwa jika ingin mendapat uang, ya, bekerjalah. Mereka melakukan itu secara lurus. Bekerja keras dan berdagang keras. Betapa pun hasilnya hanya Rp10 ribu, Rp30 ribu dan Rp100 ribu dalam sehari. Mereka penuh sabar. Mereka penuh kejujuran. Mereka tidak memakai topeng. Rp10 ribu dan Rp20 ribu mereka syukuri. Mereka bangga dengan kerja keras mereka. Mereka punya prinsip. Mereka punya etos kerja sebagai orang Madura.

Baca Juga:  Meneladani Perjuangan Mahbub Djunaidi, Sang Pendekar Pena

Namun tidak dengan ilustrasi kerja-kerja oknum aktivis dan pemuda yang saya paparkan pertama di atas. Mereka pemalas. Mereka ingin mendapatkan duit dalam waktu cepat. Mereka tidak bekerja keras. Mereka menjualbelikan kondusivitas. Mereka menggelar demonstrasi untuk duit puluhan juta. Mereka berada di zona nyaman. Tak ingin kerja namun duit harus ada.

Mereka ini akhirnya terjebak pada kemalasan. Terjebak dalam cara-cara yang curang. Mereka bangga dan puas saat berhasil mendapatkan uang belasan dan puluhan juta dari aksi demonstrasi atau “hasil memalak”. Pun, mereka menjadi terbiasa. Mendapatkan uang dengan mudah. Dengan cara menyimpang. Hanya teriak kencang. Hanya demonstrasi. Lalu dapat uang.

Banner Iklan Media Jatim

Akhirnya, mereka tidak punya etos kerja sama sekali. Mereka tidak tahu kerja keras. Mereka hanya tahu cara bahwa kalau butuh uang, ya gelarlah demonstrasi. Mereka teriak-teriak bela rakyat namun mencuri uang rakyat di balik layar dan di atas meja komunikasi.

Parahnya, praktik-praktik ini pun turun-temurun. Menjadi dosa turunan. Beberapa mahasiswa yang baru nginjak semester dua sudah belajar memakai metode menyimpang ini. Demo yang seharusnya jadi kegiatan heroik untuk benar-benar mengkritik pemerintah malah menjadi metode untuk mendapatkan uang untuk keperluan membeli gaya hidup.

Sekali lagi, mereka kehilangan etos kerja. Mereka tidak tahu cara mencari uang dengan cara yang masuk akal. Bertani tidak bisa. Berdagang tidak bisa. Berkreasi tidak bisa. Bahkan, berusaha pun tidak bisa. Mereka kehilangan daya nalar kreatif. Mereka kehilangan daya peka usaha. Etos kerja dalam diri mereka mati semati-matinya.

Baca Juga:  Kredit Ultra Mikro dan Kebijakan yang Setengah Hati

Mereka akhirnya hanya bisa memperjualbelikan aksi demonstrasi itu kepada pemerintah. Itulah yang mereka bisa. Itulah matinya etos kerja, saat seseorang kehilangan kejernihan akalnya atas apa yang seharusnya dikerjakan untuk menghasilkan uang dan menghidupi dirinya.

Pertanyaannya, sampai kapan mereka akan bertahan, memburu uang dengan membunuh etos kerjanya sendiri? Saya tidak bisa menjawabnya.

Baru-baru ini ada ilustrasi lain lagi. Saya dengar itu karena jadi perbincangan hangat. Orang-orang mengaku LSM dan wartawan datang ke kantor desa, ke sejumlah pejabat dan pengusaha untuk mengunduh THR.

Mereka duduk menunggu di sana. Kadang sendirian dan kadang rombongan. Dalam sekejap mereka medapatkan duit Rp100 ribu dan Rp500 ribu.

Pun sama teorinya, bahwa uang yang mereka dapatkan dalam sekejap telah membunuh perlahan jiwa kerja keras mereka. Pelan dan pasti. Mereka merasa tidak perlu kerja keras. Mereka tergoda cara tercepat dan mudah untuk mendapat uang.

Bagaimana tidak, seorang tukang bangunan, misalnya, untuk mendapatkan Rp120 ribu harus siap kerja dari pagi sampai sore. Untuk mendapatkan Rp1,2 juta, mereka harus kerja keras 10 hari.

Namun, mereka oknum yang mengaku aktivis, LSM dan wartawan dalam ilustrasi ini tidak memiliki etos kerja itu. Bukannya bekerja dan berusaha, mereka justru datang meminta-meminta untuk duit ratusan ribu dalam waktu singkat.

Maksud saya, kenapa kok rasanya lebih baik etos kerja seorang tukang gorengan meskipun sehari dapat Rp20 ribu daripada mereka yang datang meminta-meminta mendapatkan uang Rp2 juta dalam sekejap.

Sekali lagi, rasanya, kok Rp20 ribu hasil kerja keras sehari menggoreng tempe masih lebih berharga dari Rp2 juta hasil meminta-minta bermodal ID card dan proposal sambil lalu merayu dan menakut-nakuti.

Pertanyaannya masih sama, kira-kira, sampai kapan oknum-oknum ini akan mencari uang dengan cara membunuh etos kerjanya sendiri? Wallahualam.(*)
_____

*Penulis bernama Ongky Arista UA. Dia penulis Cerpen, pemenang Sayembara Novel Basabasi 2019, dan juara menulis esai kertas 2018. Dia juga Ketua Forum Wartawan Pamekasan.